Share to:

 

Amrus Natalsya

Amrus Natalsya
LahirAmrus Natalsya
(1933-10-21)21 Oktober 1933
Natal, Mandailing Natal, Keresidenan Tapanuli, Hindia Belanda
Meninggal31 Januari 2024(2024-01-31) (umur 90)
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
KebangsaanIndonesia
PendidikanSeni Rupa Indonesia di Yogyakarta (1954)
Karya terkenal
"Orang Buta yang Terlupakan" (1955)
"Tangisan Tak Terdengar" (1955)
"Teman-temanku" (1959)
"Bahtera Nuh" (1998)
"Kota Pecinan" (1999)
Gerakan politikBumi Tarung

Amrus Natalsya (21 Oktober 1933 – 31 Januari 2024)[1] adalah seorang penyair, pelukis, dan seniman patung kayu Indonesia. Dia adalah seorang tahanan politik rezim Soeharto; ditangkap selama Transisi ke Orde Baru pada tahun 1965 karena hubungannya dengan Partai Komunis, ia ditahan di penjara tanpa dakwaan hingga tahun 1973.

Latar belakang

Amrus merupakan seorang Minangkabau yang lahir dari pasangan Rustam Syah Alam dan Aminah di Natal, Sumatera Utara. Nama pemberiannya adalah Amrus, anagram dari nama ayahnya. Namun ketika bersekolah di Yogyakarta, ia menambahkan Natalsya pada nama belakangnya. Ini kombinasi dari nama kampung halamannya "Natal" dan nama kakeknya "Syah Alam", seorang jaksa yang pandai bermain biola. Amrus menyelesaikan sekolah dasar di Natal, dan melanjutkan sekolah menengah di Medan. Sambil bersekolah di Medan, dia juga menjadi calo tiket bioskop, dan sering berkelahi untuk memperebutkan pelanggan.[2]

Kehidupan

Setelah lulus SMA, ia masuk Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1954. Pada pameran siswa di Museum Sonobudoyo, patung kayunya "Seorang Buta yang Terlupakan" dibeli oleh presiden Soekarno. Pada tahun yang sama di Bandung, ia berpartisipasi dalam pameran yang bertepatan dengan Konferensi Asia-Afrika. Dalam pameran tersebut ia memamerkan karya terbarunya "Tangisan yang Tak Terdengar", yang dipuji oleh kritikus seni Amerika Serikat, Claire Holt. Holt menulis:

... Betapa luar biasanya sang seniman yang menampilkan penderitaan dan perjuangan jiwa pada pameran ini. Amrus adalah pematung muda paling orisinal dengan karya-karya berkualitas yang jarang Anda lihat pada seniman Indonesia lainnya. - [3]

Pada tahun 1957, ia menggelar pameran tunggal pertamanya di Jakarta. Dalam pameran itu ia mempersembahkan pahatan kayu setinggi empat meter. Pada tahun 1959, dia bersama Batara Lubis, dan kartunis A. Sibarani, mewakili Indonesia pada Pekan Pemuda Internasional di Wina. Dalam perjalanan pulang menuju Indonesia, mereka mengunjungi Uni Soviet dan Cina. Tahun berikutnya dia pergi ke Jeddah, Arab Saudi atas undangan walikota untuk membuat panel kayu dengan kaligrafi. Disaat yang sama ia melakukan ibadah haji.

Pada tahun 1960, pada pameran mahasiswa di Jakarta, ia memamerkan lukisan di atas kanvas. Lagi-lagi ia menarik perhatian Soekarno yang kemudian membeli lukisannya yang berjudul "Teman-temanku". Pada tahun 1961, bersama mahasiswa lain (Misbach Tamrin, Kuslan Budiman, Adrianus Gumelar, dan lain-lain) ia mendirikan bengkel seni "Bumi Tarung" di Jakarta.[4][5] Pada saat yang sama ia mengikuti kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia.[6]

Setelah peristiwa 30 September 1965, ia ditangkap dan ditahan tanpa pengadilan. Patung-patung karyanya dibakar saat pergantian pemerintahan Orde Lama. Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1973, ia bekerja di bengkelnya di Pasar Seni Ancol.[7] Disini dia menguasai genre baru—gambar di papan tulis, yang menjadi sangat populer di kalangan kolektor.

Namun ia tidak meninggalkan kegemaran lamanya pada patung kayu. Pada sebuah pameran di Pusat Kebudayaan Jakarta di tahun 1998, patung "Bahtera Nuh" karyanya diakui sebagai karya terbaik pameran dan dibeli oleh Museum Universitas Pelita Harapan. Adapun gambar-gambar di papan, seri yang paling mengesankan adalah "Pecinan", yang dibuatnya ketika anti-Cina sedang menggema di tahun 1998. Tahun 1999 karya ini dipamerkan di Mon Monk Gallery yang bergengsi.[8] Pada tahun 2004, ia kembali mengadakan pameran tunggal di Mon Monk Gallery, dan satu tahun kemudian di Canna Gallery. Koleksi lukisan dan pahatannya banyak dimiliki oleh kolektor Indonesia Etty Mustafa, yang telah mengoleksi karya-karyanya sejak 1995.[9]

Publikasi

  • Puisi-Puisi Amrus Natalsya. Banjarmasin: Tahura Media, 2015

Lihat pula

  • Natalsya, Amrus (1933--) - Routledge Encyclopedia of Modernism
  • Agus Dermawan T. Kayu-kayu berlagu: seni lukis kayu. [Jakarta]: Kawan Lama Abdi Bangsa, 2010. (Katalog lukisan kayu karya Amrus Natalsya)

Referensi

  1. ^ Dewan Kesenian Jakarta (Desember 1980). 1980 Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 4 (PDF). Dewan Kesenian Jakarta. 
  2. ^ Pusat Data Dan Analisa Tempo, Amrus Natalsya: Seni dan Sanggar Bumi Tarung
  3. ^ Misbach Tamrin. Amrus Natalsya Wood Painting. Etty Mustafa Collection. Editor Misbach Tamrin, K.P. Hardi Danowijoyo. Jakarta: Rumah Budaya Hardi, 2014, p. 25
  4. ^ Misbach Tamrin. Amrus Natalsya dan Bumi Tatung. Bogor: Amnat Studio. 2008
  5. ^ Bumi Tarung Perupa Lekra. "Tempo", 1 Oktober 2013
  6. ^ The Journey of Indonesian Painting: The Bentara Budaya Collection. Jakarta: Bentara Budaya, 2008, h. 12
  7. ^ Ensiklopedi Tokoh Jakarta, Amrus Natalsya
  8. ^ Amir Sidharta. Chinatown. [Jakarta]: Galeri Mon Decor, 2004
  9. ^ Misbach Tamrin. Amrus Natalsya Wood Painting. Etty Mustafa Collection. Editor Misbach Tamrin, K.P. Hardi DAnowijoyo. Jakarta: Rumah Budaya Hardi, 2014
Kembali kehalaman sebelumnya