Achmad Mochtar
Prof. Dr. Achmad Mochtar (10 November 1890 – 3 Juli 1945) adalah seorang dokter dan ilmuwan Indonesia.[3][4] Ia merupakan orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian biologi di Jakarta yang didirikan pada masa pendudukan Belanda.[5] Pada masa pendudukan Jepang, para peneliti di Lembaga Eijkman ditangkap oleh militer Jepang atas tuduhan pencemaran vaksin tetanus.[4] Meski tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, Achmad Mochtar menyerahkan diri pada tentara Jepang dan kemudian dieksekusi mati demi menyelamatkan hidup para peneliti di lembaga yang dipimpinnya.[3][6] Keberadaan jasadnya yang dikuburkan massal beserta beberapa orang lainnya baru diketahui terletak di Ereveld, Ancol pada tahun 2010, setelah berselang 65 tahun.[6] Latar belakangAchmad Mochtar merupakan seorang Minangkabau yang lahir dari pasangan Omar dan Roekajah.[7] Omar Sutan Nagari adalah seorang guru yang berasal dari Ganggo Mudiak, Bonjol, Sumatera Barat, sedangkan Roekayah adalah cucu seorang Larashoofd (Kepala Laras) yang berasal dari Ganggo Hilia, Bonjol.[8] Sewaktu masih kecil, Mochtar sering dibawa pindah sang ayah mengikuti tugas mengajarnya. Ia melanjutkan sekolah menengah di Batavia.[9] Akhir Matua Harahap, seorang dosen ekonomi Universitas Indonesia[10] menulis bahwa Omar, ayah Achmad Mochtar adalah seorang guru yang berpindah-pindah dari Mandailing ke Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Dalam surat kabar De Indische courant (17-02-1926) ditulis bahwa guru Mochtar adalah guru pribumi yang sangat memperhatikan pendidikan penduduk pribumi. Dalam usia tinggi Guru Mochtar masih aktif di dunia pendidikan sebagai kepala sekolah HIS di Moearaenim (Bataviaasch Nieuwsblad, 13-07-1937). Disebutkan pula, Mochtar gelar Soetan Negeri sebelum menjadi guru HIS mengikuti kursus guru utama di Bandoeng.[2] Mochtar lulus dari sekolah kedokteran STOVIA di Batavia pada 21 Juni 1916.[3][11] Harahap menulis bahwa Achmad Mochtar masuk STOVIA tahun 1907 dan lulus tepat waktu tahun 1916. Tidak ditemukan keterangan dimana Achmad Mochtar menyelesaikan pendidikan ELS (Europesch Lager School). Pada tahun 1908, Achmad Mochtar lulus ujian kelas satu tingkat persiapan (Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1908). Teman satu kelasnya antara lain Raden Seno. Satu tahun di atas mereka antara lain Raden Sardjito. Siswa yang tiga tahun diatas mereka antara lain Raden Soeselo dan Mohamad Sjaaf. Pada kelas-kelas senior antara lain: JA Latumeten dan AB Andu. Siswa yang lulus dan mendapat gelar dokter antara lain Raden Antariksa.[2] KarierMochtar memulai kariernya sebagai dokter di desa terpencil Panyabungan, Sumatera Utara selama dua tahun.[3] Ketika bertugas di Panyabungan, Achmad Mochtar bertemu dengan peneliti berkebangsaan Belanda bernama W.A.P Schüffner yang kala itu sedang meneliti malaria.[3] Schüffner kemudian menjadi mentor bagi Achmad Mochtar.[3] Berkat pengaruh Schüffner, pemerintahan kolonial Belanda mengirim Achmad Mochtar untuk mengikuti program doktoral di Universitas Amsterdam.[3] Disertasi yang diselesaikannya pada tahun 1927 menyangkal leptospira sebagai penyebab demam kuning, sebagaimana yang diketahui ilmu kedokteran pada masa itu.[3] Achmad Mochtar kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1927 dan melanjutkan penelitian tentang leptospirosis.[3] Mochtar berpindah-pindah tempat tinggal dari Bengkulu, Sumatera Barat, hingga Semarang. Dia aktif menghasilkan karya ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal ternama.[6] Pada tahun 1937, ia bergabung dengan lembaga penelitian The Central Medical Laboratory yang setahun kemudian berganti nama menjadi Lembaga Eijkman.[3] Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia dan menangkapi orang-orang berkebangsaaan Belanda, termasuk direktur Lembaga Eijkman pada masa itu yang bernama W.K. Martens. Martens meninggal akibat beri-beri saat berada dalam penyekapan militer Jepang.[3] Oleh karena itu, Achmad Mochtar diangkat menjadi pemimpin Lembaga Eijkman dan merupakan orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tersebut.[3] Tuduhan pencemaran vaksin tetanusPada tahun 1942, tentara Jepang memerintahkan Lembaga Pasteur di Bandung agar memproduksi vaksin untuk mengobati romusha yang diduga terserang tetanus.[3] Sekitar 90 orang romusa yang masih sehat dibawa ke rumah sakit pusat di Jakarta untuk mendapatkan vaksin tersebut, tetapi mereka semua meninggal dunia. Beberapa minggu kemudian, peneliti Lembaga Eijkman yang menganalisis sampel jaringan hasil otopsi menyimpulkan bahwa vaksin yang diberikan telah tercemar toksin tetanus.[3] Pada bulan Oktober 1944, Achmad Mochtar beserta staf peneliti Lembaga Eijkman dan para tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi ditangkap oleh tentara Jepang Kenpeitai dengan tuduhan melakukan sabotase terhadap vaksin yang diberikan kepada para romusha.[3] Mereka semua disekap, dipukul, dibakar, dan disiksa dengan metode waterboarding.[3] Beberapa dokter tewas dalam tahanan.[3] KematianPada bulan Januari 1945, para peneliti Lembaga Eijkman yang selamat dari siksaan tentara Jepang dibebaskan.[3] Tiga laporan terpisah menyebutkan Achmad Mochtar bernegosiasi dengan para penyekapnya; ia setuju untuk mengakui tuduhan sabotase bila para koleganya dilepaskan.[3] Achmad Mochtar dipancung pada tanggal 3 Juli 1945. Sebuah catatan harian tentara Jepang menyebutkan bahwa jenazah Achmad Mochtar dihancurkan dengan mesin gilas uap dan dibuang ke liang kuburan massal.[3] Penemuan makamSejak saat kematiannya pada tahun 1945, lokasi jenazah Achmad Mochtar tidak pernah diketahui.[3] Melalui investigasi yang dilakukan oleh penerusnya, Direktur Lembaga Eijkman, Sangkot Marzuki, dan koleganya, Kevin Baird, berhasil menemukan makam Achmad Mochtar di Ereveld, Ancol pada tahun 2010.[3] Jasad Achmad Mochtar dimakamkan dalam satu liang lahat bersama 9 orang lainnya.[3] PenghargaanUntuk menghargai jasa Achmad Mochtar, Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Satyalancana Kebaktian Sosial pada tahun 1968.[12] Melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 037/TK/Tahun 1972, Mochtar dianugerahi Bintang Tanda Jasa Kelas 3 (Bintang Jasa Nararya).[1] Di Bukittinggi, Sumatera Barat, penghargaan terhadap Mochtar diwujudkan dengan menamai rumah sakit umum dengan nama Mochtar. Sebelumnya, rumah sakit yang berada di Jalan Dr. A. Rivai itu bernama Rumah Sakit Umum Bukittinggi Kelas C. Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas mengusulkan pergantian nama kepada Menteri Kesehatan, yang disetujui melalui surat keputusan tertanggal 13 Oktober 1981. Di depan gedung utama rumah sakit dengan 306 tempat tidur itu terdapat patung putih Mochtar dengan tangan kanan menunjuk ke depan dan tangan kiri mengapit buku. Rumah sakit ini kini bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.[1][12] KeluargaAchmad Mochtar menikah dengan Siti Hasnah, kakak dari seorang ahli farmasi Ali Hanafiah. Ia juga merupakan paman dari Abu Hanifah (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1949-1950)[13] serta Usmar Ismail (sutradara kawakan dan pahlawan nasional). Lihat pulaReferensi
Pranala luar |