Share to:

 

Ancol, Pademangan, Jakarta Utara

Ancol
Negara Indonesia
ProvinsiDaerah Khusus Ibukota Jakarta
Kota AdministrasiJakarta Utara
KecamatanPademangan
Kodepos
14430
Kode Kemendagri31.72.05.1003 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS3175020003 Edit nilai pada Wikidata
Luas377 km2
Jumlah penduduk29.978 (2020)
Kepadatan7.952 km2
Peta
PetaKoordinat: 6°7′44.84″S 106°50′0.06″E / 6.1291222°S 106.8333500°E / -6.1291222; 106.8333500

Ancol adalah salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Pademangan, kota Jakarta Utara, provinsi DKI Jakarta, Indonesia, dengan luas wilayah 377 km2. Kelurahan ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, pantai Laut Jawa di sebelah timur, Pelabuhan Sunda Kelapa di sebelah barat, dan Sungai Tiram di sebelah selatan.

Sejarah

Zaman prakolonial

Nama Ancol merujuk pada sebuah kali yang terletak sekitar 3 km di timur Pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah yang mengelilinginya. Mulut Kali Ancol terletak pada daerah yang kini menjadi Putri Duyung Cottage. Daerah yang mengelilingi kali Ancol dulunya adalah dataran rendah pantai yang berisi air payau, hutan mangrove dan rawa-rawa.

Ada juga yang menyebutkan bahwasanya nama Ancol merupakan bunyi dari suatu benda kecil jatuh ke air yang menimbulkan suara dan gemercik kecil bersuara Anclom dan lambat laun menjadi Ancol.

Sebutan Ancol pertama kali muncul dalam naskah Carita Parahyangan (Koropak 406), sebuah lembaran lontar berbahasa Sunda Kuno yang ditulis pada abad ke-16. Lembaran ini bercerita tentang upaya Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa. Daerah Ancol disebut sebagai salah satu daerah strategis untuk menyerang Sunda Kelapa:[1]

…Disilihan inya ku prebu Surawisésa, inya nu surup ka padarén, kasuran, kadiran, kuwanén. Prangrang lima welas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi….

Kedatangan orang Eropa

Daerah pantai Batavia, terlihat Kali Ancol di timur (bagian kiri gambar ini). Beberapa vila ditemukan di Kanal Ancol, yang dibangun untuk menghubungkan kanal Batavia dengan Kali Ancol.

Ketika Imperium Portugis tiba pada akhir abad ke-16, Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran yang beragama Hindu menerima kedatangan mereka dan berharap bahwa orang Portugis akan melindungi mereka dari serangan Kesultanan Banten, Demak, dan Cirebon, yang beragama Islam. Persekutuan dengan orang Portugis tersebut terjadi, tetapi ketiga kesultanan tersebut yang berada di bawah kepemimpinan Fatahillah berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan Pajajaran dan Imperium Portugis dengan cara menyerang pelabuhan ini dari daerah timur pantai Ancol. Sunda Kalapa kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta.

Slingerland, di pesisir timur Kali Ancol, merupakan resor pantai yang populer di abad ke-18.

Kemudian di akhir abad ke-17, pemimpin Jayakarta dikalahkan oleh Belanda. Kota ini kemudian sama sekali dihilangkan dan sebuah kota berbenteng baru, Batavia, didirikan di pesisir timur Kali Ciliwung. Untuk mengendalikan perairan Batavia, sejumlah kanal didirikan yang menghubungkan kanal Batavia dengan kali-kali di dekatnya, yaitu Muara Angke dan Kali Ancol. Kanal yang menghubungkan Batavia dengan Ancol dinamakan Antjolschevaart (bahasa Indonesia: Kanal Ancol) dan sudah ada pada tahun 1650.[2] Beberapa benteng dan pertahanan lainnya kemudian didirikan untuk melindungi kanal-kanal tersebut, misalnya sconce (semacam tanggul tinggi) yang disebut Zouteland (bahasa Indonesia: "air payau") oleh orang Belanda. Sconce ini melindungi titik pertemuan Kanal Ancol dengan Kali Ancol.[3] Pada abad ke-18, sconce ini dikembangkan menjadi sebuah benteng yang dinamai Fort Ancol. Pada akhir abad ke-18, terdapat dua benteng yang melindungi muara Kali Ancol: Slingerland di bagian timur dan Zeelucht di bagian barat.[4]

Pada abad yang sama, di daerah ini pula, Gubernur-Jendral Jeremias van Riemsdijk (menjabat 1775) sempat membangun resor pantai liburan berbentuk vila pantai. Ia juga mereklamasi daerah sekitar vila pantainya dari rawa-rawa menjadi tanah produktif dan membangun areal pertanian. Gubernur-Jendral Adriaan Valckenier kemudian mengikuti juga membangun resor di sini.[5] Resor-resor tersebut, yang terletak di pinggir timur Kali Ancol, dinamakan Slingerland atau Sanggerlang (kini menjadi daerah pemukiman di Ancol). Slingerland pernah menjadi daerah yang populer untuk liburan kaum elit Belanda. Sebuah kuil Tionghoa, Vihara Bahtera Bakti, yang dibangun pada tahun 1650, adalah salah satu bangunan yang pertama kali dibangun di Ancol.

Pada masa pemerintahan Gubernur-Jendral Herman Willem Daendels (1808–1811), daerah Batavia Lama (bahasa Belanda: Oud Batavia) kemudian ditinggalkan secara bertahap dan dipindahkan ke Weltevreden (kini Lapangan Banteng). Semua bangunan di Batavia Lama, termasuk Kastel Batavia dan resor-resor Gubernur-Jendral sebelumnya, dihancurkan dan ditinggalkan. Setelah itu, daerah Ancol menjadi terpuruk dan ditinggalkan.[6]

Pembangunan pelabuhan baru di Tanjung Priok pada akhir abad ke-19 menyebabkan Kanal Ancol yang pada waktu itu berumur 200 tahun diperpanjang hingga menjangkau Tanjung Priok. Jalur kereta api juga didirikan sepanjang Kanal Ancol yang menghubungkan Stasiun N.I.S Batavia dengan Stasiun Tanjung Priok.[7] Meskipun ada infrastruktur baru seperti itu, daerah Ancol tetap kosong dan tidak dihuni.

Periode modern

Perang Dunia II

Kuburan Ancol didirikan untuk mengubur orang-orang yang dieksekusi pada masa penjajahan Jepang.

Pada masa penjajahan Jepang, daerah rawa Ancol digunakan sebagai tempat eksekusi dan pekuburan orang-orang yang menolak tentara Jepang, terutama orang Belanda. Korban-korban ini kemudian dikubur ulang di pekuburan baru di pantai Ancol, Kuburan Ancol (Ereveld Ancol), yang dibuka pada 14 September, 1946. Kuburan tersebut mengandung lebih dari 2.000 korban eksekusi pada masa pendudukan Jepang. Banyak dari mereka yang tidak diketahui identitasnya. Akibat dekat dengan pantai, kuburan ini terancam tenggelam.[8]

Interim

Selain pekuburan, daerah Ancol tetap tidak dihuni selama pascaperang hingga tahun 1960an. Daerah ini sempat menjadi hutan monyet dengan genus Macacus. Orang-orang menyebutnya "monyet Ancol" dan mereka menghuni daerah yang kini berada di rel kereta ujung Jalan Gunung Sahari, seberang gerbang Taman Impian Jaya Ancol. Monyet Ancol ini menjadi awal mula celaan orang Jakarta kepada orang-orang yang tidak mereka sukai atau berperilaku aneh: "Dasar lu monyet Ancol!"

Selain monyet, fauna yang bisa ditemukan di daerah ini adalah buaya. Daerah Ancol, ketika tidak berpenghuni, juga penuh dengan pohon palem, mangrove, dan kelapa, dan merupakan tempat memancing yang lumayan populer.[9]

Orde Baru

Pada tahun 1960, Ancol masih tidak berkembang, masih berbentuk rawa dan empang yang penuh dengan nyamuk. Presiden Sukarno, yang terkenal banyak melakukan proyek mercusuar di seluruh Jakarta, mencetuskan ide mereklamasi rawa Ancol dan menjadikannya pusat rekreasi dan hiburan terbesar Jakarta. Ide ini kemudian dimulai pada 1965 melawan konsep lain yang mengembangkan Ancol menjadi daerah industri.[10]

Perkembangan tersebut dimulai pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966). Kompleks ini kemudian disebut Taman Impian Jaya Ancol. Fasilitas pertamanya adalah pantai Ancol Bina Ria, yang pada tahun 1970an terkenal memiliki bioskop mobil. Dunia Fantasi dibangun pada tahun 1984. Kini, area rekreasi 554 hektar itu dikenal sebagai Ancol Jakarta Bay City, berisi hotel, bungalow, pantai, taman rekreasi, pasar tradisional, akuarium samudra, lapangan golf dan sebuah marina.

Demografi

Pada tahun 2020, penduduk kelurahan ini berjumlah 29.978 jiwa; terpecah menjadi laki-laki sebanyak 15.517 jiwa dan perempuan sebanyak 14.461 jiwa, dengan kepadatan penduduk 7.952 jiwa/km2.[11]

Berdasarkan data Sensus penduduk 2010, warga Jakarta Utara didominasi oleh warga dari suku Jawa, Betawi, Batak, Tionghoa dan Sunda, serta sebagian merupakan suku Minangkabau, Melayu, Bugis, dan suku lainnya.[12] Dalam hal agama masyarakat tersebut, Islam sebanyak 81,24%, kemudian Kristen 11,90% (Protestan 7,55% dan Katolik 4,35%), Buddha 6,68% dan Hindu 0,18%.[11]

Transportasi umum

Referensi

  1. ^ Aca 1968.
  2. ^ Aa, A. J. Vander (1849). Nederlands Oost-Indie, of beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indie : voorafgegaan van een beknopt overzigt van de vestiging en uitbreiding der magt van Nederland aldaar. Amsterdam [etc.]: Schliejer [etc.] 
  3. ^ Anonymous (1656). https://commons.wikimedia.org/wiki/File:AMH-4595-NA_Map_of_Batavia_and_environs.jpg |map-url= tidak memiliki judul (bantuan) (Peta). Plattegrond van Batavia en omstreken [Map of Batavia and environs]. 300 Rynlantsche Roeder (dalam bahasa Dutch). Diakses tanggal 12 October 2016. 
  4. ^ Heymerd van Breda (1788). Kaart van Batavia en omgeving [Map of Batavia and surrounding] (Peta) (dalam bahasa Dutch). 
  5. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-24. Diakses tanggal 2010-03-21. 
  6. ^ Adolf Heuken SJ (2007). Historical Sites of Jakarta. Cipta Loka Caraka Foundation, Jakarta. 
  7. ^ Kaart van Batavia en Omstreken [Map of Batavia and Surrounding] (Peta) (edisi ke-Batavia). 1:20000 (dalam bahasa Dutch). Kartografi oleh Topografische Bureau. 1897. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 18, 2016. Diakses tanggal February 14, 2016. 
  8. ^ "Ereveld Ancol". Oorlogsgravenstichting. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 19, 2003. Diakses tanggal March 21, 2010. 
  9. ^ Tifada, Detha Arya (2020-10-12). "Ancol History: A Dream Park That Was Abandoned To Become A Monkey's Nest". VOI - Waktunya Merevolusi Pemberitaan (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-11. Diakses tanggal 2022-02-11. 
  10. ^ Merrillees 2015, hlm. 17.
  11. ^ a b "Kota Jakarta Utara Dalam Angka 2020" (pdf). Badan Pusat Statistik Indonesia. 2020. Diakses tanggal 5 Oktober 2020. 
  12. ^ "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia" (pdf). www.bps.go.id. Diakses tanggal 5 Oktober 2020. 

6°7′44.84″S 106°50′0.06″E / 6.1291222°S 106.8333500°E / -6.1291222; 106.8333500

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya