Share to:

 

Agama di Jawa

Nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami sinkretisme.

Pada agama Buddha yang relatif tidak mengenal konsep Ilahi alias causa prima, konsepsi Buddha di Jawa mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang tiga dewa utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan Sang Hyang Widhi.

Dalam meng-Islamisasi-kan Jawa, pada Kitab Usulbiyah yang ditulis Sultan Agung, digambarkan bahwa Muhammad mengenakan mahkota emas dari Majapahit. Tak hanya itu, dikatakan bahwa membaca kitab ini setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam.

Penentangan terhadap pengislaman Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islam pun, penentangan tak berhenti. Misalnya, pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmoghandul.

Tiga karya itu adalah karya yang tak jarang sarkastis. Versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah njawani dan tidak berlaku laiknya orang Arab yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim kaffah atau seutuhnya, pun tidak jarang.

Misalnya, dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang Lebih Agung), Mangkunegara IV bersyair:

Jika kalian berkeras untuk meniru

Teladan Sang Nabi

Duhai Putra-putriku, kalian melakukan hal yang mustahil

Artinya kalian tak akan bertahan lama

Karena kalian ini orang Jawa

Sedikit saja sudahlah cukup.

Demikian pula pada saat kedatangan agama Kristen. Kiai Sadrach, seorang misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme. Tidak hanya mencantumkan kiai di depan namanya, Sadrach juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misinya.

Sinkretisme ini bahkan tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, seorang misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya kontekstualisasi. Coolen tak ragu memakai jampi-jampi dan mantra dalam upayanya.

Bahkan Coolen dengan yakin memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa. Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai Dewi Sri, Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.

Lihat pula

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya