Adipati Karna: Bayi di Aliran Sungai
Adipati Karna: Bayi di Aliran Sungai adalah pementasan teater mengangkat kisah kehidupan Adipati Karna dari karya sastra wayang Mahabarata yang ditulis kembali oleh Ags. Arya Dipayana. Pementasan ini diproduksi oleh Teater Tetas dan diselenggarakan pada tahun 2019.[1] ProduksiPentas ini diselenggarakan oleh Teater Tetas serta didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, London School of Public Relations, Sewasewa.id, dan Simpul Teater Jakarta Selatan (Sintesa). Adipati Karna: Bayi di Aliran Sungai disutradarai oleh Harris Syaus sedangkan produksi dipimpin oleh Dony Suryatin. Kru lain yang terlibat yaitu Elly D. Luthan—koreografer tari yang memimpin Deddy Lutan Dance Company, bertindak sebagai penata gerak dan busana. Nanang Hape—dalang dan pemimpin Wayang Urban bertugas sebagai penata musik. Artistik ditata oleh Sugeng Yeah sedangkan cahaya ditata oleh Herry W. Nugroho. Werner Schulze, guru besar emeritus dari Universitas Musik dan Seni Pertunjukan Wina, Austria, juga terlibat dalam proses produksi pementasan ini.[2] Para pemusik terdiri dari Hendrikus Wisnugroho, Yosan Wahyu, Tendri Yusuf, Wiwid Kurniawan, dan Vokal Pi. Ide ceritaCerita Adipati Karna: Bayi di Aliran Sungai bersumber dari kisah kehidupan Adipati Karna dari karya sastra wayang Mahabarata. Kisah ini ditulis kembali oleh Ags. Arya Dipayana—pendiri Tetas yang sudah almarhum, dalam bahasa Indonesia dan menjadi sebuah naskah drama yang berjudul Bayi di Aliran Sungai. Pada 1999, Ags. Arya Dipayana menulis dan menyutradarai pentas Bayi di Aliran Sungai ini pada pentas keliling Teater Tetas di Makassar Art Forum dan Gedung Kesenian Jakarta. Sekarang Harris sebagai sutradara melakukan interpretasi ulang dalam sudut pandang cerita dan bentuk garapan. Salah satu wujud interpretasinya adalah pada penambahan kata pada judulnya, yaitu Adipati Karna, Bayi di Aliran Sungai. Hal itu sejalan dengan fokus yang dipilih sang sutradara ini, yaitu dampak perang saudara yang bisa dipetik dari penggalan kisah Mahabarata.[3] PenayanganTeater diselenggarakan di Gedung Pertunjukan Gelanggang Remaja Jakarta Selatan yang beralamat di Jalan Bulungan Blok C Nomor 1, Kebayoran Baru, pada tanggal 20 dan 21 September 2019 mulai pukul 20.00 WIB.[4] PlotPementasan dimulai dengan perjalanan kelam nasib Kunti. Putri Raja Kunti Boja yang mengabdi kepada Resi Druwasa ini hamil setelah memanggil Betara Surya dengan mantra sakti. Kunti melahirkan putranya melalui telinga dan menghanyutkan bayi itu untuk menutupi aibnya dan kemudian ditemukan oleh sepasang suami istri. Penonton lalu dibawa ke masa depan saat rombongan anak-anak Kuru, Pandawa, dan Kurawa berkompetisi dalam ilmu memanah oleh guru mereka, Durna. Arjuna mewakili Pandawa berbangga dengan kemampuan memanahnya, unggul di hadapan para Kurawa. Kemudian muncullah pemanah yang mengimbangi kemampuan Arjuna. Dialah Karna, yang jago memanah dan diajak bergabung dengan anak-anak Prabu Destrarata itu. Duryudana mengangkat Karna menjadi Raja Angga, salah satu kerajaan di bawah Hastinapura. Di sanalah muncul bibit permusuhan antara Karna dan Pandawa, terutama Arjuna. Pandawa memperlihatkan kesombongan dan kepongahannya dengan merendahkan Karna. Apalagi saat mereka tahu Karna adalah anak seorang sais. Karna juga ditolak dalam sayembara membentangkan panah untuk memperebutkan Drupadi. Prabu Kresna dan Dewi Kunti tidak bisa mengubah pendirian Adipati Karna yang telanjur kukuh untuk tetap berada dan berperang di pihak Kurawa. Perang Baratayudha pun terjadi dan jasadnya terbaring di padang Kurusetra. Dia dibunuh Arjuna, adik dari rahim yang sama. Pada narasi lain sebelumnya tentang Karna, dikisahkan pula Kunti dan Karna sangat merindukan satu sama lain dan getaran pertalian jiwa keduanya begitu liris. Terdapat pula narasi yang berbeda, yakni memperlihatkan kesombongan Pandawa. Duryudana sebagai seorang penggugat menyampaikan bahwa Pandawa-lah simbol kebaikan. Mereka justru sombong dan berusaha merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, bahkan sampai mempertaruhkan istri sendiri. Duryudana menggugat mengapa kecacatan menjadi penghalang seseorang menggenggam kekuasaan. Ia mempertanyakan pula kebenaran. "Kebenaran Tuhan, kebenaran penguasa, dan kebenaran diri sendiri." Dalam pentas ini memperlihatkan bahwa Pandawa dan Kurawa memiliki kebenaran masing-masing ketika menghadapi perang. Sejarah menjelaskan bahwa benar dan salah acap berkaitan dengan siapa yang menang dan kalah.[5] Pemeran
Referensi
|