Agustinus Yi Kwang-honAgustinus Gwang-Heon adalah salah satu martir Katolik Korea. Santo Agustinus Yi Kwang-hon lahir pada tahun 1787 di Kwangju, Gyeonggi-do Korea. Ia berasal dari keluarga bangsawan Kwangju Yi, yang mana pada masa penganiayaan tahun 1801, banyak anggota keluarga bangsawan ini yang gugur menjadi martir Kristus. Agustinus Yi Kwang-hon bersama dengan adik laki-lakinya, Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol, istrinya Barbara Kwon Hui, dan juga putrinya Agatha Yi, empat anggota dalam satu keluarga ini juga memenangkan mahkota kemartiran dan menjadi menjadi saksi-saksi Kristus yang jaya. Yi Kwang-hon dikenal sangat cerdas dan cakap dan diketahui pada masa mudanya ia kurang menahan diri dan terjerumus dalam pergaulan bebas. Pada masa ini, Raja Jeongjo (Raja ke-22 dari Dinasti Joseon) meninggal dunia dan digantikan oleh Pangeran Sun-jo yang saat itu masih berusia sebelas tahun. Pergantian kekuasaan ini memiliki dampak politik dimana kekuasaan berpindah-pindah dari satu fraksi ke fraksi lain. Gereja Katolik Korea yang baru saja bertumbuh terjebak dalam pertarungan politik dan penganiayaan terhadap Gereja mulai terjadi pada tahun 1801. Di Tahun itu Gereja Katolik dinyatakan sebagai ajaran yang salah dan terlarang di seluruh wilayah kerajaan. Penganiayaan dimulai dan darah para martir Kristus pun mengalir di tanah Korea. Pada waktu itu, Yi Kwang-hon berusia tiga puluh tahun dan sudah menikah dengan Kwon Hui selama beberapa tahun. Kebiasaannya untuk keluyuran dan hidup bebas masih belum berubah. Suatu hari, dia secara tidak sengaja bertemu dengan seorang Katolik yang saleh. Dari orang itulah pertama kalinya dia mendengar tentang Kristus dan iman Kristiani. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Yi Kwang-hon merenungkan bahwa Tuhan yang memiliki segala sesuatu di Surga dan bumi itu ada, dan juga Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa serta menjadi Bapa bagi semua orang. Dan ketika manusia meninggal, tubuhnya kembali menjadi debu, namun jiwanya akan tetap hidup. Mendalami ajaran Kristiani membuat Yi Kwang-hon merasa bagai dilahirkan kembali. Dia kini dapat melihat pola hidupnya selama ini yang tidak lebih baik daripada seekor binatang buas. Dia merasa menyesal akan dosa masa lalunya dan berharap dapat meneladani hidup Santo Agustinus yang pernah menjalani kehidupan yang bebas dan penuh dosa di masa muda sebelum akhirnya bertobat. Setelah belajar katekese selama beberapa waktu, Yi Kwang-hon kemudian dibabtis dengan nama Agustinus. Hidup Agustinus Yi Kwang-Hon pun berubah. Ia berhenti minum anggur dan jarang meninggalkan rumah. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdoa dan merenung sendirian. Suatu hari, dia memanggil istri bersama adiknya, lalu berkata kepada mereka, "Beberapa waktu yang lalu saya mendengar tentang Gereja Katolik. Pemerintah telah menyatakan ajaran ini sebagai ajaran terlarang. Tetapi menurut saya, ajaran iman Katolik membuat yang lain (kehidupan duniawi) tampak tiada berarti. Sama seperti adanya matahari dan bulan, dibalik itu semua terdapat Tuhan yang sejati. Karena itu daripada saya mempercayai ajaran ini sendirian, betapa baiknya jika istri dan saudara lelaki saya juga ikut percaya bersama saya. Bagaimana menurut kalian.? " Istri dan adiknya pernah mendengar tentang Gereja Katolik, dan mereka setuju untuk bergabung dengannya. Masing-masing mereka kemudian dibabtis dengan nama Barbara dan Yohanes Pembabtis. Rumah keluarga bangsawan ini kemudian digunakan sebagai tempat berkumpul bagi umat Katolik dan Agustinus menjadi seorang katekis. Bersama dengan istrinya Barbara, Agustinus berusaha keras memperkenalkan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-NYA dan sekuat tenaga memelihara komunitas umat Katolik di lingkungan mereka. Sementara itu, tekanan politik semakin memuncak dan penganiayaan atas umat Katolik semakin sering terjadi. Pada malam hari tanggal 7 April 1839, tiba-tiba polisi mengepung sebuah penginapan di seberang rumah di mana para misionaris biasanya tinggal. Banyak umat Katolik yang ada di penginapan itu ditangkap dan dibawa ke penjara. Diantara mereka terdapat seorang wanita yang suaminya masih seorang katekumen, yang tahu banyak tentang umat Katolik diwilayah itu. Mendengar tentang penangkapan istrinya, sang suami bergegas ke kantor polisi dan meminta istrinya untuk murtad agar bisa dibebaskan. Namun sang istri dengan tegas menolak untuk menyangkal imannya. Suaminya menjadi marah lalu membeberkan kepada polisi semua informasi yang ia ketahui tentang umat Katolik termasuk nama lima puluh tiga umat Katolik di wilayah itu. Berbekal informasi ini, polisi segera melakukan penangkapan dihari berikutnya. Tanggal 8 April rumah Damianus Nam myong-hyok dan Agustinus Yi Kwang-hon digrebek. Agustinus beserta istrinya Barbara Kwon Hui, putri mereka Agatha Yi yang masih berusia tujuh belas tahun, serta dua putra mereka yang masih kecil-kecil, ditangkap bersama puluhan umat Katolik lainnya. Mereka kemudian dibawa ke penjara. Para pria dimasukkan dalam satu sel penjara, para wanita di sel lainnya, dan anak-anak didalam sel ketiga. Ketika putra Agustinus Yi Kwang-hon yang masih berusia delapan tahun menangis karena ingin bersama dengan kedua orang tuanya, salah seorang penjaga lalu memukulinya. Barbara Kwon Hui pun meradang melihat puteranya dipukuli. “Apa kesalahan yang telah anak itu lakukan sehingga anda memukulinya?” Teriaknya sengit. “Apakah anda sendiri tidak memiliki anak?”. Tetapi Agustinus menenangkannya, “Bersabarlah”, kata Agustinus. “Kita ini adalah anak domba persembahan bagi Allah. Janganlah kita kehilangan kesempatan ini.” Sejak saat itu, Barbara Kwon Hui menjadi lebih sabar dan tabah. Ia menerima segala perlakuan kasar terhadap dirinya dan mengangapnya sebagai rahmat. Para tahanan diinterogasi pada pagi hari berikutnya. Agustinus Yi Kwang-hon menjadi orang pertama yang dipanggil. Penjaga berkata kepadanya, “Dengan satu kata dari mulutmu untuk mengkhianati Allah, maka kamu, istrimu, anak-anakmu juga adikmu dapat dibebaskan, dan juga seluruh milikmu akan dikembalikan,”. Namun Agustinus menjawab, “Hal yang paling penting bagi saya di dunia ini adalah iman saya. Bahkan jika saya harus kehilangan segalanya, saya tidak dapat mengkhianati Allah.” Ketika istrinya Barbara dan putrinya Agatha dipanggil, jawaban mereka juga sama. Hal ini membuat komisaris menjadi sangat marah dan memerintahkan agar bangsawan Agustinus Yi Kwang-hon disiksa dengan keji. Agustinus dibawa ketempat penyiksaan lalu dipukuli dengan gada sampai sebagian besar daging di tubuhnya hancur bagaikan bubur. Namun dengan iman yang tak tergoyahkan, Agustinus menerima semua siksaan ini dengan tabah dan penuh rasa syukur. Ia mengucap syukur karena demi imannya, ia boleh menderita sengsara seperti yang dialami Tuhan Yesus dalam perjalanan menuju bukit kalvari. Setelah melalui tiga hari persidangan, hakim lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Agustinus Yi Kwan-Hon dan delapan tahanan Katolik lainnya. Pada tanggal 24 mei 1839, Agustinus Yi Kwang-hon yang saat itu berusia 53 tahun; dieksekusi bersama delapan orang martir Kristus lainnya. Para pahlawan iman ini tewas dipenggal di luar Pintu Gerbang Kecil Barat di pusat kota Seoul. Pada tanggal 20 Juli 1839, Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol bersama dengan tujuh orang umat Katolik lainnya, dipenggal di Pintu Gerbang Kecil Barat kota Seoul. Pada saat itu Yohanes Pembaptis Yi Kwang-ryol berusia 45 tahun. Pada tanggal 3 September 1839, Barbara Kwon Hui bersama dengan lima orang wanita Katolik lainnya dipenggal ditempat yang sama. Pada 9 Januari 1840, puteri Agustinus dan Barbara yaitu Agatha Yi bersama dengan Teresia Kim tewas dicekik penyidik dalam sebuah interogasi di sel tahanan. Dengan demikian, empat anggota keluarga Agustinus Yi Kwang-Ho telah memenangkan mahkota kemartiran. Mereka dibeatifikasi bersama para Martir Korea lainnya pada tanggal 5 Juli 1925 oleh paus Pius XI, dan dikanonisasi bersama juga pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1] Referensi |