Antinatalisme
Antinatalisme atau biasa pula dieja anti-natalisme adalah pandangan etis yang menilai negatif reproduksi. Kaum antinatalis berargumen bahwa manusia harus menghentikan reproduksi karena sifatnya salah secara moral (ada pula yang berpendapat bahwa reproduksi yang dilakukan makhluk berkesadaran lainnya pun salah). Secara akademis, ada banyak dasar etis yang dikedepankan untuk mendukung antinatalisme.[1][2][3][4] Pendapat yang menyatakan bahwa "lebih baik tidak usah lahir sama sekali" dalam berbagai rumusan sudah ada jejaknya sejak zaman Yunani Kuno.[5] Istilah antinatalisme beroposisi langsung dengan istilah natalisme atau pro-natalisme. Istilah ini kemungkinan pertama kali digunakan sebagai nama posisi etis ini oleh Théophile de Giraud dalam bukunya L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste.[6] ArgumenAgamaKaum Marsionis percaya bahwa dunia tampak adalah ciptaan jahat dari demiurge yang jahat, keji, penuh iri dengki dan kemarahan, bernama Yahweh. Menurut ajaran ini, manusia harusnya bangkit melawan demiurge itu, meninggalkan dunia buatannya, berhenti membuat manusia baru, dan menyembah Tuhan penuh kasih sayang yang baik dan jauh.[7][8][9] Kaum Encratit melihat bahwa kelahiran berujung pada kematian. Agar dapat menguasai kematian, manusia harus berhenti melakukan reproduksi. Pendapat ini dijelaskan dalam kalimat yang apik: "berhenti menciptakan makanan baru bagi kematian".[10][11][12] Kaum Manichaean,[13][14][15] Bogomil,[16][17][18] dan Katar[19][20][21] berpendapat bahwa reproduksi memenjarakan jiwa di dalam sebuah materi yang jahat. Mereka memandang reproduksi sebagai instrumen dewa jahat, demiurge, atau Setan yang mencoba memenjarakan elemen suci di dalam materi tersebut dan dengan demikian menyebabkan elemen suci menjadi menderita. Kaum Shaker percaya bahwa seks adalah akar dari segala dosa dan reproduksi adalah tanda kejatuhan manusia.[22][23][24] Augustinus dari Hippo menulis:
Gregorius dari Nyssa mengatakan bahwa manusia perlu berhati-hati agar tidak terjebak argumen yang mengatakan bahwa reproduksi adalah mekanisme penciptaan anak. Ia juga menyatakan bahwa orang-orang yang menahan diri dari reproduksi dengan cara tetap mempertahankan keperjakaan atau keperawanannya, akan "membatalkan kematian karena mereka menghalangi jalannya; sebagai semacam batu pembatas antara hidup dan mati, orang-orang tersebut menahan kematian agar tidak maju lagi."[26] Søren Kierkegaard percaya bahwa manusia masuk ke dunia ini melalui suatu kejahatan, eksistensi mereka juga merupakan suatu kejahatan; dan reproduksi manusia adalah kejatuhan manusia[27] yang merupakan titik akhir egoisme manusia.[28] Menurutnya, Kekristenan hadir untuk memblokir laju reproduksi.[29] Isu antinatalisme dalam Kekristenan awal pernah dibahas oleh Théophile de Giraud.[30][31] Teodisi dan AntropodisiJulio Cabrera merenungkan mengenai pencipta dan hubungan pencipta dengan teodisi. Ia kemudian berpendapat: sebagaimana kita tidak mungkin mempertahankan argumen bahwa Tuhan yang baik juga merupakan Pencipta, kita tidak mungkin mempertahankan argumen bahwa manusia yang baik dapat menjadi pencipta. Misalnya, ketika menjadi orang tua, orang tua manusia akan mengimitasikan orang tua yang suci. Dalam imitasi itu, pendidikan kemudian dianggap sebagai suatu bentuk "penyelamatan", menggiring seorang anak ke "jalur yang benar". Namun, seorang anak manusia mampu memutuskan bahwa lebih baik tidak menderita sama sekali daripada harus menderita dahulu, baru kemudian diberikan penyelamatannya. Menurut pendapat Cabrera, kejahatan tidak berhubungan dengan ketiadaan being (keberadaan), namun dengan penderitaan dan kematian orang hidup. Jadi, di sisi lain, hanya kejahatan yang jelas-jelas berhubungan dengan keberadaan.[32] Akibat masalah moral manusia sebagai pencipta, Karim Akerma kemudian memperkenalkan antropodisi, konsep kembaran teodisi. Ia berpendapat bahwa semakin sedikit iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa, semakin penting pula pertanyaan mengenai antropodisi ini. Akerma berpikir bahwa apabila seorang manusia ingin hidup secara etis, maka ia harus mampu menjustifikasi penciptaan penderitaan. Manusia tidak bisa lagi meninggalkan tanggung jawab atas penderitaan yang muncul dengan cara menyalahkan entitas imajiner yang membuat prinsip-prinsip moral. Bagi Akerma, antinatalisme adalah konsekuensi keruntuhan percobaan teodisi dan berbagai percobaan pendirian antropodisi. Menurutnya, tidak ada teori metafisika maupun moral yang mampu menjustifikasi penciptaan manusia baru; dengan demikian, antropodisi sama-sama tidak dapat dipertahankan, persis seperti teodisi.[33] Peter Wessel ZapffePeter Wessel Zapffe memandang manusia sebagai sebuah paradoks biologis. Baginya, kesadaran terlalu terevolusi di manusia. Manusia kemudian tak mampu lagi berfungsi normal sebagaimana binatang lainnya. Kepintaran memberikan manusia beban yang terlalu berat. Manusia dapat melihat dengan jelas kerapuhannya dan ketidakpentingannya di muka kosmos. Manusia ingin hidup, namun sebagai akibat dari rute evolusinya, manusia menjadi satu-satunya mahkluk hidup yang anggotanya sadar bahwa masing-masing dari mereka akan mati. Manusia mampu menganalisis masa lalu dan masa depan, baik situasinya sendiri maupun situasi orang lain, serta mampu pula membayangkan penderitaan milyaran orang (dan makhluk hidup lainnya) dan merasakan belas kasihan bagi penderitaan mereka. Manusia menginginkan keadilan dan makna dalam sebuah dunia yang tidak memberikan keduanya. Seluruh faktor ini memastikan bahwa hidup makhluk yang berkesadaran pasti akan tragis. Manusia punya keinginan: kebutuhan spiritual yang tidak mampu dipuaskan oleh realitas. Spesies manusia masih hadir di muka Bumi hanya karena mereka sengaja menafikan kesadaran tentang konsekuensi sesungguhnya dari realitas. Eksistensi manusia secara garis besar hanya berisi jaringan mekanisme pertahanan yang ruwet, yang dapat disaksikan secara individu maupun sosial, di dalam perilaku sehari-harinya. Menurut Zapffe, spesies manusia harus berhenti membohongi dirinya sendiri seperti ini; konsekuensi alamiah dari pandangan ini adalah kepunahan manusia sebagai akibat dari penghentian reproduksi.[34][35][36] Etika negatifJulio Cabrera menyuguhkan konsep "etika negatif" yang beroposisi dengan etika "afirmatif", yakni etika yang mengafirmasi ke-Ada-an. Ia menggambarkan reproduksi sebagai sesuatu yang manipulatif dan penuh dampak buruk; suatu penculikan manusia, secara unilateral dan tanpa izin, ke dalam sebuah situasi yang menyakitkan, berbahaya dan mengganggu moral. Cabrera menganggap reproduksi adalah masalah ontologis dalam bentuk manipulasi total, yakni penciptaan dan penggunaan ke-Ada-an seseorang. Ini dianggap berbeda dari meletakkan seseorang yang sudah ada ke dalam situasi yang berbahaya. Dalam situasi reproduksi, seseorang yang belum lahir bahkan tidak mampu melawan tindakan reproduksi tersebut dengan cara apa pun. Menurut Cabrera, manipulasi dalam reproduksi dapat terlihat dengan jelas terutama pada sifatnya yang unilateral dan tanpa izin. Reproduksi per se pasti akan bersifat asimetris, baik bila aksi tersebut sudah dipikirkan matang-matang maupun belum. Tindakan itu pasti akan terkait langsung dengan keinginan (atau ketidakinginan) manusia lain, tetapi tidak pernah mempertimbangkan manusia yang diciptakan. Lebih lanjut, Julio menunjukkan bahwa dalam pandangannya, manipulasi yang terdapat dalam reproduksi ini tidak hanya terbatas pada aksi penciptaan itu sendiri, tetapi berlanjut ke dalam proses mengasuh anak. Dalam proses itu, orang tua mendapatkan kekuatan yang besar atas kehidupan anaknya, suatu kehidupan yang kemudian dibentuk seiring dengan kesukaan serta kepuasan sang orang tua. Ia menekankan bahwa walaupun manusia tidak mungkin menghindari manipulasi yang ada dalam reproduksi, reproduksi itu sendiri bisa dihindari, dan dengan begitu tidak ada aturan moral yang dilanggar. Cabrera percaya bahwa situasi yang dihasilkan reproduksi, yaitu kehidupan manusia, bersifat negatif secara struktural karena faktor-faktor pembangunnya bersifat merugikan secara inheren. Julio menganggap yang paling jelas di antara faktor-faktor pembangun merugikan tersebut, antara lain:
Cabrera menyebut ketiga karakteristik A hingga C ini dengan istilah "terminalitas ke-Ada-an" (terminality of being). Ia berpendapat bahwa sejumlah besar manusia di dunia ini tidak kuat memperjuangkan perlawanan terhadap struktur terminal keberadaan mereka. Kelemahan ini kemudian berujung pada konsekuensi yang desktruktif bagi diri sendiri maupun orang lain, seperti bunuh diri, penyakit jiwa besar atau kecil, serta perilaku agresif. Ia menerima bahwa kehidupan bisa menjadi dapat diterima atau bahkan menyenangkan sebagai hasil dari tindakan dan usaha manusia (meskipun aspek positif ini tidak bisa diberikan kepada semua orang, melalui fenomena impedimen moral), akan tetapi ia juga menemukan masalah dalam konsep reproduksi, yaitu ketika manusia menciptakan manusia baru dan manusia baru tersebut kemudian perlu melawan situasi sulit dan opresif yang dihadapi semua manusia, hanya agar dapat hidup lebih nyaman. Cabrera berpendapat, lebih masuk akal bahwa manusia tidak menempatkan manusia lain di dalam situasi seperti itu karena hasil dari perjuangan manusia selalu tidak pasti. Cabrera percaya bahwa dalam etika, termasuk etika afirmatif, ada satu konsep besar yang menjadi payung. Ia menyebut konsep ini sebagai "Artikulasi Etis Minimal" (Minimal Ethical Articulation, "MEA"; sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi "Artikulasi Etis Fundamental", Fundamental Ethical Articulation, "FEA"). Artikulasi ini tidak lebih dan tidak kurang adalah pertimbangan seseorang terhadap kepentingan orang lain; perilaku tidak menyakiti dan tidak mempermainkan orang lain itu. Bagi Cabrera, reproduksi adalah pelanggaran MEA yang sangat jelas: seseorang dipermainkan dan ditempatkan ke dalam situasi penuh bahaya sebagai hasil dari aksi tersebut. Dalam pandangannya, nilai-nilai yang termasuk dalam MEA diterima secara luas oleh etika afirmatif; bahkan menjadi dasar dari etika afirmatif; dan apabila diikuti secara radikal (tanpa kemunafikan), nilai-nilai tersebut akan berujung pada perlawanan atas reproduksi. Bagi Cabrera, hal terburuk dalam kehidupan manusia (dan dengan demikian reproduksi) adalah yang ia sebut sebagai "impedimen moral". Impedimen moral adalah suatu bentuk kemustahilan struktural: seseorang tidak mungkin bertindak di dunia ini tanpa menyakiti atau mempermainkan orang lain. Impedimen ini hadir bukan sebagai akibat dari suatu "kejahatan" intrinsik yang ada dalam sifat manusia, tetapi lahir dari situasi struktural yang selalu mengelilingi umat manusia. Dalam situasi ini, manusia dipojokkan oleh berbagai jenis rasa sakit; ruang untuk bertindak pun terbatas; dan kepentingan-kepentingan yang berbeda sering kali berbenturan satu sama lain. Manusia tidak punya niatan jahat untuk memperlakukan orang lain dengan buruk, akan tetapi manusia harus bertindak seperti itu agar dapat bertahan, menyelesaikan berbagai pekerjaannya, serta lari dari penderitaan. Cabrera juga menekankan fakta bahwa kehidupan berkaitan erat dengan suatu risiko yang dihadapi secara konstan: risiko mengalami rasa sakit fisik yang kuat, misalnya sebagai hasil dari penyakit serius. Potensi untuk merasakan rasa sakit yang kuat sudah membuat manusia terganggu secara moral. Sebagai hasilnya pula, sewaktu-waktu manusia dapat kehilangan harga diri dan kemampuan moralnya, meskipun mungkin tidak banyak.[32][37][38][39] Imperatif KantianJulio Cabrera, David Benatar,[40] dan Karim Akerma[41] berpendapat bahwa reproduksi bersifat berlawanan dengan imperatif praktis Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia tidak boleh digunakan hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu, tetapi harus selalu diperlakukan sebagai sesuatu itu sendiri. Ketiga filsuf itu berargumen bahwa seseorang dapat diciptakan demi orang tua mereka atau demi orang lain, tetapi tidak mungkin menciptakan seseorang demi kebaikan orang itu sendiri. Dengan demikian, mengikuti rekomendasi Kant, manusia tidak seharusnya menciptakan manusia baru. Heiko Puls berargumen bahwa pertimbangan Kant mengenai tugas orang tua dan reproduksi manusia secara umum mengimplikasikan antinatalisme yang dapat dijustifikasi secara etis. Akan tetapi, Puls juga menilai bahwa Kant menolak posisi tersebut dalam teleologi-nya, untuk berbagai alasan meta-etis.[42] Kemustahilan memberikan izinSeana Shiffrin, Gerald Harrison, Julia Tanner dan Asheel Singh berargumen bahwa reproduksi bersifat salah secara moral karena kemustahilan menerima izin dari manusia yang akan dilahirkan. Shiffrin mendaftarkan empat faktor yang menurut pandangannya menjelaskan mengapa izin hipotetis ini penting:
Gerald Harrison dan Julia Tanner berargumen bahwa apabila seseorang ingin memengaruhi orang lain dengan suatu tindakan dan seseorang itu mustahil mendapatkan izin dari orang yang akan ia pengaruhi, yang seharusnya terjadi adalah seseorang itu tidak melakukan tindakan yang hendak ia lakukan. Pengecualian satu-satunya, menurut mereka, adalah tindakan yang dilakukan dengan niatan mengurangi penderitaan seseorang (misalnya mendorong seseorang yang akan tertimpa piano jatuh). Namun, menurut mereka, yang termasuk tindakan dalam hal ini tidak termasuk reproduksi; karena sebelum tindakan ini dilakukan, tidak ada orang yang dipengaruhi.[44][45][46][47] Asheel Singh menekankan bahwa agar dapat menerima antinatalisme, seseorang tidak harus selalu menganggap keberadaan sebagai sesuatu yang lebih buruk daripada baik. Dalam pandangannya, sudah cukup ketika seseorang berpikir bahwa mereka tidak punya hak moral untuk menjatuhkan penderitaan yang serius dan dapat dicegah kepada orang lain tanpa izin.[48] Chip Smith dan Max Freiheit berargumen bahwa reproduksi bersifat berlawanan terhadap prinsip non-agresi yang ada dalam libertarianisme sayap kanan. Prinsip ini menyebut bahwa aksi tanpa izin tidak boleh dilakukan kepada orang lain.[49][50] Kematian sebagai kerugianMarc Larock mengajukan pandangan yang ia sebut sebagai "deprivationalisme".[51] Menurut pandangan ini:
Larock berpendapat bahwa apabila seseorang tidak mendapatkan preferensi baru yang dipuaskan dalam jumlah infinit, orang tersebut menderita kerugian dalam jumlah yang infinit. Penderitaan ini adalah hasil dari kematian, yang merupakan hasil dari reproduksi.
Larock percaya bahwa pandangannya tidak dapat dinetralisir dengan mengatakan bahwa kematian juga merupakan suatu hal yang menguntungkan secara infinit karena melindungi dari preferensi baru yang tidak terpuaskan berjumlah infinit. Ia mengedepankan sebuah eksperimen pikiran yang berisi dua orang: Mary dan Tom. Orang pertama, Mary, meninggal pada usia empat puluh tahun sebagai hasil komplikasi dari penyakit degeneratif. Mary seharusnya bisa hidup beberapa waktu lagi apabila ia tidak mengalami komplikasi, tetapi ia hanya akan mengalami keburukan dalam hidupnya, tiada kebaikan. Orang kedua, Tom, meninggal di usia yang sama dengan penyakit yang sama; tetapi baginya, penyakit yang ia alami ada pada tahapan yang begitu serius hingga tubuhnya tidak lagi berfungsi dengan baik. Menurut Larock, ketika seseorang, seperti Tom, tidak mampu lagi menerima hal baik dari hidupnya, maka hidupnya dikatakan buruk. Hidup semua orang pada akhirnya akan berujung seperti itu dan intuisi kita tidak bisa menilai apakah hal ini baik atau bahkan netral. Dengan demikian, kita harus melawan pandangan bahwa kematian adalah suatu hal yang memberikan kebaikan yang infinit karena kita berpikir bahwa Tom dirundung kesialan. Untuk Mary, intuisi kita mengatakan bahwa kesialan yang menimpanya tidak seberat kesialan Tom. Kesialan Mary direduksi dengan fakta bahwa kematian menyelamatkannya dari kemungkinan menerima pengalaman-pengalaman buruk. Kita tidak punya intuisi yang sama untuk Tom. Tidak ada masa depan, baik maupun buruk, yang mungkin terjadi baginya, secara fisik. Larock berpikir bahwa meskipun kemustahilan mengalami hal-hal baik di masa depan tampak buruk bagi kita, tetap saja kemustahilan logis untuk merasakan hal buruk di masa depan tidak kemudian jadi tampak baik bagi kita. Kalau begitu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Tom tidak mengalami kesialan sama sekali; akan tetapi, ia adalah korban kesialan, sama seperti Mary. Namun, kesialan Mary tampak tidak besar karena kematiannya melindungi dari penderitaan besar. Larock berpendapat bahwa kebanyakan orang akan berpandangan seperti ini. Kesimpulan ini kemudian akan berujung pada fakta bahwa kita menyadari ada semacam asimetri antara kerugian dan keuntungan dari kematian. Larock menyimpulkan pandangannya sebagai berikut:
Utilitarianisme negatifUtilitarianisme negatif berargumen bahwa mengurangi penderitaan bersifat lebih penting secara moral daripada memaksimalkan kebahagiaan. Hermann Vetter setuju dengan asumsi yang diajukan Jan Narveson:[52]
Akan tetapi, ia tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Narveson:
Sebagai alternatif, ia memberikan matriks keputusan teoretis sebagai berikut:
Berdasarkan pada matriks ini, ia menyimpulkan bahwa kita tidak seharusnya menciptakan manusia:[53][54]
Karim Akerma berpendapat bahwa utilitarianisme membutuhkan asumsi metafisik yang paling sedikit dan dengan demikian merupakan teori etis yang paling dapat diterima. Ia percaya bahwa utilitarianisme negatif adalah yang teori etis yang paling tepat karena hal-hal baik dalam kehidupan tidak mengkompensasi hal-hal buruk. Paling pertama, manusia dapat melihat bahwa hal-hal yang terbaik dalam kehidupan tidak mengkompensasi hal-hal yang paling buruk, seperti contoh pengalaman rasa sakit yang hebat, atau penderitaan orang yang terluka, sakit, atau sekarat. Menurut pendapatnya, manusia jarang tahu apa yang membuat manusia lain senang, tetapi manusia tahu persis apa yang harus dilakukan agar manusia lain tidak menderita: sudah cukup bahwa manusia lain itu tidak dilahirkan. Dalam etika Akerma, yang penting adalah perjuangan untuk mencapai jumlah manusia menderita yang paling sedikit (dan pada akhirnya tidak ada), bukan berjuang untuk mencapai jumlah kebahagiaan terbanyak; menurutnya, perjuangan yang kedua ini justru harus menimpakan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya.[55][33] Miguel Steiner percaya bahwa antinatalisme dapat dijustifikasi dengan dua pandangan yang saling berkonvergensi:
Ia percaya bahwa konsep yang manusia miliki tentang kejahatan datang dari pengalamannya akan penderitaan, yakni tidak ada kejahatan tanpa kemungkinan merasakan penderitaan. Secara konsekuensi, lebih sedikit populasi manusia, maka lebih sedikit kejahatan yang terjadi di muka bumi. Menurut pandangannya, dari sudut pandang etis, inilah yang harus manusia perjuangkan: mempersempit ruang gerak kejahatan (dengan kata lain, penderitaan). Ruang gerak ini diperluas dengan reproduksi.[56][57][58] Bruno Contestabile dan Sam Woolfe mengutip cerita The Ones Who Walk Away from Omelas oleh Ursula K. Le Guin. Dalam cerita ini, eksistensi kota utopia Omelas dan keberuntungan yang diterima penghuninya bergantung pada penderitaan seorang anak yang disiksa dalam sebuah tempat yang terisolasi dan tidak dapat dibantu. Mayoritas penghuni Omelas mau menerima situasi ini dan tetap hidup di dalam kota, tetapi ada pula yang tidak setuju dan tidak ingin berpartisipasi; dengan demikian, mereka disebut sebagai yang melangkah pergi dari Omelas (the ones who walk away from Omelas). Contestabile dan Woolfe mengambil paralel di sini: agar Omelas tetap bisa ada, sang anak harus disiksa, dan dengan cara yang sama, keberadaan dunia kita berhubungan dengan fakta bahwa seseorang pasti sedang disakiti. Menurut Contestabile dan Woolfe, antinatalis dapat dipandang sebagai "orang-orang yang melangkah pergi dari Omelas", yang tidak menerima dunia semacam itu, dan tidak menerima kelanjutannya. Contestabile kemudian mengeluarkan pertanyaan: apakah seluruh kebahagiaan yang ada mampu mengkompensasi penderitaan ekstrem yang dijalani bahkan satu orang?[59][60] Argumen David BenatarAsimetri antara kerugian dan keuntunganDavid Benatar berargumen bahwa ada asimetri yang krusial antara hal-hal baik dan buruk, seperti misalnya rasa enak dan rasa sakit:
Mengenai reproduksi, Benatar kemudian melanjutkan argumennya dengan mengatakan bahwa kehadiran seseorang ke dalam eksistensi menciptakan pengalaman baik dan buruk, rasa sakit dan rasa enak; sementara itu, tidak hadir ke dalam eksistensi, tidak menyebabkan rasa sakit maupun rasa enak. Ketiadaan rasa sakit itu baik, ketiadaan rasa enak itu tidak buruk. Dengan demikian, pilihan etisnya menjadi sangat mendukung non-reproduksi. Benatar kemudian menjelaskan asimetri di atas menggunakan empat asimetri lain yang ia anggap cukup mungkin:
Penderitaan yang dialami oleh keturunanMenurut Benatar, dengan menciptakan seorang anak, kita tidak hanya bertanggung jawab atas penderitaan anak ini, tetapi kita mungkin juga turut bertanggung jawab bagi penderitaan keturunan dari anak ini.[63]
Konsekuensi reproduksiBenatar memberikan statistik yang menunjukkan hasil dari penciptaan keturunan. Diperkirakan bahwa:
Momen-momen rasa enak tidak mampu mengkompensasi betapa besarnya penderitaan-penderitaan ini dan dengan demikian, kehidupan rata-rata lebih bersifat tidak mengenakkan ketimbang mengenakkan. Dengan kata lain, kedua keadaan tersebut tidak dapat dianggap berbanding antara satu dengan yang lainnya. MisantropiaSelain argumen filantropis yang berdasar pada pertimbangan kepentingan orang-orang yang akan masuk ke dalam eksistensi, Benatar juga mengatakan bahwa cara lain menuju antinatalisme adalah argumen misantropia.[68][69] Argumen ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kerugian bagi binatangDavid Benatar,[71][72] Gunter Bleibohm,[73] Gerald Harrison, Julia Tanner,[74] dan Patricia MacCormack[75] sangat memerhatikan kerugian yang diciptakan manusia kepada makhluk lain. Mereka mengatakan bahwa milyaran binatang diperlakukan tidak baik dan dibunuh setiap tahunnya oleh manusia, demi produksi produk binatang, eksperimen dan hasil ekses eksperimen (ketika mereka tidak dibutuhkan lagi), sebagai akibat penghancuran habitat atau keruntuhan lingkungan lain, atau bahkan sekadar untuk main-main sadis. Mereka cenderung setuju dengan para pemikir hak asasi hewan bahwa kerugian yang kita bebankan pada binatang bersifat immoral. Mereka menganggap spesies manusia adalah spesies yang paling desktruktif di planet ini dan berargumen bahwa ketiadaan manusia baru akan berujung pada selesainya penderitaan makhluk berkesadaran lain selain manusia. Ada pula antinatalis yang vegetarian atau vegan untuk alasan moral. Mereka juga mempostulasikan bahwa antinatalisme dan vegetarian/veganisme memiliki asal yang sama, yaitu dari keinginan untuk tidak menyakiti makhluk lain.[76][77] Sikap ini sudah ada dalam Maniisme dan Katarisme.[78] Kaum Katar mengartikan perintah "dilarang membunuh" sebagai terkait dengan mamalia dan burung. Mereka juga umumnya tidak akan makan daging, susu, dan telur.[19] Dampak lingkunganRelawan dari Gerakan Kepunahan Manusia Secara Sukarela (Voluntary Human Extinction Movement atau VHEMT) berpendapat bahwa aktivitas manusia adalah penyebab utama degradasi lingkungan dan dengan demikian penghentian reproduksi adalah "alternatif manusiawi bagi bencana yang ditimbulkan manusia".[79][80][81][82] Apabila keruntuhan ekosistem bukan merupakan kesalahan moral intrinsik, maka kesalahan moral ini terjadi melalui rantai konsekuensi yang menyebabkan penderitaan bagi manusia dan binatang. AdopsiHerman Vetter,[53] Théophile de Giraud,[83] Travis N. Rieder,[84] Tina Rulli,[85] Karim Akerma,[86] dan Julio Cabrera[87] berargumen bahwa sekarang, daripada melakukan aksi reproduksi yang bersifat problematis secara moral, hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang adalah mengadopsi anak yang sudah ada. De Giraud kemudian menekankan bahwa di seluruh dunia ada jutaan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang. Penyelesaian kelaparanStuart Rachels[88] dan David Benatar[89] berargumen bahwa sekarang, dalam situasi jutaan manusia hidup dalam kemiskinan, manusia harus berhenti reproduksi dan menggunakan sumber daya yang tadinya akan digunakan untuk membesarkan anak kepada orang-orang yang membutuhkan. RealismeBeberapa antinatalis berpendapat bahwa kebanyakan orang tidak mampu mengevaluasi kenyataan secara akurat. Ketidakmampuan ini kemudian memengaruhi keinginan untuk memiliki anak. Peter Wessel Zapffe mengidentifikasi empat mekanisme represif yang kita punya, baik secara sadar maupun tidak sadar, untuk membatasi kesadaran kita terhadap kehidupan dan dunia:
Zapffe menilai bahwa penyakit depresif biasanya merupakan suatu "pesan yang muncul dari pengertian yang lebih mendalam dan lebih langsung mengenai kehidupan; buah pahit dari yang didapat dari spontanitas pikiran".[34] Ada beberapa penelitian yang mengonfirmasi hal ini; pendapat ini antara lain dapat ditilik melalui fenomena realisme depresif. Colin Feltham menulis bahwa antinatalisme adalah salah satu konsekuensi yang mungkin dari realisme depresif.[90][91] David Benatar mengutip banyak studi dan mendaftar tiga fenomena yang digambarkan oleh para psikolog. Ia berpendapat bahwa ketiga fenomena ini memiliki peranan dalam membuat pemahaman diri kita menjadi tidak dapat dipercaya:
Benatar menyimpulkan:
Thomas Ligotti menekankan kemiripan antara filsafat Zapffe dan teori manajemen teror. Teori manajemen teror berargumen bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif yang unik, lebih dari apa yang diperlukan untuk pertahanan diri, termasuk pemikiran simbolis, kesadaran diri yang ekstensif, dan persepsi diri sebagai makhluk temporal yang mengerti bahwa mereka suatu saat akan mati. Keinginan untuk hidup yang diiringi dengan kesadaran bahwa kematian adalah suatu hal yang pasti terjadi, dapat menimbulkan teror dalam diri kita. Salah satu motivasi utama kita adalah melawan ketakutan ini. Agar dapat lari dari ketakutan ini, kita membangun struktur-struktur defensif di sekeliling diri kita sendiri, sehingga hubungan kita dengan kekekalan hidup simbolis atau literal tetap terjaga. Kita juga kemudian akan merasa lebih seperti anggota yang punya harga diri di dalam alam semesta yang memiliki makna. Kegunaan ketiga struktur-struktur defensif ini adalah agar kita dapat fokus melindungi diri kita sendiri dari ancaman-ancaman eksternal yang lebih langsung.[94] AborsiAntinatalisme dapat mengarah pada posisi tertentu mengenai moralitas aborsi. Menurut David Benatar, seseorang hadir dalam kehidupan, dalam aspek yang berarti secara moral, ketika kesadaran orang itu lahir, ketika fetus menjadi memiliki kesadaran. Hingga titik itu, aborsi dianggap moral dan melanjutkan kehamilan dianggap imoral. Benatar mengutip berbagai studi otak yang dilakukan melalui EEG dan studi tentang kemungkinan fetus mengalami rasa sakit. Berbagai studi ini menyatakan bahwa kesadaran fetal hadir tidak kurang daripada antara waktu 28 dan 30 minggu kehamilan. Sebelum saat itu, fetus tidak mampu merasakan sakit.[95] Berlawanan dengan hal ini, sebuah laporan tahun 2010 yang dipublikasikan oleh Kolese Royal Obstetri dan Ginekologi menunjukkan bahwa fetus baru memiliki kesadaran tidak kurang dari minggu 24 kehamilan.[96] Beberapa asumsi yang terkandung dalam laporan ini, terkait dengan kesadaran fetus setelah trimester kedua, menjadi subyek berbagai kritik.[97] Karim Akerma juga berargumen dengan cara yang sama. Ia membedakan antara organisme yang tidak memiliki properti mental dan makhluk hidup yang memiliki properti mental. Menurut pandangannya, yang ia sebut sebagai pandangan mentalistis, makhluk hidup mulai ada ketika organisme (atau entitas lain) memproduksi bentuk kesadaran yang sederhana untuk pertama kalinya.[98][99] Julio Cabrera berpendapat bahwa problem moral aborsi sangat berbeda dengan problem penghentian reproduksi. Dalam hal aborsi, Cabrera menganggap bahwa sudah ada suatu makhluk - makhluk yang paling tidak mampu melawan di antara semua pihak yang terlibat. Makhluk ini suatu saat akan memiliki otonomi untuk membuat keputusan dan kita tidak bisa membuat keputusan untuk mereka. Dari sudut pandang etika negatif Cabrera, aborsi dianggap immoral dengan alasan yang sama reproduksi dianggap immoral. Bagi Cabrera, pengecualian bagi immoralitas aborsi hanya dapat diberikan dalam hal penyakit fetus yang tidak dapat diobati (atau "penyakit sosial" serius seperti kolonisasi Spanyol di Amerika atau Nazisme). Ia berpendapat bahwa dalam kasus-kasus seperti itu, kita jelas-jelas sedang berpikir mengenai pihak yang belum lahir dan tidak bertindak menurut keinginan kita sendiri. Lebih lanjut, Cabrera juga percaya bahwa dalam situasi tertentu, aksi-aksi tidak etis dapat dilakukan secara sah dan dapat dipahami; misalnya, aborsi menjadi sah dan dapat dipahami ketika nyawa ibu dipertaruhkan.[100] Reproduksi binatangBeberapa antinatalis menganggap bahwa reproduksi binatang juga merupakan suatu hal yang salah secara moral. Ada yang memandang bahwa sterilisasi binatang adalah hal yang baik secara moral. Karim Akerma mendefinisikan antinatalisme secara inklusif dengan binatang. Ia menyebut definisi ini sebagai antinatalisme universal.[101] Posisi ini adalah posisi yang ia ambil.
David Benatar menekankan bahwa asimetrinya berlaku pada seluruh makhluk berkesadaran. Ia juga mengatakan bahwa manusia memiliki peran dalam menentukan ada berapa banyak binatang di dunia ini. Manusia membiakkan spesies binatang lain dan mampu mensterilisasi spesies binatang.[104] Binatang adalah budak, hasil dari sisa kebutuhan evolusi, yaitu melakukan optimisasi terhadap reproduksi. Hanya binatang yang memahami prinsip ini, yaitu manusia, dapat lari dari status budak dan membantu melepaskan binatang lain dari status tersebut. Magnus Vinding berpendapat bahwa hidup binatang liar dalam lingkungan alami mereka secara umum sangat buruk. Ia menggambarkan fenomena seperti kematian sebelum umur dewasa, kelaparan, penyakit, parasitisme, pembunuhan bayi, predasi, dan dimakan hidup-hidup. Ia mengutip riset yang menunjukkan kehidupan binatang liar. Hanya satu dari delapan singa jantan liar yang akan bertahan hingga umur dewasa. Sisanya mati akibat kelaparan, penyakit, atau dimakan singa lain. Ikan lebih jarang lagi mencapai umur dewasa. Hanya satu dalam seratus salmon chinook jantan yang akan bertahan hingga umur dewasa. Vinding berpendapat bahwa apabila hidup manusia dan keberlangsungan hidup anak manusia memiliki statistik yang sama, maka nilai kemanusiaan tentunya akan melarang reproduksi. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin dilakukan binatang, yang hanya bertindak atas insting. Ia berpendapat bahwa pun jika seseorang tidak setuju bahwa reproduksi adalah hal yang buruk, orang itu seharusnya menyadari bahwa reproduksi binatang liar bersifat buruk secara moral dan merupakan sesuatu yang harusnya dibatasi (setidaknya dalam teori, belum tentu dalam praktik). Ia berargumen bahwa non-intervensi menjadi tidak dapat dipertahankan apabila kita menolak spesiesisme. Kita juga harus menolak dogma yang menyatakan bahwa hal yang terjadi di alam adalah hal yang harusnya terjadi di alam.
Lihat pulaCatatan kaki
Pranala luarWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Antinatalisme.
|