Arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta
Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di berbagai lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosial yang beragam. Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo. Perencanaan kraton ini mirip dengan konsep yang digunakan dalam pembangunan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Solo merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton yang dibangun berdekatan dengan Bengawan Solo selalu terancam banjir. Karena itu dibangunlah tanggul yang hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru. Boulevard yang memanjang lurus dari arah barat laut menuju ke depan alun-alun istana (sekarang Jalan Slamet Riyadi) dirancang untuk mengarahkan pandangan ke arah Gunung Merbabu. Terdapat pula pengelompokan pemukiman untuk warga pendatang. Kawasan Pasar Gede (Pasar Gedhe Hardjonagoro) dan Pasar Balong merupakan tempat perkampungan orang Tionghoa, sementara kawasan pemukiman orang Arab (kebanyakan dari Hadramaut) terletak di kawasan Pasar Kliwon. Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Di kawasan ini juga didirikan pertama kali organisasi bercorak Islam-nasional yang pertama di Indonesia oleh Haji Samanhudi, Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905.[1] Bekas kejayaan para pedagang batik pribumi tempo doeloe ini bisa dilihat dari sejumlah rumah mewah di Jalan Dr. Rajiman. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik namun terlindungi oleh pagar-pagar yang tinggi dengan gerbang ("regol") yang besar. Di dalam kompleks kraton terdapat perkampungan Kauman yang dulunya merupakan kompleks tempat tinggal para kaum ulama kerajaan dan kerabatnya. Kompleks ini terletak di belakang (barat) Masjid Agung keraton. Beberapa nama kampung di kawasan ini masih menunjukkan jejak tersebut, seperti Pengulon (dari kata "penghulu"), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, serta Gontoran. Perkampungan ini dipenuhi beragam arsitektur rumah gedung dengan ornamen hiasan dan model rumah gaya campuran Eropa-Jawa-Tiongkok. Awalnya, Kampung Kauman yang berada di sisi barat depan Keraton Kasunanan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal (kaum) ulama kerajaan dan kerabatnya. Kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak Mangkunagaran, juga memiliki jejak arsitektur yang banyak mendapat sentuhan Eropa. Bagian utara kota Solo dilewati oleh Kali Pepe, yang seperti Bengawan Solo juga berkali-kali menimbulkan bencana banjir. Pembangunan tanggul kali dan pintu air, saluran drainasi, MCK (mandi-cuci-kakus, yang pertama kali diterapkan), serta penempatan kantor kelurahan yang selalu berada pada perempatan jalan, merupakan beberapa jejak yang masih dapat dilihat sekarang, yang pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Mangkunagara IV.
PemerintahanMiliterBenteng VastenburgDi kota Surakarta terdapat pula bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu Benteng Vastenburg yang dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) Balaikota Surakarta. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya / Kostrad. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.[2] Gedung Brigade InfanteriGedung Brigade Infanteri merupakan bangunan yang dibangun untuk melengkapi kompleks benteng pertahanan Vastenburg. Kantor KodimDulunya terletak di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, bangunan ini berkaitan erat dengan Loji Gandrung sebagai rumah komandan pasukan Belanda dan Benteng Vastenburg sebagai pusat pertahanan tentara Belanda di wilayah Surakarta. Sejak beberapa tahun terakhir, kantor Kodim yang baru berada di Jalan Ahmad Yani, sementara kantor yang lama dikembalikan ke pemilik. Setiawan Jodi pernah memiliki kantor kodim ini. Sekitar tahun 2004, gedung ini diambil alih kepemilikannya oleh Bp. Nur Harjanto Doyoatmojo, dan direstorasi dikembalikan ke bentuk dan desain aslinya, dan saat ini menjadi kediaman pribadi diberi nama Ndalem Doyoatmojo Tempat UmumBalai Kota Surakarta
Pasar Gedhe HardjonagoroPada zaman kolonial Belanda, Pasar Gedhe merupakan sebuah pasar "kecil" yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan sebagai Balai Kota Surakarta. Bangunan ini di desain oleh arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten yang selesai pembangunannya pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Diberi nama Pasar Gedhe karena terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta. Awalnya pemungutan pajak (retribusi) dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon (topi tradisional). Pungutan pajak kemudian akan diberikan ke Keraton Kasunanan. Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan 'PASAR GEDHE. Arsitektur Pasar Gedhe merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional. Pada tahun 1947, Pasar Gedhe mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.[3] Pasar Klewer
Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia. Pasar ini terletak di dekat Keraton Kasunanan dan di seberang Masjid Agung Surakarta Rumah Sakit KadipoloRumah Sakit Kadipolo terletak di jalan Dr. Radjiman dengan luas lahan sekitar 2,5 Ha. Rumah sakit ini didirikan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X. Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus untuk poliklinik para abdi dalem kraton. Karena masalah biaya, pada tahun 1948 pengolahannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen dan Rumah Sakit Jebres. Namun dengan syarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Tahun 1960 pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta. Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres dan Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutedjo. Kemudian masing-masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS. Jebres untuk anak-anak, RS. Kadipolo untuk penyakit dalam dan kandungan serta RS. Mangkubumen untuk korban kecelakaan. 1 Agustus 1976 diadakan pemindahan pasien dari RS. Kadipolo ke RS. Mangkubumen sebagai persiapan berdirinya SPK (Sekolah Pendidikan Keperawatan). Pemindahan pasien selesai sampai awal April 1977. 24 April 1977 SPK resmi berdiri dengan menempati bangunan RS. Kadipolo. Kampus SPK hanya bertahan 5 tahun karena Februari 1982 Depkes Pusat memerintahkan untuk mengosongkan RS. Kadipolo untuk dipindah ke kawasan Mojosongo. Sejak tahun 1985 bangunan tersebut menjadi milik klub sepak bola Arseto sebagi tempat tingal dan mess bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tak terawat.[4] Gedung Pengadilan Tinggi AgamaBANGUNAN INI LEBIH TERKENAL DENGAN SEBUTAN BANGUNAN GEDUNG PENGADILAN TINGGI AGAMA. Merupakan bangunan peninggalan masa kolonial.[5] Gedung pengadilan tinggi agama merupakan salah satu bangunan bersejarah yang sering beralih fungsi. tahun pendirian GPTA ini belum diketahui secara pasti, hal ini dikarenakan hilangnya monumen pendirian bangunan. fungsi pertama kali digunakan sebagai rumah tinggal oleh NOGTJIK, seorang peranakan tionghoa. tujuan pendirian bangunan untuk memperoleh kesetaraan pengakuan. setelah itu bangunan dibeli oleh saudagar kalimantan selatan, seorang saudagar yang sukses dengan jual beli emas.
bangunan ini berubah fungsi lagi menjadi KANTOR 1. Mahkamah Islam Tinggi pada tahun 1970 dan 2. Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 1973 karena berpindahnya pusat pemerintahan yang berada di Jakarta, bangunan ini beralih fungsi kembali menjadi bangunan SEKOLAH dengan nama MAN 2 Surakarta tahun 1992 sampai sekarang. sampai saat ini, keberadaan bangunan baik dari arsitektur maupun interior masih dalam kondisi terawat dan dilindungi oleh dinas KEPURBAKALAN jawa tengah. Kantor PertaniBerdiri tahun 1908 sebagai bangunan rumah tinggal seorang bangsawan Tionghoa yang dekat dengan kerabat Keraton. Pernah digunakan sebagai tempat usaha batik oleh pedagang Lawiyan. Tahun 1978 dialihfungsikan sebagai kantor PT Pertani yang melayani bidang administrasi perkantoran. Mempunyai banyak kesamaan detail arsitektur dengan Gedung Veteran, Loji Gandrung dan Bekas Kantor DPU. Bank IndonesiaDulu bernama Javasche Bank. Merupakan kantor cabang karya arsitek Hulswit, Fermont dan Ed. Cuipers dengan standart gaya neoklasik. Sekelompok pemuda pernah menggunakan gedung ini untuk menculik PM Syahrir pada masa revolusi. Tempat IbadahMasjid Agung Kraton SurakartaMasjid Agung Kraton Surakarta (nama resmi bahasa Jawa: Kagungan nDalem Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat) pada masa prakemerdekaan merupakan Masjid Agung Kerajaan (Surakarta Hadiningrat). Semua pegawai masjid tersebut merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin. Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Menempati lahan seluas 19.180 meter persegi, kawasan masjid dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Di masjid inilah kegiatan festival tahunan Sekaten dipusatkan. Masjid MangkoenegaranPendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I di Kadipaten Mangkunagaran sebagai masjid Lambang Panotogomo. Sebelumnya terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran. Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunagaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran. Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII, pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini. Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung. Masjid Mangkunagaran terdiri dari:
Saat ini Masjid Mangkunagaran bernama Al-Wustho, diberi nama demikian pada tahun 1949 oleh Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Masjid Mangkunagaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Alquran di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin. Masjid LaweyanMasjid Laweyan dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun 1546. Merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang. Awalnya merupakan pura agama Hindu dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan diubah fungsinya menjadi Masjid. Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap). Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (kakek dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam. Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu dia wafat. Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya adalah:
Di makam ini terdapat tumbuhan langka Pohon Nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Betari Durga. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura. c-law-prasasti1.JPG Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu dia wafat. Geredja Katholik AntoniusGereja Katolik Santo Antonius Surakarta merupakan gereja tertua di Surakarta yang didirikan tahun 1905. Memiliki skala bangunan yang besar, bangunan ini belum pernah berubah bentuk dan fungsinya hingga hari ini. Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok SieKlenteng yang terletak di Jalan R.E Martadinata no.12 ini pada awalnya berada di Kartasura, sebelum kemudian Keraton Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada tahun 1745. Kelenteng ini kemudian juga pindah ke Solo dan didirikan bersamaan dengan pembangunan Kraton Surakarta. Walaupun merupakan tempat ibadah Tri Dharma, tapi sebutan kelenteng berubah menjadi "wihara" Avalokitheswara pada tahun 1965 sebagai imbas dari situasi politik pada saat itu. Kelenteng Tien Kok Sie menempati lahan seluas ±250m², dan terdiri dari ruang pelataran depan, Ruang Thia, Ruang Sien Bing, dan bangunan rumah tangga penjaga kelenteng. Ruang Thia dan Ruang Sien Bing merupakan ruang pemujaan yan gberisi beberapa altar dan meja untuk persembahan kepada para dewa. Kelenteng Tien Kok Sie pada awalnya dibangun untuk rumah ibadah golongan Tionghoa pribumi keluarga Keraton. Atas keputusan pemerintah kota Surakarta, kelenteng in imasuk ke dalam daftar Benda Cagar Budaya Surakarta[6] Vihara Am Po KianVihara Am Po Kian didirikan tanggal 24 Agustus 1875 dan mengalami perbaikan pada tanggal 14 Agustus 1944. Dulu merupakan bangunan kuil milik seorang biksu dengan adu ilmu akhirnya bangunan ini dapat dikuasai oleh Kyai Ageng Henis (Kakek dari Raja-raja Mataram) dan diubah fungsikan menjadi masjid. Di dalam kawasan ini pula Kyai Ageng Henis beserta keluarganya dimakamkan. Pada halaman tengah makam terdapat pendapa tempat menikahkan raja pada masa kerajaan Kartasura. Saat ini tempat tersebut digunakan sebagai tempat persiapan ziarah/istirahat. Peninggalan BersejarahDalem PoerwadiningratanDalem Purwodiningratan terletak di lingkungan dalam Keratonan, Baluwarti dan merupakan bangunan dalem yang terluas, terbesar dengan pagar tertinggi di lingkungan itu (90m x 100m atau sekitar 1 Ha). Bangunan ini dibuat oleh Sunan Paku Buwono IV bersamaan dengan dibangunnya Dalem Suryohamijayan dan Dalem Sasonomulyo. Ketika Dalem Poerwadiningratan selesai dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk mengadakan Lenggah Sinoko (sidang pemerintahan dihadapan para menteri) di bangunan tersebut. Dalem ini kemudian diserahkan kepada Kanjeng Ratu Pembayun yang dinikahi oleh KGPH Mangkubumi II, kemudian diwariskan kepada KPH Riyo Atmodjo. Putra dia yang mendapatkan hak waris atas dalem adalah Kanjeng Raden Mas Haryo Purwodiningrat Sepuh dan kemudian pada putranya lagi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Purwodiningrat. Demikian hingga kawasan ini bernama Poerwadiningratan. (Menurut aturan Jawa, Dalem diberi nama sesuai dengan pemilik terakhir bangunan). Sampai sekarang Dalem Poerwodiningratan dimiliki oleh segenap keluarga keturunan Poerwadiningrat. Rumah Jawa merupakan pencerminan diri pemilik-nya oleh karena itu sering kali pamor rumah Jawa akan berangsur-angsur turun atau hilang setelah pemiliknya meninggal dunia. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Poerwodiningrat adalah seorang Bupati Keraton Kasunanan Surakarta yang pernah menjabat sebagai penguasa Sriwedari. Seorang dengan wibawa besar yang tercermin dari dalem yang dimilikinya. Pengaruh ini dirasakan menurun ketika dia wafat (sesuai peribahasa Jawa Yen ditinggal Ibu ora kopen ning yen ditinggal Bapak ora kajen). Ini tercermin dari kebiasaan-kebiasaan penghormatan terhadap bangunan yang telah berubah. Misalnya kendaraan yang berlalu-lalang disekitar pendopo atau masuk pendopo tanpa melepas alas kaki. Pada zaman KRTH Poerwodiningrat, pendatang yang masuk ke lingkungan dalem berjalan kaki bahkan berjalan jongkok di pendopo untuk menghormat. Halaman pendopo ditutup pasir untuk area duduk para abdi dalem yang sowan, dan ada tempat penyimpanan payung-payung untuk para tamu. Seiring dengan berfungsinya bangunan sebagai kantor Departemen Pertanian dan Kehakiman (1947) kebiasaan ini mulai ditiadakan. Dalem Poerwodiningratan juga pernah digunakan sebagai SMP, SMA, SGA dari Yayasan Pendidikan Tjokroaminoto (sekitar tahun 1950–1960). Poerwodiningratan juga mempunyai urutan ruang seperti halnya bangunan tradisional Jawa dengan paviliun di sekelilingnya. Paviliun kini ditinggali oleh keluarga Poerwadiningrat. Dengan dasar (warah/petuah) filosofi dari Sunan Paku Buwono X bahwa "Budoyo Jowo iku ora bedo karo pusoko kadatone, lamun dipepetri bakal hamberkahi nanging lamun siniosio bakal tuwuh haladipun" yang kurang lebih berarti budaya Jawa itu sama dengan pusaka keraton jika dihormati akan memberi berkah, namun jika disia-sia akan memberi hukuman. Untuk itu setiap malam Jumat dalem pringgitan diberi sesajian dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Demikian pula pada tanggal 1 bulan Jawa dan setiap tahun pada bulan Sapar untuk memperingati berdirinya bangunan tersebut. Layaknya bangunan kuno di Jawa, pada bangunan ini sering terjadi hal-hal aneh yang bersifat mistik terutama bila sesajian lupa disajikan di dalam pendopo. Parmadi PoetriBerdiri Januari 1927 atas prakarsa pemerintahan Kasunanan dengan nama HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Pamardi Putri. Semula digunakan untuk putri kerabat dekat kasunanan. Sebuah bangunan yang berfungsi sama namun digunakan untuk lelaki bernama Gedung Ksatriyan. Gedung VeteranDikenal juga dengan sebutan Gedung Lowo. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan/pejabat Belanda. Tahun 1945 gedung ini dihuni oleh keluarga Djian Ho. Gedung ini terletak di jalan Slamet Riyadi dengan bentuk khas arsitektur kolonial untuk sebuah bangunan rumah tinggal. Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa mengubah bentuk asli bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983-1985. Broederan PoerbayanBruderan dan Susteran Purbayan merupakan tempat pendidikan sekaligus asrama bagi para Bruder dan suster. Didirikan pada zaman penjajahan Belanda tahun 1921/1922. Taman
Benda Cagar BudayaBerdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 646 Tahun 1997 Tentang Penetapan Bangunan-Bangunan dan Kawasan Kuno Bersejarah di Kotamadya Surakarta yang Dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Bagar Budaya, maka terdapat 70 objek di Solo yang masuk kategori cagar budaya:[7][8][9][10]
Dari ke-70 BCB tersebut, 11 di antaranya kemudian dinyatakan belum layak masuk daftar BCB, karena usianya masih kurang dari 50 tahun.[11] BCB yang dicoret tersebut yaitu Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), Monumen Banjarsari, Patung Gatot Subroto, Monumen Pasar Nongko, Monumen Sondakan, Monumen Bhayangkara Panularan, Patung Ganesha, Makam Putri Cempa, Patung Slamet Riyadi, Tugu Talirogo, serta Monumen Gerilya. Referensi
|