Aminah SjoekoerAminah Sjoekoer (20 Februari 1901 – 3 Maret 1968) adalah tokoh wanita keturunan Indo, yang memperjuangkan pentingnya setaraan pendidikan untuk kaum wanita di zaman penjajahan kolonial Belanda, yang bernama asli Atje Voorstad, pendiri Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita di Samarinda Kalimantan Timur sekitar tahun 1928.[1] Tak dibesarkan di Samarinda, Atje datang ke Samarinda bersama Raden Rawan, suami pertamanya. Raden Rawan merupakan seorang laki-laki yang mempunyai darah Banjar dari pihak ibunya dan besar di Jakarta. Dari pernikahannya bersama dengan Raden Rawan ini, Atje dikaruniai seorang anak perempuan. Pada saat pindah ke Samarinda, Atje menjadi seorang mualaf dan mengganti namanya menjadi Aminah. Namun, pernikahannya bersama dengan Raden Rawan tak berlangsung langgeng dan memutuskan untuk berpisah. Atje kemudian menikah dengan seorang pria bernama M. Yacob. Yacob merupakan seorang pegawai kantor. Bersama dengan suaminya ini, Aminah mendirikan Meisje School yang kemudian menjadi Sekolah Kepandaian Putri (SKP) yang berada di Yacob Steg (sekarang bernama Jalan Mutiara). Hati Aminah tergerak untuk merintis kemajuan pendidikan perempuan di Samarinda yang pada era kolonial kaum perempuan di Kaltim termasuk yang terbelakang. Meisje School pun didirikan untuk mendidik murid-murid dari kalangan pribumi dengan prioritas kaum perempuan. Meski peruntukannya untuk anak perempuan, anak laki-laki juga ada yang bersekolah di Meisje School. Keponakan Aminah dan Jacob yang bernama Abdoel Moeis Hassan termasuk satu dari antara muridnya. Abdoel Moeis Hassan—bukan Moeis yang dijadikan nama RSUD yang beranak-cucu politikus—kelak menjadi pemimpin pejuang Republiken di Kaltim era Revolusi Kemerdekaan 1945–1949.[2] Sekolah yang dirintisnya ini mengakibatkan intervensi Kolonial Belanda (1928) yang mengambil alih Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Ningrat Pribumi). Dari pernikahannya ini, Aminah melahirkan dua orang anak. Namun, lagi-lagi Aminah berpisah dengan suaminya. Sebagai seorang guru, Aminah pernah mengajar di SD negeri di daerah Sungai Pinang (kini di jalan Imam Bonjol), SD Permandian (kini SD negeri di dekat kantor pusat PDAM), dan Sekolah Kepandaian Puteri. Selain mengajar di sekolah, Aminah juga menjadi guru privat. Ia mendatangi murid-murid dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki. Ia pun mengajar di rumahnya di kawasan Wilhelmina Straat yang kini bernama Jalan Diponegoro di Samarinda. Aminah mengajari kedisiplinan tinggi pada murid-muridnya . Ia menjadi sosok yang populer di Samarinda. Masyarakat Kota Tepian tempo dulu mengenal Aminah sebagai “Nenek Belanda” yang rajin mengajar. Meskipun keturunan Belanda, Aminah sangat dihormati masyarakat Samarinda. Apresiasi ini merupakan bukti bahwa masyarakat Samarinda sejak dulu terbuka terhadap pendatang. Pada zaman kolonial, bahkan seorang Belanda akan diterima dan dihormati sepanjang ia baik apalagi mengabdi untuk masyarakat. Kebaikan manusia tidak akan tersekat varian etnis dan geografis. Namanya bahkan disematkan menjadi salah satu nama jalan utama di tengah kota Samarinda. Mengarungi bahtera keluarga untuk ketiga kalinya, Aminah dinikahi oleh seorang pria bernama Sjoekoer dan mendapatkan penambahan nama suaminya di belakang namanya. Bersama dengan Sjoekoer ini, Aminah semakin giat mengajar. Aminah Sjoekoer meninggal di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1968 dan dikebumikan di sana. Namun, pada saat Kadrie Oening menjabat sebagai Wali kota Samarinda, jasad Aminah Sjoekoer dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan yang berada di Jalan Pahlawan Samarinda.[3] Lihat pulaPranala luar
|