Aliyuddin II dari Banten
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin II yang bernama asli Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aqiluddin merupakan seorang sultan pada Kesultanan Banten yang berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1803 - 1808[2] yang setelah sebelumnya administrasi Kesultanan Banten dipegang oleh seorang Caretaker Sultan Wakil Pangeran Natawijaya pada rentang waktu 1802 - 1803.[3] Sultan Aliuddin II merupakan putera dari Sultan Aluiddin I (Sultan Banten ke-13) dan adik kandung dari Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin (Sultan Banten ke-15).[4] BiografiPada tahun 1803, Kesultanan Banten kembali dipegang oleh pewaris resmi takhta kesultanan, Putra Sultan Penuh Banten ke-13, keponakan Sultan Penuh Banten ke-14, adik Sultan Penuh Banten ke-15; yakni Sultan Abul Mufakhir Muhammad Aqiluddin / Aliyuddin II yang memimpin dari tahun 1803 – 1808. Mulai tahun 1807, Belanda dikuasai oleh Prancis. Louis Bonaparte (adik Kaisar Napoleon Bonaparte, Prancis) diberi kekuasaan atas Belanda dan mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur di Kepulauan Nusantara atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels datang ke Batavia tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India, untuk tugas tersebut Daendels berencana membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dengan mempekerjakan masyarakat Banten dengan sistem Kerja Paksa atau Rodi.[5] Diasingkan ke AmbonSultan Aliuddin II sempat menentang tuntutan Belanda atas sistem kerja paksa. Lantas Daendels mengutus Komandeur Philip Pieter Du Puy dan pasukannya ke Istana Surasowan untuk mendorong Sultan menyetujui tuntutan Belanda, hal ini mendorong kemarahan rakyat Banten sehingga Du Puy dibunuh di depan pintu gerbang Surasowan. Daendels membalas menyerang Surasowan pada hari itu juga yakni tanggal 22 Nopember 1808 dengan serangan kejutan yang berhasil merebut Surasowan. Sultan kemudian dibuang ke Ambon, Patih Mangkubumi dihukum pancung dan jasadnya dibuang ke laut.[6] Referensi
Pranala luar
|