Asal-usul Tutsi dan HutuAsal-usul orang Tutsi dan Hutu merupakan masalah penting dalam sejarah Burundi, Rwanda, dan wilayah Danau Besar di Afrika. Meski Hutu secara umum diakui sebagai etnis mayoritas di Rwanda, dalam ideologi rasialis, orang Tutsi dianggap sebagai ras asing dan bukan minoritas asli. Akibatnya, hubungan antara keduanya sering kali tidak baik, terutama apabila berkenaan dengan asal-usul dan klaim "kerwandaan." Konflik terbesar yang diakibatkan oleh masalah tersebut adalah genosida Rwanda 1994. Mahmoud Mamdani, seorang intelektual dari Uganda, menyebutkan empat dasar yang penting dalam penelitian mengenai "perbedaan antara Hutu dan Tutsi": fenotip, genotip, ingatan kultural penduduk Rwanda, dan arkeologi/linguistik. Argumen genotipPenelitian terbaru telah menghapuskan penekanan terhadap penampilan fisik, seperti tinggi badan dan lebar hidung, tetapi mendukung penyelidikan faktor darah, keberadaan siklemia, intoleransi laktosa pada orang dewasa, dan ekspresi genotip lainnya. Penelitian pada tahun 1987 yang bertajuk "Genetics and History of Sub-Saharan Africa" dan diterbitkan di Yearbook of Physical Anthropology menunjukkan bahwa Tutsi dan Hima, meski dikelilingi oleh orang-orang Bantu, "lebih dekat secara genetis kepada orang Kush dan Etiosemit."[1] Penelitian lain menyimpulkan bahwa sel sikel ada di antara orang Hutu Rwanda dan hampir tidak ada di antara orang Tutsi Rwanda. Keberadaan sel sikel merupakan bukti keselamatan dari malaria selama berabad-abad, sehingga menunjukkan asal-usul yang berbeda. Penelitian regional yang menyelidiki kemampuan menelan laktosa juga mencerna penemuan tersebut. Kemampuan mencerna laktosa di antara orang dewasa hanya ada pada kelompok-kelompok nomaden yang tinggal di gurun pasir yang bergantung kepada susu selama bermilenia-milenia. Tiga perepat orang Tutsi Rwanda dan Burundi dewasa punya kemampuan mencerna laktosa yang tinggi, sementara hanya 5% orang Shi dewasa dari Kongo timur yang bisa. Di antara orang Hutu, satu dari tiga orang dewasa mampu mencerna laktosa, dan itu merupakan angka yang tinggi untuk masyarakat agraria. Mamdani mengusulkan bahwa hal ini disebabkan oleh pernikahan campur dengan orang Tutsi selama berabad-abad.[2] Bethwell Ogot dalam General History UNESCO 1988 lebih jauh mencatat bahwa jumlah pastoralis di Rwanda meningkat tajam pada abad ke-15. Meskipun Luis et al. dalam penelitian terhadap penanda bi-alelik di negara-negara Afrika mendapati perbedaan genetik yang signifikan antara Tutsi dan Hutu, secara keseluruhan perbedaannya tidak besar.[3] Argumen antropologisMeski sebagian besar pendukung teori migrasi juga mendukung "teori Hamitik," terutama yang menyatakan bahwa orang Tutsi berasal dari Tanduk Afrika, teori lain mengusulkan bahwa orang Tutsi bermigrasi dari Afrika Timur dalam, dan bahwa perbedaan fisik yang ada merupakan akibat dari seleksi alam di iklim kering selama bermilenia-milenia. Jean Hiernaux mengajukan satu teori yang cukup detail berdasarkan penelitian faktor darah dan arkeologi. Dengan melihat catatan fosil orang tinggi dengan fitur wajah yang lebar di Afrika Timur (termasuk di Gua Gambles di Lembah Kenya dan Jurang Olduvai di Tanzania utara), Hiernaux berpendapat bahwa meski ada perpindahan, perpindahan tersebut tidak sedramatis yang diusulkan sumber-sumber lain. Ia secara terang-terangan menentang teori Hamitik yang mengatakan bahwa migran dari Etiopia membawa peradaban ke Afrika primitif.[4] Namun, berkat studi genetik terkini, teori Hiernaux mengenai asal-usul Tutsi di Afrika Timur tampak meragukan.[5][6] Studi terkini juga menunjukkan bahwa Tutsi tidak banyak dipengaruhi oleh genetika Afrika timur laut.[3] Di sisi lain, tidak ada data mtDNA yang tersedia untuk orang Tutsi. Padahal data tersebut mungkin akan membantu menerangkan latar belakang mereka. Hipotesis migrasi vs. hipotesis HamitikAhli-ahli kolonial yang menemukan masyarakat kompleks di Afrika sub-Sahara mengembangkan hipotesis Hamitik. Menurut mereka, orang "Eropa hitam" telah bermigrasi ke Afrika dalam, menaklukkan orang primitif yang mereka temui dan lalu memperkenalkan peradaban. Hipotesis Hamitik terus dianut hingga sekarang, baik di dalam maupun di luar lingkar akademik. Sementara para ahli mengembangkan hipotesis migrasi yang bertentangan dengan hipotesis Hamitik, gagasan bahwa Tutsi memperadabkan penakluk asing juga dipertanyakan. Salah satu mazhab meyakini bahwa masuknya para pastoralis pada abad ke-15 mungkin telah terjadi pada waktu tertentu dan berlangsung dengan damai, daripada secara mendadak dan penuh kekerasan. Perbedaan penting yang ditekankan adalah bahwa migrasi tidak sama dengan penaklukan. Ahli lain menghapuskan kaitan antara kedatangan Tutsi dengan berkembangnya pastoralisme dan dimulainya periode pembangunan negara. Tampak jelas bahwa pastoralisme telah dipraktikkan di Rwanda sebelum imigrasi pada abad ke-15, meski tanggal pembentukan negara dan masuknya pastoralis tidak sepenuhnya cocok. Maka argumen ini berupaya mengurangi kepentingan migrasi pastoralis. Penelitian lain menunjukkan bahwa transmisi kultural dapat terjadi tanpa migrasi aktual. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai seberapa besar migrasi memengaruhi perubahan pada abad ke-15 dan 16. Penelitian yang mendalami subjek kemurnian ras merupakan salah satu yang paling kontroversial. Berdasarkan penelitian tersebut, migran pastoralis dan orang Rwanda pra-migrasi hidup berdampingan selama berabad-abad dan melakukan pernikahan campur. Maka keabsahan gagasan bahwa orang Rwanda bisa menyatakan diri sebagai Tutsi atau Hutu murni patut dipertanyakan.[7] Catatan kaki
|