Share to:

 

Agama di Indonesia

Agama di Indonesia (2021)[1]

  Islam (86.93%)
  Kristen Protestan (7.47%)
  Kristen Katolik (3.08%)
  Hindu (1.71%)
  Buddha (0.74%)
  Konghucu (0.05%)
  Agama lainnya (0.03%)
Peta persebaran agama di Indonesia berdasarkan data kependudukan pada tahun 2022

Agama di Indonesia terdiri atas berbagai macam agama. Dalam sensus resmi yang dilirik oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, penduduk Indonesia berjumlah 273,32 juta jiwa dengan 86,93% beragama Islam, 10,55% Kristen (7,47% Kristen Protestan, 3,08% Kristen Katolik), 1,71% Hindu, 0,74% Buddha, 0,05% Konghucu, dan 0,03% agama lainnya.

Ideologi Indonesia adalah Pancasila, pada sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Indonesia secara resmi adalah republik presidensial dan negara kesatuan tanpa mengesahkan agama resmi negara serta sebagai negara sekuler (bukan negara yang berlandaskan hukum agama).[2] Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".[3] Dalam Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pemerintah Republik Indonesia hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.[4] Belakangan, Agama asli Nusantara juga telah diakui melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tanggal 7 November 2017.[5][6][7] Dalam sejarahnya, konflik antaragama juga telah terjadi di Indonesia. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.[8]

Sejarah

Jalur Sutra, yang menghubungkan antara India dan Indonesia.
Kiri: Prosesi kremasi mapui dalam upacara ijam'me' Maanyan. Kanan: Sedekah laut di Situbondo.

Sampai awal era Masehi, orang-orang Nusantara (suku bangsa Austronesia serta bangsa Papua) menganut agama dan kepercayaan serta budaya sendiri.[9] Kelompok pendatang—dari subbenua India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda—menjadi faktor utama persebaran agama lain di Indonesia.[10] Meskipun demikian, agama beserta juga budaya yang dibawa ini diubah akibat beberapa modifikasi untuk menyesuaikan dengan karakteristik Indonesia.[11]

Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa, dan Sulawesi dengan membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.[12] Hinduisme memiliki pengaruh yang menentukan pada ideologi pemerintahan satu orang raja.[13]

Teori Makkah, teori ini dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold bersama Crawfurd, Niemann, dan de Hollander. Menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat Islam berasal, tetapi juga dari Arab. Dalam pandangan Arnold, para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi.

Pengaruh Islam telah masuk ke nusantara sekitar abad 7, dibawa langsung oleh para pedagang Arab. Buktinya adalah adanya permukiman Islam pada tahun 674 di Baros. Uraian tersebut merupakan proses masuknya Islam dalam Teori Arab atau Makkah. Teori ini juga disetujui oleh beberapa ahli Indonesia, salah satunya adalah Hamka. Selain alasan kesamaan mazhab, Hamka melihat bahwa gelar raja-raja Pasai adalah al-Malik, bukan Shah atau Khan seperti yang terjadi di Persia dan India. Di samping itu, pada abad ke-13 Masehi, ada ulama-ulama Jawi yang mengajarkan tasawuf di Makkah.

Mengutip jurnal Portugis dan Misi Kristenisasi di Ternate oleh Usman Nomay (204), Kristen mulai memasuki wilayah Nusantara setelah penjajah Portugis berhasil merebut Malaka, pusat perdagangan di Asia Tenggara. Dari Malaka, mereka berlayar ke wilayah penghasil rempah-rempah yaitu Maluku.

Saat tiba di Maluku mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate, bahkan diberi kesempatan untuk membangun benteng, sebagai bukti toleransi tinggi Sultan Ternate kepada tamunya.

Oleh sebab itu mereka mulai melaksanakan berbagai macam metode untuk mengajak orang-orang Ternate yang beragama Islam atau yang masih menganut dinamisme dan animisme untuk mengimani Kristen Katolik. Laki-laki Portugis mengawini budak-budak dan perempuan pribumi, kemudian menjadikan mereka penganut Katolik.

Melalui politik devide et impera dan kerjasama dengan penguasa lokal dalam bidang perdagangan, Portugis mulai melakukan misi Jesuitnya. Kepada orang awam, Portugis memberikan pengetahuan bahwa agama Kristen memberi kedamaian dan keselamatan.

Seorang misionaris, Franciscus Xaverius bahkan berhasil membaptis beribu-ribu orang. Selain Maluku, misi Katolik juga menyebar ke daerah-daerah lain seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur, sebelum Portugis diusir dari Kepulauan Nusantara pada 1575.

Mengutip jurnal Misi Kristen di Indonesia: Kesaksian Kristen Protestan oleh Benyamin F. Intan (2015), mulanya dalam kontrak antara VOC dan Belanda tidak terdapat pasal tentang kekristenan. Namun pada 1623 VOC juga diharuskan menyebarkan misi Kristen.

Karena motif utama VOC adalah perdagangan, maka dukungan terhadap penyebaran misi Protestan dilakukan selama hal tersebut mendatangkan keuntungan.

Setelah kekuatan Portugis di Nusantara hancur, pejabat VOC beranggapan pengkonversian agama penduduk dari Katolik ke Protestan sangat penting agar loyalitas mereka berpindah dari Portugis ke Belanda.

Oleh sebab itu selama kurun waktu 1602-1800, VOC mengirimkan 254 pendeta dan 800 konselor Kristen. Mereka memang berhasil mengkristenkan banyak orang, namun karena VOC berorientasi pada keuntungan politik dan ekonomi, banyak ditemukan warga yang identitasnya saja Kristen, namun pada praktiknya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Orientasi pada jumlah ini malah menghasilkan sinkretisme.

Mengutip Kolonialisme dan Misi Kristen di Jawa karya Muhammad Isa Anshory (2011), dibandingkan VOC, pemerintah Hindia Belanda memberikan lebih banyak perhatian terhadap perkembangan Kristen di wilayah koloninya. Pemerintah bahkan memberikan gaji kepada para pendeta yang berkarya di Hindia Belanda.

Namun untuk menjaga ketertiban dan keamanan, beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim dinyatakan tertutup bagi kegiatan misi. Misionaris yang akan menyebarkan agama harus mengantongi izin terlebih dahulu dari pemerintah.

Di era politik etis, persebaran Kristen semakin meluas. Para misionaris dengan bantuan subsidi pemerintah mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan balai-balai kesehatan.

Pada Periode Orde Lama Sukarno (dari tahun 1945 hingga 1965) terjadi gangguan antara agama dan negara.[14][perlu dijelaskan] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[15] Sebagai hasilnya, tiap-tiap warga negara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.[16]

Enam agama utama

Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama:

Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen [Protestan], Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Ciu (Confusius).[4]

Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian [sic], Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 [tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961–1969], lampiran A. Bidang I, angka 6.

Islam

Peta persebaran umat Islam di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.
Masjid Istiqlal di Jakarta

86,7% dari jumlah penduduk Indonesia adalah beragama Islam.[17] Mayoritas muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia (seperti di Jawa dan Sumatra) hingga wilayah pesisir Pulau Kalimantan. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat.[18][19]

Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut ke dalam kultur. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang Islam dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun 1297 telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam.[20] Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali karena perang saudara akibat pemberontakan Suro, Nambi dan Kuti, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah.[21]

Pada abad ke 15 dan 16, penyebaran Islam dipercepat oleh pekerjaan pendakwah Maulana Malik Ibrahim di Sumatra dan di Jawa oleh Wali Songo, serta kampanye yang dipimpin oleh sultan yang menargetkan kerajaan Hindu-Budha dengan masing-masing mencoba mengukir wilayah atau pulau untuk dikendalikan. Empat kesultanan yang beraneka ragam dan berkesinambungan muncul di Sumatera bagian utara dan selatan, Jawa barat dan tengah, serta Kalimantan bagian selatan. Para sultan menyatakan Islam sebagai agama negara dan mengajarkan kesetaraan antara penduduk dengan mengecam perbudakan yang membuat ketertarikan penduduk saat itu. Juga cara pengajaran yang lembut dan memberikan pengetahuan seperti pertanian, peternakan dan kesenian yang menjadikan Islam agama yang paling diterima.

Sunni
Pria muslim Indonesia mengenakan songkok dan sarung tengah mengerjakan shalat.
Adat Perlon Unggahan kepada leluhur oleh orang Muslim Jawa di Pekuncen, Banyumas, pada hari Jumat terakhir menjelang bulan Ramadan.

Sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni dari mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya[22] serta gerakan Salafiyah.[23] Dua jurusan Sunni yang utama ialah Islam Tradisionalis (misalnya ormas Nahdlatul 'Ulama) dan Modernisme Islam (Muhammadiyah dan lain-lain).[24] Terdapat sejumlah tarekat dari Sufisme (Tasawuf).[25] Di beberapa daerah, orang melanjutkan kepercayaan lama mereka dan mengadopsi versi sinkretik Islam, misalnya kaum Abangan di Jawa.[26][27]

Syiah

Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di Sumatera Utara (Aceh).[28] Kini, sisanya di atas 1% pengikut, yakni 1–3 juta orang, adalah penganut Syiah mazhab Dua Belas Imam, yang berada di Sumatra, Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga mazhab Ismailiyah di Bali.[29] Semisal di antara subsuku Hadhrami Arab-Indonesia.[30] Perkumpulan utamanya adalah Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).[31]

Ahmadiyyah

Terdapat sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jemaah Muslim Ahmadiyah Indonesia”, JMAI) yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Ahmadiyyah di Indonesia telah hadir sejak tahun 1925.[32] Pada tanggal 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.[33] Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri “Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia” (GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.[32]

Kekristenan

Kristen Protestan

Peta persebaran umat Kristen Protestan di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Kristen Protestan disebarkan di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar abad ke-17. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di Kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warga negara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.[34][35]

Pemakaman seorang kepala suku Kristen di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi (1971). Rumah didekorasi dengan salinan lukisan Perjamuan Terakhir oleh Leonardo da Vinci.
Gereja Protestan di Bukit Doa Getsemane Sanggam, Unjur, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara.

Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja, Toraja Utara, Mamasa, Poso dan Sulawesi Utara (Kecuali Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara dan Kota Kotamobagu) . Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di beberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.[36]

Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 70,48%, 63,60%, dan 53,77% dari jumlah penduduk.[17] Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola) dan Nias di Sumatera Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan.[37][36] Saat ini, 7,6% dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.[1] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) merupakan wadah tunggal payung bagi kebanyakan gereja Protestan Nusantara.[38]

Kristen Katolik

Peta persebaran umat Kristen Katolik di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.
Gereja Katedral Jakarta.

Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.[39]

Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.[40]

Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.[41][35]

Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember 1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.[42]

Pada tahun 2018, 3,12% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores. Selain di Flores, kantung Katolik yang cukup signifikan adalah di Jawa Tengah, yakni kawasan sekitar Muntilan, Magelang, Klaten, serta Yogyakarta. Selain masyarakat Jawa, iman Katolik juga menyebar di kalangan warga Tionghoa-Indonesia.[43]

Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik, yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi tersebut.[17]

Kristen Ortodoks

Pada abad ke-20 Gereja Ortodoks Timur hadir secara resmi dengan nama Gereja Ortodoks Indonesia (GOI), dimana para imam Ortodoks di Indonesia berasal dari dua kewilayahan, yaitu awalnya Gereja Ortodoks Yunani Kepatriarkan Konstantinopel dan kemudian Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia Kepatriarkan Moskow. Ketua umum Gereja Ortodoks Indonesia adalah Arkimandrit Rama Daniel Bambang Dwi Byantoro, Ph.D. yang adalah imam Indonesia pertama Gereja Ortodoks di Indonesia. Selain itu di Indonesia ada Gereja Ortodoks Oriental, yakni kelompok Gereja Ortodoks Suryani dan Gereja Ortodoks Koptik.[44]

Hindu

Peta persebaran umat Hindu di Indonesia berdasarkan sensus th. 2010.
Para pedanda Hindu Bali.

Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad penuh.[45]

Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesajian di tempat suci keluarganya.

Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.[46][47] Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.[46][48]

Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2018 adalah 4,6 juta orang, 1,74% dari jumlah penduduk Indonesia , merupakan nomor empat terbesar didunia.[49] Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada 10 juta orang Hindu.[50] Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa (teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga memiliki populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.[50]

Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju),[51], pula ada Agama Hindu Jawa suku Tengger,[52] Hindu Tolotang suku Bugis,[53], dan Aluk Todolo (Hindu Alukta) suku Toraja[54].

Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.[55]

Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai Baba,[50] Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi Samaj.[56]

Buddha

Peta persebaran umat Buddha di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.
Bhikku Buddha melaksanakan puja bakti di Borobudur

Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.[57]

Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.[58][59]

Di antara umat Buddhis Indonesia berada semua aliran Buddha utama: Mahāyāna, Vajrayāna, dan Theravāda. Kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia mengikuti aliran yang sinkretis dengan kepercayaan Tiongkok, yaini Tridharma dan juga Ikuanisme (Maytreya).[60]

Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu (hingga tahun 1998) dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.[61]

Konghucu

Peta persebaran umat Khonghucu di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.[62] Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Pada tahun 1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.[63][64]

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Konfusius adalah nabi mereka.[65][66][64]

Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.[66][64]

Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun 1967—mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu.[66][64] Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.[65]

Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.[66][64]

Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.[67]

Agama-agama asli

Peta persebaran umat "aliran kepercayaan" di Indonesia berdasarkan data kependudukan pada tahun 2022
Sembahyang, Sumatera Utara.

Sejumlah agama nenek moyang suku bangsa Austronesia dan Papua yang berdominasi di seluruh Nusantara sebelum masuk agama-agama asing. Beberapa dari mereka masih hidup sebagai kepercayaan adat yang murni atau telah sinkretis, yaitu agama:

Jumlah tak resmi penghayat kepercayaan di Indonesia adalah hingga 20 juta orang.[7]

Dukun Dayak.

Agama asli Nusantara telah diakui sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, ditegaskan bahwa putusan perintah tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama” maupun kelompok "Kepercayaan", bertentangan dengan Konstitusi, yakni kelompok-kelompok penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka.[5] [6][7]

Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) ialah wadah tunggal sebagai payung bagi kumpulan-kumpulan kepercayaan.[71]

Agama dan kepercayaan lainnya

Beberapa agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia, yaitu: Sikh; Jainisme; Yahudi; Baha'i; Taoisme serta kepercayaan tradisional Tionghoa; dan yang gerakan agama baru, seumpama Teosofi.[72]

Yahudi

Pendirian Yahudi awal di Nusantara berasal dari Portugal dan Spanyol (subsuku Sefardim) pada abad ke-17. Di abad ke-19 orang Yahudi dari Belanda, German dan India datang untuk berdagang rempah dan tinggal di Jakarta, Semarang (subsuku Yahudi Ashkenazi), dan Surabaya (Sefardim dan Mizrakhi Baghdadi). Pada tahun 1945, terdapat sekitar 2 ribu Yahudi Belanda di Indonesia. Pada tahun 1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazi di Jakarta dan Sefardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun 1963. Pada tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di Jakarta dan sedikit keluarga Baghdadi di Surabaya.[73][74]

Sinagoge di Surabaya pada 2007.

Yahudi di Surabaya pernah memiliki sinagoge (tempat ibadat). Mereka hanya melakukan sedikit hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan yang diberikan pada sinagoge. Sinagoge ini telah ditutup oleh umat Muslim yang menentang Perang Gaza 2008–2009.[75] Satu-satunya sinagoge yang masih tersisa terletak di kota Tondano, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh sekitar 10 orang beraliran Yahudi Ortodoks (kelompok Yudaisme Hasidut dari Chabad-Labavitch).[75][74]

Di Indonesia saat ini telah dibentuk "The United Indonesian Jewish Community–Gabungan Masyarakat Yahudi dan Turunan Ibrani Indonesia" (UIJC) oleh komunitas keturunan Yahudi Indonesia semua aliran. Organisasi ini sudah dibentuk sejak tahun 2009, tetapi baru diresmikan pada Oktober 2010. UIJC ini dipimpin oleh keluarga Verbrugge. Menurut sumber dari UIJC saat ini keturunan Yahudi di Indonesia yang sudah diketahui hampir mendekati 2 ribuan orang. Yang sudah terdeteksi 500-an, tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.[74]. Dan pada 2015, pusat resmi Yahudi pertama oleh rabi Tovia Singer, "Beit Torat Chaim" di Jakarta, diresmikan oleh Kementerian Agama.[76]

Baha'i

Di Indonesia hadir 22 ribu 115 orang pemeluk agama baru Baha'i pada tahun 2005.[77] Berapa jumlah mereka sebenarnya tidak diketahui dengan pasti karena sering kali mereka mengalami tekanan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya.[78]

Sejak 2014, keadaannya telah membaik dalam rencana Pemerintah untuk kemungkinan pengakuan agama ini (ada pendapat yang salah tentang sudah diadakan pengakuan resmi Baha'i pada tahun 2014).[79][80][81]

Sikh

Gurdwara Shree Guru Gobind Singh Sahib Ji di Kota Binjai, Sumatera Utara.

Migrasi kaum Sikh ke Indonesia mulai sejak th 1870-an (kaum menjaga serta pedagang). Ada beberapa gurdwara (tempat ibadah) dan sekolahnya di Sumatra dan Jawa, semisal gurdwara di Medan yang dibangun pada tahun 1911. Pada tahun 2005 didirikan “Majelis Tinggi Agama Sikh Indonesia” (Matasi).[82] Berjumlah sekira 7 ribu orang (atau 10–15 ribu[50]), Sikh tidak termasuk dalam enam agama yang diakui di Indonesia, para penganut Sikh mengisi kolom agama pada KTP mereka dengan kata “Hindu”.[83]

Jainisme

Jainisme adalah satu-satunya agama India kuno yang tidak diketahui hadir pada zaman lalu di Nusantara. Masa sekarang di Jakarta sudah ada kelompok kecil Jain — “Jain Social Group Indonesia (JSG Indonesia)” di antara kaum India-Indonesia.[84]

Gerakan agama baru

Tidak serupa gerakan dan sekte Islam atau Hindu baru, gerakan agama baru tidak dapat dikaitkan dengan agama tradisional mana pun. Gerakan-gerakan keagamaan baru yang paling terkenal di Indonesia adalah: Perhimpunan Teosofi,[85] Meditasi Transcendental,[86] Falun Gong,[50] Radha Soami Satsang Beas (RSSB),[82] dan berasal dari Indonesia Sedulur Sikep (Saminisme),[87] Subud[88] serta Komunitas Eden[50][89].

Hubungan antar agama

Walaupun Pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Pada masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama.[65][90] Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Yang terakhir, dipimpin oleh Jenderal Prabowo Subianto, mendukung Islamisasi, sementara Jenderal Wiranto mendukung negara sekuler.[91]

Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam, terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus kerusuhan Kepulauan Maluku dan kerusuhan Poso.[92]

Pada tahun 2007–2012 ada serangan dari kaum Sunni terhadap masjid dan rumah-rumah Syiah dan Ahmadiyyah.[93] Untuk mencegah hal ini terjadi di masa depan, pada tahun 2011, khususnya, didirikan Mejlis Sunni dan Syiah (MUHSIN).[94]

Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.[95] Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia.[95]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama RELIGION
  2. ^ Intan 2006, hlm. 40; Lindsey & Pausacker 1995; Hosen 2005, hlm. 419–40; Seo 2013, hlm. 44; Ropi 2017, hlm. 61 dll.
  3. ^ "Undang-Undang Dasar 1945". JDIH DPR RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-28. Diakses tanggal 11 Januari 2021. 
  4. ^ a b Hosen 2005, hlm. 419–440; Shah 2017; Marshall 2018, hlm. 85–96.
  5. ^ a b Sutanto, Trisno S. (26 April 2018). "Dekolonisasi Masyarakat Adat: Catatan dari Seminar PGI". Program study agama dan lintas budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-01. Diakses tanggal 28-02-2019. 
  6. ^ a b Siregar, Rospita Adelina (2018). "Kebijakan Publik bila Mencantumkan Aliran Kepercayaan dalam Admininistrasi Kependudukan sebagai Bentuk Revitalisasi Pancasila" (PDF). Dalam Dr. Lamhot Naibaho, S.Pd, M.Hum; Dr. Demsy Jura, M.Th. Seminar Nasional "Revitalisasi Indonesia melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan Pancasila", diselenggarakan oleh Pusat Sudi Lintas Agama dan Budaya — Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Indonesia. Jakarta, 22 November 2018. Jakarta: UKI Press. hlm. 173–77. ISBN 978-979-8148-96-5. 
  7. ^ a b c Marshall 2018, hlm. 85–96.
  8. ^ "Transmigration". Prevent Conflict. April 2002. Diakses tanggal 13-10-2006. 
  9. ^ Subagya 1969; Schefold 1980; Popov 2017, hlm. 96.
  10. ^ Shaw, Elliott, ed. (28 November 2016). "Indonesian Religions". PHILTAR. Diakses tanggal 02-03-2019. 
  11. ^ "Sejarah Agama dan Keyakinan di Indonesia". NU Online. Diakses tanggal 2024-01-13. 
  12. ^ Mantra 1958; Gonda 1975, hlm. 1–54; Kinney, Klokke & Kieven 2003; Levenda 2011; Acri & Griffiths 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
  13. ^ Heine-Geldern, Robert (1956). Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia. Ithaca, NY: Southeast Asia Program Publications of Cornell University. 
  14. ^ Intan 2006, hlm. 44–50.
  15. ^ Geertz 1972, hlm. 62–84; Bertrand 2004, hlm. 34–104.
  16. ^ Bertrand 2004, hlm. 34–104.
  17. ^ a b c Badan Pusat Statistik (Oktober 2011), Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010 (PDF), Jakarta: Badan Pusat Statistik, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 Juli 2017 
  18. ^ Azra 2006, hlm. 31–42.
  19. ^ Husain 2017.
  20. ^ Amrullah 1982; Atjeh 1971; Hasymi 1981; Husain 2017; Laffan 2015; Ricklefs 2006; Ricklefs 2007; Ricklefs 2013; Saifullah 2010.
  21. ^ Geerts 1982; Mufid 2006.
  22. ^ Mehden 1995; Husain 2017; Burhanudin & Dijk 2013.
  23. ^ Hasan 2007; Solahudin 2011; Hauser-Schäublin & Harnish 2014, hlm. 144–61; Krismono 2017; Baskara 2017.
  24. ^ Mehden 1995.
  25. ^ Bruinessen 1992; Kraus 1997, hlm. 169–89; Howell 2001, hlm. 701–29; Mufid 2006; Sidel 2006; Mulyati 2010; Laffan 2015.
  26. ^ Geertz 1982; Headley 2004; Hefner 1989; Hurmain 1991; Mufid 2006; Muhaimin 2006; Picard & Madinier 2011, hlm. 71–93; Rasjidi 1967; Ricklefs 2006; Romdon 1993.
  27. ^ Simuh 1995; Woodward 1989; Woodward 2011.
  28. ^ Atjeh 1971, hlm. 32.
  29. ^ Ali 1994–95, hlm. 67–93; Atjeh 1977; Hasymi 1983; Ida 2016, hlm. 194–215; Zulkifli 2011.
  30. ^ Jacobsen, Frode (2009). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia. Taylor & Francis. hlm. 19–. ISBN 978-0-415-48092-5. 
  31. ^ Zulkifli 2011, hlm. 197.
  32. ^ a b Burhani 2014, hlm. 143–44.
  33. ^ Rahman 2014, hlm. 418–20.
  34. ^ Aritonang 1995; Aritonang & Steenbrink 2008; Cooley 1968; Goh 2005, hlm. 80; Schröter 2010.
  35. ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Christianity.
  36. ^ a b "Indonesia — (Asia)". Reformed Online. Diakses tanggal 07-10-2006. 
  37. ^ Cooley 1968; Aritonang & Steenbrink 2008; Rodgers 1981.
  38. ^ Popov 2017, hlm. 23.
  39. ^ Boelaars 2005; Aritonang & Steenbrink 2008; Steenbrink 2003.
  40. ^ Vermander, Benoit. "Francis Xavier and Asia: the road to cultural inventiveness". Academic director of Taipei Ricci Institute. International Study Commission. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-04. Diakses tanggal 07-10-2006. 
  41. ^ Steenbrink 2003.
  42. ^ Steenbrink 2007.
  43. ^ Steenbrink 2015.
  44. ^ Popov 2017, hlm. 42–45.
  45. ^ Mantra 1958; Gonda 1975, hlm. 1–54; Kinney, Klokke & Kieven 2003, hlm. 17–20; Levenda 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
  46. ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Hinduism.
  47. ^ Lansing 1987, hlm. 45–49.
  48. ^ Belo 1960; Geertz 1973; [[#CITEREFGoris1974|Goris 1974]]; Hooykaas 1974; Howe 2001; Lansing 1987, hlm. 45–49; Ramstedt 2004; Stuart-Fox 2010; Swellengrebel 1960; Swellengrebel 1969.
  49. ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei 2018. Diakses tanggal 20-10-2011.  [pranala nonaktif permanen]
  50. ^ a b c d e f "International Religious Freedom Report 2008. Indonesia". US Department of State. Diakses tanggal 31-03-2014. 
  51. ^ Metcalf 1987; Rousseau 1998; Schärer 1963; Winzeler 1993.
  52. ^ Hefner 1989.
  53. ^ Matthes 1872; Pelras 1987, hlm. 560–61.
  54. ^ Budiman 2013; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986; Nooy-Palm 1987, hlm. 565–67; Segara 2023.
  55. ^ Geertz 1982; Headley 2004; Hefner 1989; Mufid 2006; Muhaimin 2006; Picard & Madinier 2011, hlm. 71–93; Rasjidi 1967; Ricklefs 2006.
  56. ^ Popov 2017, hlm. 78–82.
  57. ^ Mantra 1958; Kinney, Klokke & Kieven 2003, hlm. 17–20; Levenda 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
  58. ^ Kimura 2003, hlm. 53–72.
  59. ^ Frederick; Worden. (1993). Chapter Buddhism.
  60. ^ Brown 1987, hlm. 108–17; Brown 1990; Cheu 1999; Hauser-Schäublin & Harnish 2014, hlm. 84–112; Kimura 2003, hlm. 53–72; Syryadinata 2005, hlm. 77–94; Syukur 2010, hlm. 105–38.
  61. ^ Syukur 2010, hlm. 105–38; Syryadinata 2005, hlm. 77–94.
  62. ^ Cheu 1999.
  63. ^ Syryadinata 2005, hlm. 77–94.
  64. ^ a b c d e Chambert-Loir 2015, hlm. 67–107.
  65. ^ a b c Syukur 2010, hlm. 105–38.
  66. ^ a b c d Yang 2005.
  67. ^ Syryadinata 2005, hlm. 77–94; Syukur 2010, hlm. 105–38; Sai & Hoon 2013; Sandkühler 2014, hlm. 157–84.
  68. ^ Budiman 2013; Endraswana 2011; Ensiklopedi Kepercayaan 2010; Geertz 1960; Ilyas & Imam 1988; Imam 2005; Kartapradja 1985; Koentjaraningrat 1987, hlm. 559–63; Maria & Limbeng 2007; Matthes 1872.
  69. ^ Metcalf 1987, hlm. 290–92; Mulder 1980; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986; Nooy-Palm 1987, hlm. 565–67; Pelras 1987, hlm. 560–61; Popov 2017, hlm. 96–104; Rodgers 1981; Rodgers 1987, hlm. 81–83; Rousseau 1998.
  70. ^ Schärer 1963; Schefold 1988, hlm. 5–22; Stange 2009; Subagya 1969; Sucipto & Limbeng 2007; Volkman 1985; Weinstock 1983; Winzeler 1993.
  71. ^ "Pembukaan Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Direktorat Jendral Kebudayaan. 13-10-2014. Diakses tanggal 14-03-2020. 
  72. ^ Popov 2017, hlm. 105–13.
  73. ^ Klemperer-Markman, Ayala. "The Jewish Community of Indonesia". Museum of the Jewish People at Beit Hatfutsot. Diakses tanggal 15-12-2006.  [pranala nonaktif permanen]
  74. ^ a b c Popov 2017, hlm. 109.
  75. ^ a b Onishi, Norimitsu (22 November 2010). "In Sliver of Indonesia, Public Embrace of Judaism". The New York Times. Diakses tanggal 23-11-2010. 
  76. ^ Serebryanski, Yossi (28 August 2015). "Jews of Indonesia and Papua New Guinea". The Jewish Press. Diakses tanggal 19-06-2016. 
  77. ^ "Most Baha'i Nations (2005)". The ARDA Association of Religion Data Archives. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-09. Diakses tanggal 12-02-2019. 
  78. ^ Bambang, ed. (6 November 2007). "Agama Baha`i Bukan Sekte Dalam Islam". ANTARA News. Diakses tanggal 28-02-2019. 
  79. ^ Muhammad Hafil (2014-08-08). "Setelah Diakui Agama, Baha'i Ucapkan Terima Kasih ke Menteri Agama". Republika Online. 
  80. ^ Nurish, Amanah (8 August 2014). "Welcoming Baha'i: New official religion in Indonesia". The Jakarta Post. Diakses tanggal 21-02-2014. 
  81. ^ Pedersen, Lene (2016). "Religious Pluralism in Indonesia". The Asia Pacific Journal of Anthropology. 17 (5: Special Issue: Communal Peace and Conflict in Indonesia: Navigating Inter-religious Boundaries): 387–98. 
  82. ^ a b Popov 2017, hlm. 110–11.
  83. ^ Kahlon 2016.
  84. ^ Popov 2017, hlm. 108.
  85. ^ Ensiklopedi Kepercayaan 2010, hlm. 325–27; Popov 2017, hlm. 112–13.
  86. ^ Popov 2017, hlm. 81.
  87. ^ Benda & Castles 1969, hlm. 207-40; Sastroatmodjo 1952; Shiraishi 1990, hlm. 95-122.
  88. ^ Clarke, Peter B., ed. (2006). Encyclopedia of New Religious Movements. London; New York: Routledge. hlm. 607–608. ISBN 9-78-0-415-26707-6. 
  89. ^ Popov 2017, hlm. 103–104.
  90. ^ Effendi, Wahyu (28 Juni 2004). "Pembaruan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 13-10-2006. 
  91. ^ Lindsey & Pausacker 1995; Lidde 1996, hlm. 613–34; Bertrand 2004, hlm. 34–104.
  92. ^ Lindsey & Pausacker 1995; Bertrand 2004, hlm. 34–104; Pringle 2010, hlm. 143–57; Crouch 2013; Duncan 2013.
  93. ^ Zulkifli 2011; Rahman 2014, hlm. 418–20; Ida 2016, hlm. 194–215.
  94. ^ "RI Sunni-Shia Council established". The Jakarta Post. 21 May 2011. Diakses tanggal 31-03-2019. 
  95. ^ a b "Transcript of Joint Press Conference Indonesian Foreign Minister, Hassan Wirajuda, with Australian Foreign Minister, Alexander Downer" (Siaran pers). Embassy of Republic of Indonesia at Canberra, Australia. 6 Desember 2004. Diakses tanggal 14-10-2006.  "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-24. Diakses tanggal 2007-02-27. 

Kepustakaan

Dalam bahasa Indonesia/Melayu

Dalam bahasa Inggris

Dalam bahasa lain

  • Bratakesawa, Raden (1954). Falsafah Sitidjenar: ngrewat pangrembag paham wahdatul-wudjud (pantheisme) ing tanah Djawi, ingkang ménggok dados paham ngaken Allah tuwin ngorakaken wontenipun ingkang nitahaken (atheisme) (dalam bahasa Jawa). Surabaya: Kulawarga Bratakesawa. 
  • Matthes, Benjamin F. (1872). Over de bissoe’s of heidensche priesters en priesteessen der Boeginezen [Tentang bissu atau pendeta pagan Bugis] (dalam bahasa Belanda). Amsterdam. 
  • Schefold, Reimar (1980). Spielzeug für die Seelen — Kunst und Kultur der Mentawai-Inseln (Indonesien) [Mainan untuk Jiwa: seni dan budaya Mentawai (Indonesia)] (dalam bahasa Jerman). Zürich: Museum Rietberg. 
  • Schefold, Reimar (1988). "De wildernis als cultuur van gene ziijde: tribale concepten van "natuur" in Indonesiο" [Hutan belantara sebagai budaya masa lalu: konsep suku "alam" di Indonesia]. Antropologische verkenningen (dalam bahasa Belanda). 7 (4): 5–22. 
  • Schlehe, Judith (1998). Die Meereskönigin des Südens, Ratu Kidul. Geisterpolitik im javanischen Alltag [Ratu Laut Selatan, Ratu Kidul. Politik Roh dalam Kehidupan Harian Jawa] (dalam bahasa Jerman). Berlin: Dietrich Reimer. ISBN 3-496-02657-X. 

Pranala luar

AgamaAgama
Agama
AteismeAteisme
Ateisme
BuddhaBuddha
Buddha
HinduHindu
Hindu
IslamIslam
Islam
KristenKristen
Kristen
MitologiMitologi
Mitologi
YahudiYahudi
Yahudi
Agama Ateisme Buddha Hindu Islam & Al Qur'an Kristen Mitologi Yahudi
Kembali kehalaman sebelumnya