Ancaman nuklir selama invasi Ukraina oleh RusiaSelama peristiwa invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, telah banyak dibahas oleh para komentator di media, tentang kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir taktis dan risiko eskalasi nuklir yang lebih luas. Beberapa politisi senior Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, membuat sejumlah pernyataan yang dianggap sebagai ancaman atas penggunaan senjata nuklir.[1] Selain itu, pendudukan Rusia atas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhia, telah menyebabkan krisis terhadap keamanan pembangkit dan risiko terjadinya bencana nuklir. Pernyataan RusiaEmpat hari setelah dimulainya invasi Rusia, pada 28 Februari, Presiden Putin memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk melakukan "mode tugas tempur khusus", dalam keadaan siaga tinggi.[2][3] 2022Pada 20 April 2022, Rusia melakukan uji perdana atas peluncuran baru rudal balistik antarbenua (Intercontinental Ballistic Missile-ICBM) jarak jauh RS-28 Sarmat. Putin menyatakan bahwa rudal baru tersebut dapat mengalahkan pertahanan rudal apa pun dan hal ini, membuat negara-negara yang mengancam Rusia akan "berpikir dua kali".[4] Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa Rusia telah memberi informasi sebelumnya tentang peluncuran ini kepada Amerika Serikat, sesuai dengan New START, sehingga berdasarkan hal tersebut, Amerika menganggap bahwa peluncuran tersebut sebagai uji rutin dan bukan ancaman.[5] Sebagai tanggapan atas pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dengan Zelenskyy di Kyiv pada 23 April, keesokan harinya, pada 24 April Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan bahwa dukungan lebih lanjut terhadap Ukraina dapat menyebabkan ketegangan yang berpotensi mengarah pada skenario Perang Dunia III, yang melibatkan persenjataan penuh Rusia.[6] Sehari setelah komentar Lavrov, CNBC melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Lloyd Austin menyebut retorika perang nuklir Rusia sebagai hal yang "berbahaya dan tidak membantu".[7] Menanggapi pengerahan senjata tank oleh Jerman ke Ukraina, dalam forum Majelis Legislatif Utama Rusia, Putin mengumumkan bahwa Rusia akan menanggapi setiap provokasi militer agresif yang datang dari luar Ukraina, melalui tindakan yang harus segera direspons dengan persenjataan nuklir khas Rusia.[8] Sekretaris Pers Pentagon John Kirby mengutarakan bahwa pernyataan Putin tentang potensi nuklir, bertentangan dengan proses resolusi damai atas konflik yang terjadi di Ukraina.[9] Pada tanggal 29 Mei, setelah menyangkal tuduhan terhadap Rusia mengenai kekejaman di Bucha, Duta Besar Rusia untuk Inggris Andrei Kelin, dalam sesi wawancara dengan BBC, menyatakan bahwa ia tidak percaya Rusia akan menggunakan senjata nuklir taktis di Ukraina hingga kedaulatan Rusia berada dalam situasi yang berbahaya.[3] Pada 21 September, saat mengumumkan mobilisasi wajib militer sebagian pasukan cadangan, Putin menyatakan Rusia "akan menggunakan semua cara yang kita miliki." Hal ini secara luas ditafsirkan sebagai ancaman untuk menggunakan senjata nuklir, dalam mempertahankan wilayah negaranya.[10] Ia memperingatkan ancamannya "bukan gertakan", tanpa dasar menuduh NATO melakukan "pemerasan nuklir" yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap Rusia dan Putin mengatakan bahwa senjata-senjata nuklir Rusia lebih maju daripada NATO.[11][12] Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov tidak mengesampingkan penggunaan senjata nuklir untuk mempertahankan wilayah Ukraina yang dianeksasi.[13] Beberapa hari kemudian, mantan presiden Rusia dan sekutu Putin Dmitry Medvedev membuat ancaman serangan nuklir yang lebih nyata terhadap Ukraina.[14] Pada tanggal 1 Oktober, Ramzan Kadyrov, kepala Republik Chechnya, meminta Rusia untuk menggunakan senjata nuklir berdaya ledak rendah di Ukraina, sebagai tanggapan atas hilangnya kekuasaan Rusia atas kota Lyman yang penting secara strategis di Ukraina.[15] Kadyrov merupakan pejabat terkemuka Rusia pertama yang secara langsung meminta penggunaan senjata nuklir.[16] Sekretaris pers Kremlin, Dmitry Peskov dalam menanggapi komentar Kadyrov, menyatakan bahwa penggunaan senjata nuklir akan ditentukan oleh doktrin militer Rusia dan bukan dengan emosi.[17] Pada bulan yang sama, para pejabat Rusia, termasuk Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu,[18] mulai menuduh Ukraina bersiap untuk menggunakan bom radioaktif yang disebut dengan "bom kotor" di wilayah Ukraina, memicu kekhawatiran Barat, bahwa Rusia sendiri mungkin berencana menggunakan bom kotor, lalu menyalahkan Ukraina. Tuduhan tersebut juga dikomunikasikan melalui panggilan telepon ke para pejabat Barat oleh dua pejabat tinggi Rusia.[19] Tanggal 24 Oktober, John Kirby menyatakan tidak ada bukti Rusia sedang mempersiapkan serangan bom kotor.[20] Sebuah tweet oleh Kementerian Pertahanan Rusia, yang konon menunjukkan bukti pembuatan bom kotor Ukraina, dibantah sebagai kumpulan foto-foto lama yang tidak berhubungan.[21] Atas permintaan Ukraina, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirim penyelidikan IAEA ke Ukraina, yang tidak menemukan bukti bom kotor tengah dikembangkan atau aktivitas nuklir lain yang tidak dilaporkan.[22][23][24] 2023Pada 22 Januari 2023, Pemimpin Negara Bagian Duma, Federasi Rusia, Vyacheslav Volodin, menyatakan melalui aplikasi Telegram bahwa "Jika Washington dan negara-negara yang tergabung dalam NATO memasok persenjataan yang akan digunakan untuk menyerang kota-kota sipil, sebagaimana ancaman mereka yang berupaya untuk merampas teritorial kita, hal ini akan mengarah kepada tindakan pembalasan, dengan menggunakan persenjataan yang lebih kuat" dan "pernyataan bahwa kekuatan nuklir yang sebelumnya tidak digunakan sebagai senjata pemusnah massal dalam konflik-konflik lokal, tidak dapat dipertahankan. Karena negara-negara bagian ini, tidak menghadapi situasi ketika terdapat sebuah ancaman terhadap keamanan penduduknya dan ancaman integritas teritorial negara tersebut".[25] Pada bulan yang sama, Rusia berulang kali menuduh Ukraina menyimpan peralatan militernya di pembangkit-pembangkit listrik nuklir yang berada di bawah kendalinya. Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang memiliki pengamat tetap diseluruh pembangkit listrik nuklir Ukraina sejak 2012, merilis pernyataan pada 24 Januari 2023, bahwa mereka tidak menemukan peralatan militer di pembangkit-pembangkit listrik nuklir Ukraina.[26] Pada 21 Februari 2023, presiden Putin mengumumkan dalam Pidato Presiden Kepada Majelis Federal, bahwa Rusia akan menangguhkan keikutsertaannya dalam pakta nuklir New START antara Federasi Rusia dan Amerika Serikat. Putin menyatakan "[Rusia] tidak mundur dari perjanjian, tetapi menangguhkan keikutsertaannya".[27][28] Dalam sebuah wawancara pada 26 Februari 2023 di kanal televisi pemerintah Rusia Rossiya-1, Putin mengatakan bahwa Rusia tidak memiliki pilihan lain selain "mempertimbangkan" kemampuan nuklir NATO, juga pihak barat yang ingin "membubarkan" Rusia dengan memecah belah Rusia menjadi bagian-bagian yang terpisah. Sementara itu, presiden Joe Biden membantah pernyataan Putin dalam pidatonya di Warsawa, Polandia, bahwa "Amerika Serikat dan negara-negara Eropa tidak ingin mengendalikan atau menghancurkan Rusia dan tidak berencana untuk menyerang Rusia, sebagaimana yang Putin katakan hari ini. Jutaan rakyat Rusia hanya ingin hidup damai dengan negara tetangga mereka, bukan sebagai musuh".[29][30] Rusia mengatakan akan tetap memberitahu Amerika Serikat terhadap rencana peluncuran-peluncuran rudal balistik antarbenua maupun rudal balistik dari kapal selam, berdasarkan Perjanjian Pemberitahuan Peluncuran Peluru Kendali Balistik tahun 1988.[31] Pada 25 Maret 2023, Putin mengumumkan rencananya untuk menempatkan senjata nuklir taktis Rusia di Belarus.[32][33] Pada 29 Maret, Menteri Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa Rusia akan melakukan misi latihan nuklir yang meliputi pengujian terhadap peluru kendali berhulu ledak nuklir RS-24 Yars.[34] Reaksi internasionalPada 14 April, The New York Times memberitakan komentar yang disampaikan oleh direktur CIA William Burns, yang mengatakan bahwa, "keputusasaan potensial" dapat membuat Presiden Putin memerintahkan penggunaan senjata nuklir taktis.[35] Pada 4 Mei, Senat Amerika Serikat menyelenggarakan "Dengar Pendapat tentang Kesiapan Nuklir di Tengah Kancah Perang Rusia-Ukraina" ketika Laksamana Charles A. Richard menyatakan bahwa, kemampuan pertahanan triad nuklir[a] di Amerika saat ini, beroperasi pada tingkat kapasitas operasional minimal yang dapat diterima, dengan cadangan stok Rusia dan Tiongkok saat ini lebih besar daripada yang ada di Amerika Serikat.[38] Kemudian, pada 6 Mei, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexei Zaitsev menyatakan, Rusia tidak akan menggunakan senjata nuklir di Ukraina, menggambarkan penggunaannya seperti "tidak berlaku untuk 'operasi militer khusus' Rusia".[39] Pada 23 Mei, diplomat Rusia Boris Bondarev mengundurkan diri dari posisinya dan melayangkan kritik terhadap invasi tersebut, khususnya kedudukan Lavrov tentang potensi penggunaan senjata nuklir Rusia: "Dalam 18 tahun, dia (Lavrov) beralih dari seorang profesional dan intelektual terpelajar. ... kepada seseorang yang terus-menerus menyiarkan pernyataan yang bertentangan dan mengancam dunia dengan senjata nuklir!".[40] Pada 1 Juli, dalam lawatan Lavrov ke Belarusia, presiden Belarusia Alexander Lukashenko menunjukkan dukungannya bagi Moskow untuk menggunakan senjata nuklir melawan ancaman luas hegemoni Barat terhadap Rusia dan sekutunya, yang ditunjukkan selama terjadinya konflik di Ukraina.[41] Pada 13 Agustus, dalam sebuah wawancara dengan BBC, seorang mantan kepala Intelijen Militer Inggris, Jim Hockenhull, menyatakan bahwa ia beranggapan kemungkinan Rusia "tidak mungkin" akan menggunakan senjata nuklir dalam waktu dekat.[42] Dalam sebuah wawancara pada September 2022, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden merespons pertanyaan jurnalis mengenai konsekuensi Rusia jika menggunakan senjata nuklirnya dengan menjawab "Anda pikir saya akan memberi tahu Anda, jika saya tahu persis apa yang akan terjadi?, tentu saja, saya tidak akan memberi tahu Anda. Hal tersebut akan menjadi konsekuensi... Mereka akan menjadi lebih paria di dunia daripada sebelumnya. Dan tergantung dari cakupan apa yang akan mereka lakukan, akan menentukan respons yang akan terjadi."[43] Pada tanggal 26 September, Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, berbicara tentang "konsekuensi bencana" jika Rusia menggunakan senjata nuklir, menambahkan bahwa "di kanal privat, kami telah menjelaskan secara lebih rinci (ke Rusia) apa artinya hal tersebut". Menteri Luar Negeri Antony Blinken juga merujuk pada respons "bencana" Amerika Serikat.[44] Pada 21 September, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, menyatakan, NATO "tidak akan terlibat dalam retorika nuklir gegabah dan berbahaya yang sama seperti Presiden Putin".[45] Kemudian, pada 4 Oktober, Menteri Luar Negeri Inggris, James Cleverly menyatakan, setiap penggunaan senjata nuklir oleh Rusia akan menimbulkan konsekuensi.[46] Menteri Luar Negeri Polandia Zbigniew Rau telah menyatakan, tanggapan NATO seharusnya "sangat efektif", tapi non-nuklir. Dalam pernyataannya tanggal 5 Oktober, Rau juga menyatakan bahwa, ia telah meminta Amerika Serikat untuk menempatkan senjata-senjata nuklirnya di wilayah Polandia, hal ini sebagian dimungkinkan sebagai tanggapan atas ancaman nuklir Rusia baru-baru ini dan sebagian lagi sebagai tanggapan atas kemungkinan Rusia menempatkan senjata-senjata nuklirnya di Belarusia.[47] Pada 6 Oktober 2022, ketika berpidato dalam sebuah acara penggalangan dana privat di New York, Biden mengatakan, untuk "[pertama] kalinya sejak Krisis Rudal Kuba, kita memiliki ancaman langsung penggunaan senjata nuklir jika, pada kenyataannya, hal-hal berlanjut ke arah mana perginya... Coba pikirkan, Kita belum pernah menghadapi kemungkinan terjadinya Holokaus nuklir, sejak Kennedy dan Krisis Rudal Kuba. Kita punya seseorang yang saya kenal cukup baik, namanya Vladimir Putin. Saya menghabiskan cukup banyak waktu bersamanya. Ia tidak bercanda ketika berbicara tentang potensi penggunaan senjata taktis dan nuklir, atau senjata biologis atau kimia, karena dapat dikatakan militernya berkinerja buruk... Saya kira tidak ada hal seperti kemampuan untuk dengan mudahnya, [menggunakan] senjata nuklir taktis dan tidak berakhir dengan kiamat." [48][49][50] Menurut Associated Press, Biden terkadang tidak menjaga pembicaraan, dari hanya catatan kasar, dalam acara penggalangan dana privat semacam itu.[51] Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre kemudian mengatakan, komentar Biden tidak didasarkan pada intelijen atau informasi baru.[52] Dalam sebuah wawancara dengan seorang jurnalis CNN Jake Tapper yang ditayangkan pada 11 Oktober 2022, Biden mengatakan, ia tidak percaya Putin pada akhirnya akan menggunakan senjata nuklir di Ukraina, tetapi mengkritik pernyataan Putin tentang topik tersebut sebagai hal yang "tidak bertanggung jawab".[53] Dalam wawancara dengan BBC pada 11 Oktober 2022, Direktur GCHQ Jeremy Fleming mengatakan, agensi tersebut tidak melihat adanya indikasi bahwa Rusia sedang mempersiapkan penggunaan senjata nuklir taktis.[54] Belakangan, dalam pernyataan yang dirilis pada 18 Oktober, Kepala Direktorat Utama Intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina, Mayor Jenderal Kyrylo Budanov, mengatakan ia tidak yakin Rusia akan menggunakan senjata nuklirnya di Ukraina.[55] Pertemuan dan konferensiPerdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyatakan, Jepang akan mendukung diskusi internasional lebih lanjut tentang Rusia dan ancaman senjata nuklirnya selama invasi Ukraina, pada pertemuan non-proliferasi nuklir yang akan diselenggarakan pada bulan Agustus.[56][57] Pada tanggal 20 Juni, "Konferensi tentang Dampak Kemanusiaan dari Senjata Nuklir" dibuka di Wina untuk membahas potensi dampak bencana senjata nuklir, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kemungkinan penggunaan senjata nuklir Rusia selama terjadinya peristiwa invasi Ukraina tahun 2022.[58] AnalisisPada 22 Juni 2022, Eric Schlosser, menulis untuk majalah The Atlantic menyatakan, perang senjata nuklir oleh Rusia selama invasi sepertinya memberi kesan target serangan nuklir yang paling memungkinkan adalah: (1) Detonasi nuklir di atas Laut Hitam yang tidak mengakibatkan adanya korban, tetapi menunjukkan ketetapan, telah melewati batas nuklir dan menandakan bahwa hal yang lebih buruk akan terjadi. (2) Serangan untuk memenggal kepemimpinan Ukraina, berupaya untuk membunuh Presiden Volodymyr Zelenskyy dan para penasihatnya di dalam bunkernya. (3) Serangan nuklir terhadap target militer Ukraina, mungkin Pangkalan Udara atau depot perbekalan yang tidak dimaksudkan untuk merugikan warga sipil dan (4) Penghancuran kota Ukraina, mengakibatkan jatuhnya korban sipil secara massal dan menciptakan teror untuk mempercepat penyerahan diri, hal ini merupakan tujuan yang sama dengan motivasi terjadinya Serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki."[59] Pakar militer CSIS Mark Cancian menyarankan kemungkinan untuk meledakkan nuklir pada ketinggian atmosfer untuk menghasilkan getaran elektromagnetik (electromagnetic pulse) dan melumpuhkan perangkat elektronik.[60] Pada tanggal 7 September, The Washington Post melaporkan bahwa komando tinggi militer Rusia telah menerbitkan sebuah analisis yang mengatakan, senjata nuklir taktis tetap menjadi pilihan yang paling mungkin, untuk digunakan melawan Ukraina, sebagaimana yang disampaikan oleh Panglima Tertinggi Ukraina Valeriy Zaluzhnyi, yang menyatakan "Ada ancaman langsung dari penggunaan senjata nuklir taktis oleh Angkatan Bersenjata Rusia dalam keadaan tertentu... Juga tidak mungkin untuk sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan keterlibatan langsung negara-negara terkemuka dunia dalam konflik nuklir "terbatas", ketika kemungkinan Perang Dunia III sudah terlihat di depan mata." [61] Direktur Proyek Informasi Nuklir di Federasi Ilmuwan Amerika Hans M. Kristensen mengatakan, "jika Anda memulai detonasi senjata nuklir di wilayah tersebut, Anda berpotensi mendapatkan luruhan radioaktif yang tidak dapat Anda kendalikan. Hal tersebut juga dapat menghujani pasukan Anda sendiri, sehingga melakukan hal tersebut di lapangan, bukan merupakan suatu keuntungan." Ia juga mengatakan bahwa masalah utamanya, kedua belah pihak berada dalam sistem Rusia, tetapi juga di masyarakat pada umumnya, ketika mereka membayangkan tentang senjata nuklir taktis sebagai sesuatu yang kecil, sederhana atau sesuatu yang hampir biasa saja." [62] Pada 1 Oktober 2022, Institute for the Study of War berpendapat bahwa tentara Rusia "hampir dipastikan tidak akan mampu beroperasi di medan tempur nuklir", karena disorganisasi mereka dan ketidakmampuan ini untuk maju ke lingkungan nuklir, mengurangi kemungkinan penggunaan senjata nuklir taktis Rusia di awal.[63][64] Pada 2 Oktober 2022, The Jerusalem Post menyatakan "Sebagian besar ahli tidak berpikir, Presiden Rusia Vladimir Putin akan benar-benar menggunakan senjata nuklir di Ukraina pada akhirnya, tetapi jumlah orang yang berpikir ia akan atau mungkin (menggunakan) akan bertambah." Para analis lain menghipotesiskan awal tanggapan Barat yang berbeda, sebagian bergantung pada sifat serangan nuklir awal Rusia di Ukraina. Tanggapan awal hipotetis termasuk: peningkatan sanksi-sanksi, serangan konvensional atau serangan nuklir terhadap pasukan Rusia di Ukraina atau serangan nuklir di Belarus. Para analis menambahkan, bahkan jika Rusia menggunakan senjata nuklir, "masih ada kemungkinan tidak" bahwa itu akan mengarah pada perang nuklir penuh.[65] Mark Cancian telah menyarankan peningkatan pengiriman senjata, termasuk senjata yang sebelumnya dibatasi, seperti pesawat NATO, baterai anti-rudal canggih dan rudal jarak jauh ATACMS.[60] Krisis pembangkit nuklir ZaporizhiaPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhia telah menjadi pusat krisis keselamatan nuklir yang tengah berlangsung, selama terjadinya peristiwa invasi Rusia ke Ukraina yang digambarkan oleh Ukraina sebagai tindakan terorisme nuklir oleh Rusia.[66] Dari pembangkit listrik nuklir yang sejenis, PLTN Zaporizhia merupakan pembangkit listrik terbesar di Eropa, dalam kondisi infrastruktur yang telah hancur dan kerusakan pada saluran transmisi listriknya akibat penembakan. Situasi ini disebut sebagai kejadian sejenis yang terbesar dalam sejarah. Potensi bencana nuklirnya dapat melebihi skala bencana nuklir sebelumnya.[67][68] Menurut sebuah laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), "Situasi di Ukraina belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya konflik militer terjadi di tengah fasilitas program "tenaga nuklir besar".[69] Pakar keamanan nuklir Attila Aszódi sambil menyerukan langkah-langkah mendesak untuk memastikan keamanan pabrik, ia mengatakan, peristiwa serupa dalam jenis dan skala bencana Chernobyl secara teknis dan fisik tidak mungkin terjadi di pembangkit Zaporizhia.[70] Pada tanggal 11 September, reaktor terakhir yang beroperasi di pembangkit tersebut dalam kondisi cold shutdown, yaitu suatu kondisi ketika reaktor membutuhkan lebih sedikit energi untuk pendinginan, mengurangi dampak bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan sambungan pembangkit tersebut, ke jaringan energi yang lebih luas. Namun, bahan bakar bekas di lokasi pembangkit, masih dapat berpotensi menimbulkan risiko yang signifikan jika penyimpanan atau sistem pendinginnya rusak akibat pertempuran.[71] CatatanReferensi
|