Anak Krakatau
Pulau Anak Krakatau adalah pulau vulkanik kecil, anggota dari kepulauan Krakatau, yang berposisi di antara Pulau Sertung (Bld.: Verlaten Eiland) di sisi baratnya dan Pulau Rakata Kecil atau Pulau Panjang (Bld.: Lang Eiland) di sisi timurnya yang secara administratif berlokasi di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Lampung Selatan[1]. Tampilan pulau ini didominasi oleh gunung api yang masih selalu aktif, Gunung Anak Krakatau. Hampir setiap waktu, hanya dengan jeda beberapa bulan, gunung ini selalu meletus kecil dengan tipe "Stromboli", berupa letusan eksplosif yang memancarkan material baru ke udara, untuk membangun tubuhnya. Aktivitas yang menunjukkan kemunculan pulau ini dimulai pada tahun 1927, di titik yang dulunya adalah laut dengan kedalaman 27 m dan sebelumnya pernah menjadi bagian daratan Pulau Rakata. Sejak 1930 pulau ini tidak lagi tergerus air laut dan dengan demikian menjadi pulau termuda di Indonesia yang terbentuk melalui aktivitas vulkanik. KemunculanSeusai letusan kataklismik Gunung Krakatau pada tahun 1883, Pulau Rakata kehilangan kira-kira 2/3 tubuhnya di sisi barat laut, melenyapkan puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, serta menyisakan paruh selatan Gunung Krakatau (yang sekarang tetap disebut Pulau Rakata). Bagian yang "hilang" ini menjadi laut dangkal. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, pada awal tahun 1927 mulai tampak aktivitas vulkanik di titik di antara bekas puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, dengan munculnya kepulan asap disertai letusan-letusan kecil. Usia daratan yang sempat muncul hanya seminggu, karena kemudian diruntuhkan kembali oleh gelombang laut. Beberapa bulan kemudian aktivitas vulkanik dimulai lagi hingga membentuk daratan.[2] Karena hujan dan gelombang, daratan ini kembali runtuh di bawah permukaan air laut kembali setelah aktivitas vulkaniknya terhenti. Proses ini berlangsung terus selama sekitar tiga tahun. Baru sejak 11 Agustus 1930 pulau ini tidak pernah lagi runtuh dan terus-menerus mengalami letusan-letusan.[3] Pada tahun 1935, pulau ini berbentuk hampir bundar dengan diameter sekitar 1200 m, ketinggian 63 m; pada tahun 1940 tingginya sudah 125 m. Pada tahun 1955 pulau ini tercatat ketinggiannya menjadi 155 m dari permukaan laut. Pada tahun 1959 gunung meletus kembali dan mengeluarkan asap hitam tebal sampai setinggi 600 m. Bersamaan dengan aktivitas vulkanik gunung api yang ada di pulau ini, titik tertinggi pulau ini terus meningkat dengan laju 7-9 meter per tahun, dan hingga catatan bulan September 2018, yang merupakan catatan sebelum terjadi longsoran tubuh pada 22 Desember 2018, ketinggian yang tercapai adalah 338 meter dari permukaan laut.[4] Status administratif dan pengelolaanSebagai anggota gugusan kepulauan Krakatau, Pulau Anak Krakatau secara administratif merupakan wilayah Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.[5] Seluruh kawasan kepulauan merupakan kawasan dilindungi secara hukum, sebagai Cagar Alam Krakatau yang dikelola oleh BKSDA (Badan Konservasi Sumberdaya Alam) Lampung Selatan. Kawasan ini, terutama Pulau Anak Krakatau, memiliki keistimewaan dari sisi ekologi karena menjadi laboratorium alam bagaimana suatu ekosistem membangun kembali dirinya dalam situasi yang relatif terisolasi. Dari sisi geologi pun kawasan ini juga menjadi tempat pembelajaran yang sangat berguna. Aktivitas kegunungapian saat ini dipantau dari dua titik: Pos Pengamatan Pasauran, sebelah utara Pantai Carita, di sisi Pulau Jawa dan Pos Pengamatan Kalianda di sisi Pulau Sumatera. Selain itu, di beberapa titik Pulau Anak Krakatau juga dipasang beberapa alat pemantau aktivitas vulkanik (meskipun berkali-kali rusak karena aktivitas gunung api yang sangat tinggi). Erupsi 2018 dan aktivitas setelahnyaDimulai sejak 29 Juni 2018, aktivitas vulkanik di pulau ini mulai meningkat kembali, sehingga statusnya meningkat menjadi level II (Waspada). Semua aktivitas manusia dilarang pada radius 3 km dari titik puncak. Frekuensi erupsi semakin meningkat pada bulan Oktober-November, dengan munculnya letusan yang disertai lontaran lava pijar dan batu, serta awan panas. Setelah sempat agak mereda, pada pertengahan Desember aktivitas kembali meningkat. Pada tanggal 22 Desember, gunung Anak Krakatau seperti hari-hari sebelumnya mengalami rangkaian letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah dan mencatatkan gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Letusan yang terjadi pada pukul 21.03 WIB, yang tak teramati secara visual maupun terdeteksi oleh alat pencatat kegempaan tektonik, tampaknya menimbulkan peristiwa luar biasa berupa longsoran tubuh gunung yang masuk ke laut, yang berakibat fatal. Selang beberapa menit dilaporkan terjadi tsunami di beberapa pantai barat Banten dan selatan Lampung. Longsoran yang menyebabkan tsunami ini dikonfirmasi berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG sehari setelah tsunami terjadi. Diperkirakan ada luasan minimal 64 hektare yang " hilang", yang diukur melalui tafsiran citra satelit sehari setelah laporan tsunami. Aktivitas erupsi setelah longsor besar tetap berlangsung dengan frekuensi tinggi tetapi tipe erupsi tidak lagi tipe Stromboli melainkan tipe Surtsey, yaitu bercampurnya magma dengan air laut.[6] Pada tanggal 26 Desember 2018 dilaporkan terjadi hujan debu vulkanik di kawasan Cilegon (Banten) yang telah dikonfirmasi. Pihak berwenang sejak pukul 06.00 tanggal 27 Desember 2018 menaikkan status Gunung Anak Krakatau menjadi level III (Siaga). Pada status ini, semua aktivitas pada radius 5 km dari puncak harus ditiadakan.[4] Level ini adalah level bahaya tertinggi yang dapat diberikan untuk gunung ini. Pengamatan visual dan perkiraan berdasarkan citra satelit yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 2018 menunjukkan perubahan morfologi besar. Ketinggian puncak Gunung Anak Krakatau tinggal 110 m dari muka laut, dan volume daratan yang longsor ke dalam laut diperkirakan 150 juta sampai 180 juta meter kubik, menyisakan bagian daratan sebesar 40 juta sampai 70 juta meter kubik.[7] Dengan ketinggian baru ini, Pulau Anak Krakatau sejak 26 Desember 2018 memiliki puncak tertinggi lebih rendah daripada pulau-pulau tetangganya, Pulau Sertung (182 m dpl) dan Pulau Panjang (132 m dpl). Memasuki tahun 2019, tercatat aktivitas letusan yang meskipun masih tinggi, namun semakin melemah. Aktivitas yang tinggi ini menyulitkan pengamatan morfologi pulau karena asap dan abu tebal menghalangi pandangan mata. Foto satelit yang dipublikasi PlanetLabs Inc. menunjukkan perubahan morfologi yang pesat dari 30 Desember sampai 4 Januari 2019. Di bekas runtuhan gunung sempat terbentuk laguna ke dalam, tetapi kemudian laguna itu terpotong daratan baru sehingga terbentuk semacam danau kawah.[8][9] Pada tanggal 5 Januari 2019 pukul 11:11 WIB terjadi lagi erupsi dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 m di atas puncak.[10] Seri foto dan rekaman video menggunakan satelit pada tanggal dron oleh seorang fotografer pada tanggal 11 Januari 2019 yang diunggah di media sosial menunjukkan dengan jelas danau kawah yang terbentuk dan kerusakan vegetasi yang ditimbulkan oleh longsoran, tsunami, dan letusan tanggal 22 Desember 2018 di pulau-pulau anggota gugus Krakatau.[11] Setelah "beristirahat" selama sekitar satu bulan, Gunung Anak Krakatau kembali memperlihatkan aktivitasnya. Tercatat dua kali erupsi kecil pada dini hari tanggal 14 Februari[12] dan siang hari 18 Februari 2019;[13] dengan yang terakhir menghasilkan menara asap setinggi 500 m. Terhitung sejak 25 Maret 2019, aras bahaya Gunung Anak Krakatau diturunkan ke aras 2 (waspada) karena aktivitas yang semakin menurun.[14] Pada kondisi ini, BPPT mencanangkan pemasangan buoy "Merah Putih" pada jarak 5 km dari puncak Gunung Anak Krakatau sebagai bagian dari sistem pendeteksian gempa bumi dan tsunami.[15] Namun demikian, pada tanggal 1 Mei dan beberapa hari berikutnya seismometer (yang telah dipasang kembali di pulau) mencatat aktivitas kegempaan vulkanik dari Gunung Anak Krakatau.[14][16][17] Aktivitas ini tidak mengubah status bahaya gunung api tersebut. Setelah beberapa bulan tidak memperlihatkan gejala vulkanik tampak, mulai 22 Agustus 2019 PVMBG melaporkan aktivitas vulkanik berupa semburan kolom abu dan asap teramati kembali, meskipun tidak terlalu besar[18] Ini diikuti dengan erupsi pada tanggal 24 September 2019[19] yang diikuti letupan pada tanggal 25[20] dan 30 September 2019,[21] 27 Oktober 2019,[22] dan 31 Desember 2019.[23] Catatan aktivitas berlanjut pada tahun 2020 dengan laporan letusan kecil pada tanggal 7 Januari 2020 dan 7 Februari 2020.[24][25] Rujukan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Anak Krakatau.
|