Share to:

 

Acting white

Berlagak seperti kulit putih (Inggris: acting white) ialah ungkapan untuk merendahkan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Istilah ini disematkan bagi orang kulit hitam yang dianggap mengkhianati ras kelompoknya atas dasar dugaan mengikuti harapan sosial masyarakat kulit putih.[1][2] Keberhasilan dalam bidang pendidikan khususnya dipandang sebagai bentuk "mengorbankan integritas dan kesetiaan" terhadap budaya orang yang bersangkutan.[2]

Istilah ini begitu kontroversial, sementara makna persisnya sulit untuk didefinisikan.[1] Prasangka negatif terhadap etnis tertentu telah menghalangi beberapa siswa minoritas untuk berprestasi di sekolah. Fenomena ini telah dibahas oleh tokoh masyarakat dan akademisi bidang politik dalam artikel The New York Times, majalah Time, dan The Wall Street Journal.[2]

Sejarah penggunaan

Komedian dan tokoh publik, Bill Cosby, mengeksplorasi istilah acting white dalam pidatonya tahun 2004.

Lazim atau tidaknya acting white telah diperdebatkan dalam literatur akademis.[2] Studi tahun 1986 yang diteliti oleh John Ogbu (sosiolog Nigeria) dan Signithia Fordham menyimpulkan bahwa siswa Afrika-Amerika yang berprestasi di sekolah menengah Washington, DC menginternalisasi budaya kulit putih hegemoni sebagai sebuah strategi untuk mencapai prestasi akademiknya sembari mempertahankan identitas ras kulit hitam. Pada saat itulah acting white muncul.

Bill Cosby yang merupakan komedian dan tokoh publik, menggunakan istilah tersebut dalam pidatonya pada Mei 2004. Saat itu, Cosby menentang komunitas kulit hitam atas gagasan mereka bahwa memperoleh pendidikan adalah acting white.[3] Don Lemon juga menyampaikan bahwa komunitas Afrika-Amerika merasa dirugikan atas pelabelan acting white saat mereka mampu berbicara fasih Bahasa Inggris maupun ketika mereka mampu menamatkan pendidikannya.[4]

Orang kulit hitam yang dituduh acting white terkadang dijuluki Black Anglo-Saxon, sebuah istilah yang diciptakan oleh komedian Paul Mooney.[5]

Tuduhan acting white

Barrack Obama

Sebelum pemilu AS tahun 2008, seorang aktivis senior bernama Ralph Nader menyebut Obama sebagai "berbicara seperti orang kulit putih" (Inggris: talking white).[6]

Kemenangan presiden Obama dalam pemilu 2008 dan citra publiknya telah memicu diskusi publik terkait kemungkinan Obama dalam mengubah citra acting white. John McWhorter dan Stephen J. Dubner menilai bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi.[7][8] Yahanna dari Israeli School of Universal Practical Knowledge, yang disebut Southern Poverty Law Center sebagai bagian dari asosiasi supremasi kulit hitam, tidak menganggap Obama sebagai orang kulit hitam. Ia memandang bahwa Obama adalah seorang "Afrika keturunan kulit putih" dan menyarankan orang Afrika-Amerika untuk tidak memilih Obama.[9]

Melalui pidatonya di Konvensi Nasional Demokrat (Inggris: Democratic National Convention) tahun 2004, Obama mengecam gagasan bahwa sebuah pencapaian dibatasi oleh acting white. Ia mengatakan, "Anak-anak tidak akan berprestasi kecuali jika mereka mematikan televisi dan membasmi fitnah yang mengatakan bahwa pemuda kulit hitam yang gemar membaca buku sebagai acting white."[1]

Russel Wilson

Russell Wilson selaku pemain sepak bola Seattle Seahawks mendapat kecaman pada tahun 2014 saat seorang anonim menuduh bahwa pemain tersebut tidak memiliki jiwa kulit hitam (blackness).[10] Mike Freeman dalam Bleacher Report berspekulasi bahwa konflik ini bisa jadi terkait dengan jual-beli pemain Percy Harvin dari Seahawks ke New York Jets.[11]

Studi kasus dan penelitian

Tidak semua cendekiawan mengartikan acting white dengan cara yang sama. Sebagian besar kejadian mengacu pada keadaan di mana beberapa remaja minoritas menghina rekan-rekannya yang berperilaku layaknya orang kulit putih. Dalam situasi ini, mereka menyamakan "perilaku kulit putih" dengan nilai tinggi di sekolah. Para peneliti menambahkan bahwa tolak ukurnya mungkin tak hanya terbatas pada nilai yang tinggi.[12]

Kebanyakan penelitian ini memiliki kelemahan dasar terkait penilaian mandiri para siswa tentang popularitasnya, sehingga menjadikan skor tersebut patut dipertanyakan.[1][3] Roland G. Fryer, Jr. mengatakan, "Menanyakan remaja apakah mereka populer atau tidak, sama halnya dengan menanyakan apakah mereka pernah berhubungan seks atau tidak."[3]

Fordham dan Ogbu

Studi tahun 1986 yang diteliti oleh Signithia Fordham dan John Ogbu (sosiolog Nigeria) menyimpulkan bahwa siswa Afrika-Amerika yang berprestasi di sekolah menengah Washington, DC menginternalisasi budaya kulit putih hegemoni sebagai sebuah strategi untuk mencapai prestasi akademiknya sembari mempertahankan identitas ras kulit hitam. Ogbu dalam bukunya Black American Students in an Affluent Suburb: A Study of Academic Disengagement (2003) menyatakan bahwa sikap kultural siswa kulit hitam sendiri terkadang menghambat pencapaian akademiknya dan menyoroti bahwa sikap ini seringkali diabaikan.

Pada karya sebelumnya yang berjudul Minority Education and Caste (1978), Ogbu menyatakan bahwa pemisahan sekolah di kalangan minoritas terjadi karena perilaku orang-orang kulit putih yang telah membatasi keberhasilan pekerjaan orang tua ras kulit hitam maupun orang lain di komunitasnya. Dalam buku teranyarnya, Ogbu menyatakan bahwa orang nonkulit putih telah gagal mengamati hubungan antara prestasi akademik dan akses ke pekerjaan.[13]

Ungkapan acting white bisa jadi merefleksikan nilai budaya pada remaja ras kulit hitam, meskipun penggunaannya terkadang kontra intuitif. Ogbu (2003) misalnya, melihat fenomena gadis remaja berkulit hitam yang dilabeli acting white hanya karena memiliki warna rambut yang tidak hitam. Contoh seperti ini menunjukkan bahwa tuduhan acting white tidak mengacu pada budaya kaum kulit hitam. Sebaliknya, acting white justru merupakan manifestasi dari perkembangan identitas rasial anak-anak dan remaja kulit hitam yang terkait dengan tekanan sosial maupun gurauan normal remaja. Hal itulah yang menyebabkan acting white tidak lazim di kalangan orang dewasa kulit hitam, yang dalam hal ini telah memahami identitas rasial mereka.

Studi lain

Dua cendekiawan bernama Philip J. Cook dan Jens Ludwig di tahun 2007 melaporkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang kulit hitam tidak menghadapi tekanan sosial yang lebih kuat terkait keberhasilan akademik dibandingkan orang kulit putih dan tidak pula merasakan keterasingan terkait pendidikan. Melalui kajian anekdot dan etnografi, Cook dan Ludwig menilai bahwa anggapan tersebut memang dirasakan oleh siswa minoritas, tetapi mereka menggarisbawahi bahwa hal ini tak dapat disamaratakan secara inheren dan tidak secara substansial pula memengaruhi perilaku siswa di kelas. Dua cendekiawan ini lantas menyebut fenomena acting white sebagai sebuah distraksi dari reformasi pendidikan.[2]

Meskipun hasil studi Ogbu tahun 1978 telah banyak dibahas, sebuah studi tahun 2003 mempertanyakan validitasnya. Sosiolog Karolyn Tyson dan ekonom William Darity Jr. dari Universitas Carolina Utara, Chapel Hill melakukan penelitian intensif selama 18 bulan di 11 sekolah Carolina Utara pada tahun 2003. Studi ini menunjukkan bahwa siswa kulit putih dan kulit hitam pada dasarnya memiliki sikap yang sama terhadap prestasi skolastik. Keduanya dipandang memiliki keinginan untuk berhasil di sekolah dan menunjukkan tingkat penghargaan diri lebih tinggi apabila mereka berprestasi. Tyson dan Darity kemudian menilai acting white sebagai sebuah masa peralihan remaja, seperti dalam film-film John Hughes.[5]

Roland G. Fryer, Jr. dan Paul Torelli dalam sebuah studi tahun 2010 menyatakan bahwa fenomena acting white kemungkinan berpengaruh kecil atau bahkan tidak sama sekali pada siswa yang mencapai kecerdasan rata-rata. Namun, mereka berpendapat bahwa fenomena tersebut kemungkinan justru menggambarkan peran disparitas kedua ras kulit tersebut terhadap tingkat prestasi yang lebih tinggi.[12] Berbeda dengan anggapan Fordham dan Ogbu, Fryer menyatakan bahwa fenomena acting white lebih umum terjadi tatkala sekolah tersebut lebih terintegrasi secara rasial. Hal tersebut tercermin pada kelompok-kelompok lain, seperti halnya imigran Italia di West End Boston dan Suku Maori di Selandia Baru. Ia kemudian menyimpulkan bahwa tentu akan ada kompromi yang harus dibayar ketika seseorang melakukan pekerjaan dengan baik terhadap penolakan dari rekan sekelompok yang secara historis berprestasi rendah.[1]

Seorang pengacara bernama Stuart Buck juga menyelidiki fenomena ini dalam Acting White: The Ironic Legacy of Desegregation (2010). Ia menyatakan bahwa segregasi sekolah kulit hitam yang terdiri dari guru, konselor, dan staf lainnya yang memiliki ras asal yang sama dengan populasi siswa telah menanamkan pandangan pada siswa bahwa mereka adalah mentornya. Lalu, adanya integrasi sekolah sejak pertengahan hingga akhir abad ke-20 kemudian menyebabkan siswa kulit hitam merasa dikendalikan oleh orang kulit putih. Atas hal tersebut, seorang siswa kulit hitam yang giat mencapai kesuksesan akademik lantas dicap sebagai seseorang yang mencoba meninggalkan kelompok minoritasnya.[14]

Margaret Beale Spencer dan Vinay Harpalani (2008) berpendapat bahwa acting white yang kerap dilontarkan oleh remaja kulit hitam tidak serta merta merefleksikan nilai budaya mereka. Sebaliknya, fenomena tersebut ialah manifestasi dari perkembangan identitas rasial mereka yang terjadi seiring dengan kenakalan remaja yang lazim.[15] Menggunakan kerangka 'Nigrescence' William E. Cross (1991), Spencer dan Harpalani menyatakan bahwa penggunaan istilah acting white yang dikaitkan dengan prestasi akademik persis seperti penggunaan istilah nerd oleh remaja kulit putih. Satu-satunya perbedaan ialah bahwa remaja kulit hitam mengungkapkannya dalam istilah rasial. Hal ini terjadi tidak hanya karena kenakalan remaja yang lazim, tetapi juga terkait fakta bahwa remaja kulit hitam tengah bergulat dengan identitas rasialnya dan pencarian jati diri sebagai seorang "hitam".[16]

Bahasa lainnya

Ungkapan serupa juga dapat ditemui dalam bahasa Spanyol Amerika Latin yakni "hacer las cosas como los blancos" (arti: melakukan hal-hal seperti orang kulit putih). Ungkapan ini dianggap sebagai pernyataan rasis pseudo-positif dan teguran dari orang kulit hitam yang kerap ditujukan kepada orang kulit hitam lainnya yang mampu melakukan sesuatu dengan cara yang benar. Ungkapan ini setidaknya menyiratkan makna bahwa orang kulit putih selalu melakukan sesuatu dengan baik.[17]

Komentar

Anne Arnett Ferguson, seorang profesor di Universitas Smith pada tahun 2001 berkomentar bahwa budaya kulit putih telah mengecualikan budaya Afrika-Amerika. Ia juga menyoroti adanya desakan di sekolah atas standar bahasa Inggris terhadap bahasa Inggris Vernakular Hitam.[18]

Sosiolog Karolyn Tyson dan ekonom William Darity Jr. dalam studi tahun 2003 mengungkapkan bahwa staf sekolah dan pengajar yang bersikap rasis terhadap kemampuan siswa kulit hitam akan menggunakan ungkapan acting white saat meninjau perbedaan kinerja siswa.[4] Shelby Steele dalam The Content of Our Character mengatakan bahwa apa yang ia identifikasi sebagai nilai hitam kelas menengah dipandang secara keliru oleh mayoritas orang kulit hitam sebagai "putih". Ia berargumen bahwa sikap ini sangat berbeda dengan isu-isu kemiskinan yang terjadi pada remaja kulit hitam.[2]

Clarence Page membandingkan sikap ini dengan mentalitas kepiting (Inggris: mentality crab, arti: "jika saya tidak dapat memilikinya, anda juga tidak dapat") di The News Hour with Jim Lehrer pada tahun 2004:

Dalam cerita rakyat Afrika-Amerika, kepiting laut adalaj salah satu makhluk paling bodoh yang memberikan pelajaran berharga. Ketika anda menangkapnya dalam ember, maka anda tidak perlu menutupnya. Karena ketika salah satu kepiting mencoba keluar, yang lain hanya akan menariknya kembali. Beberapa orang mungkin juga seperti itu. Sehingga, ketika mereka melihatmu bekerja keras untuk mencapai impianmu, mereka akan mengolok-olokmu hanya untuk membuatmu kesal.[19]

Kenji Yoshino, seorang profesor hukum di Universitas New York, dalam Covering: The Hidden Assault on Our Civil Rights (2006), menyatakan bahwa tekanan sosial selaras dengan arus budaya kulit putih. Ia berpendapat bahwa hal ini melanggar hak-hak sipil Afrika-Amerika, di mana setiap ras menurutnya dapat menjunjung tinggi perbedaan sosialnya masing-masing. Ia mengatakan bahwa orang kulit hitam harus bebas memilih identifikasi yang terkait dengan budaya kulit putih jika mereka mau.[20] Sementara itu, John McWhorter selaku pengamat politik memberikan komentar pada tahun 2008. Ia menyatakan bahwa remaja dapat melihat berbagai identitas, bahkan yang terkait dengan anti-kemapanan. Anak-anak kulit putih bisa menjadi stoner atau gothic, sementara anak-anak kulit hitam bisa menjadi 'non white'. Ia menafsirkan bahwa pelabelan nerd (kutu buku) hitam dan acting white hanyalah perkembangan "liyan" di antara anak-anak Afrika-Amerika yang disekolahkan campur.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e Fryer, Roland (2006). "Acting White". Education Next (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  2. ^ a b c d e f Cook, Philip J.; Ludwig, Jens (1997). "Weighing the "Burden of 'Acting White'": Are There Race Differences in Attitudes toward Education?" (PDF). Journal of Policy Analysis and Management. 16 (2): 256–278. ISSN 0276-8739. 
  3. ^ a b c d McWhorter, John (2019). "The Origins of the 'Acting White' Charge". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  4. ^ a b Lewis-McCoy, R. L'Heureux (2016). "Why Don Lemon Was Wrong". EBONY (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  5. ^ a b Ryfle, Steve (2010). "'Black Is the New White' by Paul Mooney". LA Times. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  6. ^ CBS (2008). "Nader: Obama Trying To "Talk White"". CBS News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  7. ^ Dubner, Stephen J. (2008). "Will There Be an "Acting Obama" Effect?". The New York Times. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  8. ^ NPR (2008). "Linguist John McWhorter Makes Case For Obama". NPR Organization (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  9. ^ Peisner, David (2009). "Why White Supremacists Support Barack Obama". Esquire. Esquire Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  10. ^ Porter, Essex (2008). "'Blackness' questioned? Russell Wilson responds". KIRO7. KIRO7. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  11. ^ Freeman, Mike (2008). "Mike Freeman's 10-Point Stance: Another WR Learns Not to Disrespect the QB". Bleacher Report. Bleacher Report. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  12. ^ a b Fryer, Roland; Torelli, Paul (2010). "An Empirical Analysis of 'Acting White'". Journal of Public Economics. 94 (5–6): 380–396. doi:10.1016/j.jpubeco.2009.10.011. 
  13. ^ Carter, Prudence (2005). Keepin' It Real: School Success Beyond Black and White. Transgressing Boundaries: Studies in Black Politics and Black Communities. Oxford: Oxford University Press. hlm. 4. ISBN 978-0-19-516862-4. 
  14. ^ Ford, Richard Thompson (2010). "Stuart Buck has a startling explanation for Acting White". Slate Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  15. ^ Leath, Seanna; Mathews, Channing; Harrison, Asya; Chavous, Tabbye (2019). "Racial Identity, Racial Discrimination, and Classroom Engagement Outcomes Among Black Girls and Boys in Predominantly Black and Predominantly White School Districts". American Educational Research Journal. 56 (4): 1318–1352. doi:10.3102/0002831218816955. ISSN 0002-8312. 
  16. ^ Hirschfeld, Lawrence A. (1992). "Shades of Black: Diversity in African-American Identity". American Anthropologist (dalam bahasa Inggris). 94 (4): 946–947. doi:10.1525/aa.1992.94.4.02a00210. ISSN 0002-7294. 
  17. ^ Lissardy, Gerardo (2019). ""Hacer cosas que son racistas y afirmar que no lo son es una herramienta nueva que Trump ha inventado"". BBC News Mundo (dalam bahasa Spanyol). Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  18. ^ Ferguson, Ann Arnett (2001). Bad boys: public schools in the making of black masculinity. USA: University of Michigan Press. hlm. 2. ISBN 978-0-472-08849-2.  [pranala nonaktif permanen]
  19. ^ Clarence Page (2004). "Essay: Acting White". News Hour with Jim Lehrer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009. Diakses tanggal 14 Maret 2022. 
  20. ^ Yoshino, Kenji (2007). Covering: The Hidden Assault on Our Civil Rights. New York: Random House. hlm. 4. ISBN 978-0-375-50820-2.  [pranala nonaktif permanen]

Bacaan lanjut

Kembali kehalaman sebelumnya