Awan noktilusenAwan noktilusen (NLC) atau awan bersinar adalah awan yang membiaskan cahaya ketika matahari telah tenggelam. Awan tersebut kerap muncul dengan keadaan tidak jelas dan tidak hanya dengan warna biru saja. Namun, terkadang dapat berwarna merah, hijau, kuning, putih keperakan, bahkan tidak berwarna. Awan yang mengiluminasi langit dengan sumber cahaya tidak tampak ini terbentuk dari kristal es yang memiliki diameter sebesar 100 nanometer. Menurut para ilmuwan, awan tersebut juga dapat terbentuk dari uap air, debu meteor, dan debu gunung berapi. Berbeda dengan awan lainnya yang terdapat di lapisan troposfer atau lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi, awan noktilusen terletak sekitar 80–85 kilometer di lapisan mesosfer atau lapisan atmosfer ketiga. KarakteristikMenurut keterangan dari American Geophysical Union, awan noktilusen merupakan awan tertinggi yang berada di atmosfer bumi dan dianggap sebagai awan polar mesosfer.[1][2][3] Awan ini berbentuk menyerupai awan sirus yang tipis dan memantulkan cahaya matahari.[4][5][6] Adapun warna dari awan itu bervariasi, yaitu merah, hijau, kuning, putih seperti perak, dan kadang-kadang tidak berwarna.[5] Suryanto dan Luthfian (peneliti dari Universitas Gadjah Mada) mengkategorikan awan tersebut ke dalam jenis awan nontroposferik karena berada 80–85 kilometer atau sekitar 250.000–280.000 kaki di lapisan mesosfer.[7] Awan-awan nontroposferik seperti awan noktilusen dan awan nakreus tersusun atas kristal-kristal es dan titik-titik air super dingin yang berasal dari meteor atau pemecahan molekul gas metana.[8][9] Awan yang jarang terjadi dan dapat terbentuk dari kristal es ini lebih sering terlihat[a] saat matahari telah terbenam,[3][10] terutama ketika matahari berada di antara 50–130 di bawah cakrawala.[11] Awan itu juga hanya muncul ketika musim panas saja (saat atmosfer atas mulai mendingin dan atmosfer bawah menghangat),[2][4] yaitu pertengahan bulan Mei–Agustus di bagian bumi utara dan pertengahan bulan November–Januari di belahan bumi selatan. Namun, awan tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang dan lebih sering tampak di belahan bumi utara, terutama di negara-negara bagian Amerika Serikat seperti Oregon, Minnesota, Michigan, Nevada, serta daerah kutub.[12] Earth Observatory milik National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengungkapkan bahwa awan noktilusen yang muncul pada 2019 telah merambat semakin jauh ke selatan.[4] Hal tersebut turut diperjelas oleh Michael Carlowicz (redaktur pelaksana Earth Observatory) bahwa awan itu membentang ke garis lintang yang lebih rendah dengan frekuensi yang lebih besar.[2] PembentukanAwan noktilusen terbentuk[b] dari penguapan air, tetapi penguapan tersebut menghasilkan partikel-partikel padat berupa debu. Adapun sumber debu dalam awan itu diperkirakan berasal dari serpihan meteor yang melintas dan memasuki atmosfer bumi ataupun letusan gunung berapi yang berada di lapisan troposfer, sedangkan uap airnya diperkirakan berasal dari pembuangan pesawat luar angkasa yang biasanya dilepaskan di lapisan termosfer dengan ketinggian antara 103–114 kilometer.[13] Awan tersebut terbentuk pada suhu sekitar -2300 fahrenheit di lintang 500 lintang utara dan 700 lintang selatan khatulistiwa. Awan ini diperkirakan tidak hanya terbentuk dari kristal es saja, tetapi juga berasal dari uap air dan debu meteor. Selain itu, pembentukannya juga dapat berasal dari letusan gunung berapi, meskipun tidak menyeluruh.[14] PenelitianPenelitian tentang awan ini pertama kali dilakukan setelah dua tahun meletusnya Gunung Krakatau, yaitu pada 1885.[15][16] Penelitian tersebut dianggap yang pertama karena tidak ada catatan yang menunjukkan pernah dilakukan penelitian sebelum tahun itu.[12] Awan noktilusen muncul pada abad ke-19 akibat dari erupsi Krakatau, meskipun saat itu abu dari gunung yang berada di Selat Sunda ini telah hilang. Awan itu muncul dengan warna yang pekat dan membentuk pola menyerupai riak listrik biru di langit.[17] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bone (ilmuwan astronomi dari Skotlandia), awan ini dapat berwarna biru tipis dikarenakan ada penyerapan ozon di lapisan atmosfer yang terkena pancaran sinar matahari.[18] Para ilmuwan meyakini bahwa ada debu di dalam awan ini yang berasal dari material luar angkasa, tepatnya asap meteor. Selain itu, mereka juga menduga bahwa perwujudan dari fenomena tersebut juga terkait dengan debu vulkanik.[16][17] Menurut James Russell (ilmuwan atmosfer dari Universitas Hampton, Virginia), penemuan debu dalam awan ini mendukung teori yang menyatakan bahwa debu meteor adalah agen nukleasi[c] terkait terbentuknya awan noktilusen.[2] T.W. Backhouse (ilmuwan dari Jerman) juga menemukan adanya filamen tipis bercahaya biru listrik di langit dalam awan ini.[19] Sementara itu, Mark Hervig yang melakukan penelitian mengenai awan tersebut dengan menggunakan Solar Occultation for Ice Experiment (SOFIE) menemukan adanya keterkaitan pembentukan noktilusen dengan ekstraterestrial (luar bumi), yaitu setidaknya 3% dari setiap kristal es di dalam awan ini merupakan meteor.[17][20] GaleriBerikut kumpulan galeri awan noktilusen yang terjadi di berbagai negara.
Lihat pulaKeterangan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Awan noktilusen. |