Share to:

 

Awan noktilusen

Awan noktilusen yang terjadi di Landskrona, Swedia pada 21 Juni 2019.

Awan noktilusen (NLC) atau awan bersinar adalah awan yang membiaskan cahaya ketika matahari telah tenggelam. Awan tersebut kerap muncul dengan keadaan tidak jelas dan tidak hanya dengan warna biru saja. Namun, terkadang dapat berwarna merah, hijau, kuning, putih keperakan, bahkan tidak berwarna. Awan yang mengiluminasi langit dengan sumber cahaya tidak tampak ini terbentuk dari kristal es yang memiliki diameter sebesar 100 nanometer. Menurut para ilmuwan, awan tersebut juga dapat terbentuk dari uap air, debu meteor, dan debu gunung berapi. Berbeda dengan awan lainnya yang terdapat di lapisan troposfer atau lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi, awan noktilusen terletak sekitar 80–85 kilometer di lapisan mesosfer atau lapisan atmosfer ketiga.

Karakteristik

Menurut keterangan dari American Geophysical Union, awan noktilusen merupakan awan tertinggi yang berada di atmosfer bumi dan dianggap sebagai awan polar mesosfer.[1][2][3] Awan ini berbentuk menyerupai awan sirus yang tipis dan memantulkan cahaya matahari.[4][5][6] Adapun warna dari awan itu bervariasi, yaitu merah, hijau, kuning, putih seperti perak, dan kadang-kadang tidak berwarna.[5] Suryanto dan Luthfian (peneliti dari Universitas Gadjah Mada) mengkategorikan awan tersebut ke dalam jenis awan nontroposferik karena berada 80–85 kilometer atau sekitar 250.000–280.000 kaki di lapisan mesosfer.[7] Awan-awan nontroposferik seperti awan noktilusen dan awan nakreus tersusun atas kristal-kristal es dan titik-titik air super dingin yang berasal dari meteor atau pemecahan molekul gas metana.[8][9]

Awan yang jarang terjadi dan dapat terbentuk dari kristal es ini lebih sering terlihat[a] saat matahari telah terbenam,[3][10] terutama ketika matahari berada di antara 50–130 di bawah cakrawala.[11] Awan itu juga hanya muncul ketika musim panas saja (saat atmosfer atas mulai mendingin dan atmosfer bawah menghangat),[2][4] yaitu pertengahan bulan Mei–Agustus di bagian bumi utara dan pertengahan bulan November–Januari di belahan bumi selatan. Namun, awan tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang dan lebih sering tampak di belahan bumi utara, terutama di negara-negara bagian Amerika Serikat seperti Oregon, Minnesota, Michigan, Nevada, serta daerah kutub.[12] Earth Observatory milik National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengungkapkan bahwa awan noktilusen yang muncul pada 2019 telah merambat semakin jauh ke selatan.[4] Hal tersebut turut diperjelas oleh Michael Carlowicz (redaktur pelaksana Earth Observatory) bahwa awan itu membentang ke garis lintang yang lebih rendah dengan frekuensi yang lebih besar.[2]

Pembentukan

Awan noktilusen terbentuk[b] dari penguapan air, tetapi penguapan tersebut menghasilkan partikel-partikel padat berupa debu. Adapun sumber debu dalam awan itu diperkirakan berasal dari serpihan meteor yang melintas dan memasuki atmosfer bumi ataupun letusan gunung berapi yang berada di lapisan troposfer, sedangkan uap airnya diperkirakan berasal dari pembuangan pesawat luar angkasa yang biasanya dilepaskan di lapisan termosfer dengan ketinggian antara 103–114 kilometer.[13] Awan tersebut terbentuk pada suhu sekitar -2300 fahrenheit di lintang 500 lintang utara dan 700 lintang selatan khatulistiwa. Awan ini diperkirakan tidak hanya terbentuk dari kristal es saja, tetapi juga berasal dari uap air dan debu meteor. Selain itu, pembentukannya juga dapat berasal dari letusan gunung berapi, meskipun tidak menyeluruh.[14]

Penelitian

Penelitian tentang awan ini pertama kali dilakukan setelah dua tahun meletusnya Gunung Krakatau, yaitu pada 1885.[15][16] Penelitian tersebut dianggap yang pertama karena tidak ada catatan yang menunjukkan pernah dilakukan penelitian sebelum tahun itu.[12] Awan noktilusen muncul pada abad ke-19 akibat dari erupsi Krakatau, meskipun saat itu abu dari gunung yang berada di Selat Sunda ini telah hilang. Awan itu muncul dengan warna yang pekat dan membentuk pola menyerupai riak listrik biru di langit.[17] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bone (ilmuwan astronomi dari Skotlandia), awan ini dapat berwarna biru tipis dikarenakan ada penyerapan ozon di lapisan atmosfer yang terkena pancaran sinar matahari.[18]

Para ilmuwan meyakini bahwa ada debu di dalam awan ini yang berasal dari material luar angkasa, tepatnya asap meteor. Selain itu, mereka juga menduga bahwa perwujudan dari fenomena tersebut juga terkait dengan debu vulkanik.[16][17] Menurut James Russell (ilmuwan atmosfer dari Universitas Hampton, Virginia), penemuan debu dalam awan ini mendukung teori yang menyatakan bahwa debu meteor adalah agen nukleasi[c] terkait terbentuknya awan noktilusen.[2] T.W. Backhouse (ilmuwan dari Jerman) juga menemukan adanya filamen tipis bercahaya biru listrik di langit dalam awan ini.[19] Sementara itu, Mark Hervig yang melakukan penelitian mengenai awan tersebut dengan menggunakan Solar Occultation for Ice Experiment (SOFIE) menemukan adanya keterkaitan pembentukan noktilusen dengan ekstraterestrial (luar bumi), yaitu setidaknya 3% dari setiap kristal es di dalam awan ini merupakan meteor.[17][20]

Galeri

Berikut kumpulan galeri awan noktilusen yang terjadi di berbagai negara.

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Beberapa awan noktilusen pernah muncul sekitar pukul 15.00–16.00. Namun, warnanya lebih redup dan tidak lebih bagus apabila muncul pada saat matahari telah terbenam (Roth 2009, hlm. 535).
  2. ^ Proses pembentukan awan pada dasarnya sama dengan proses pembentukan kabut. Adapun yang menjadi perbedaannya adalah proses pembentukan awan melibatkan lebih banyak lapisan udara dibandingkan dengan kabut. Walaupun demikian, hasil prediksi awan secara numerik lebih banyak tersedia dan memiliki akurasi lebih tinggi dibandingkan dengan hasil prediksi kabut. Hal ini disebabkan karena penelitian mengenai awan lebih intensif dibandingkan dengan penelitian kabut, meskipun keduanya dimulai sejak awal abad ke-20 (Suryanto & Luthfian 2019, hlm. 70).
  3. ^ Nukleasi adalah peristiwa umum yang terjadi di atmosfer bumi yang lebih rendah ketika debu dapat bertindak sebagai titik pengumpulan serupa untuk kristal es, tetesan air, dan kepingan salju yang muncul di sekitarnya (Bone 2007, hlm. 159–160).

Rujukan

  1. ^ Sartika, Resa Eka Ayu, ed. (24 September 2018). "Awan Biru Elektrik Langka Tertangkap Kamera NASA, Apa Artinya?". Kompas.com. Diakses tanggal 24 Desember 2019. 
  2. ^ a b c d Yulianingsih, Tanti, ed. (2 Juli 2019). "NASA Temukan Awan Hantu, Gumpalan Sisa Meteor yang Berpendar Biru". Liputan6.com. Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  3. ^ a b Hatta, Raden Trimutia; Yulianingsih, Tanti, ed. (17 September 2019). "Tragedi 9/11 hingga Petak Umpet Bulan, 5 Foto Menakjubkan dari Angkasa Luar". Liputan6.com. Diakses tanggal 23 Desember 2019. 
  4. ^ a b c Widyaningrum, Gita Laras (3 Juli 2019). "Awan Es Biru yang Terbuat dari Meteor dan Hanya Bersinar di Malam Hari". National Geographic Indonesia. Diakses tanggal 24 Desember 2019. 
  5. ^ a b Wirjohamidjojo (1985), hlm. 12–13
  6. ^ Wirjohamidjojo, dkk (2004), hlm. 23
  7. ^ Suryanto & Luthfian (2019), hlm. 74
  8. ^ Gadsden & Schröder (1989), hlm. 138–139
  9. ^ Suryanto & Luthfian (2019), hlm. 78
  10. ^ Hari (2019), hlm. 45
  11. ^ Wirjohamidjojo (1993), hlm. 26
  12. ^ a b Nursetiawati, Ineu (8 Juli 2019). "5 Fakta Awan Noctilucent, Fenomena Alam di Langit Biru Saat Senja". IDN Times. Diakses tanggal 24 Desember 2019. 
  13. ^ Bone (2007), hlm. 155–156
  14. ^ Roth (2009), hlm. 537–540
  15. ^ Chang, Kenneth (24 April 2007). "First Mission to Explore Those Wisps in the Night Sky". The New York Times. Diakses tanggal 24 Desember 2019. 
  16. ^ a b Space.com (3 September 2012). "Ghostly Night-Shining Clouds Get Their Glow from Meteor Smoke". Space.com. Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  17. ^ a b c Luthfi, Ahmad (14 Agustus 2012). "Asap Meteor Ciptakan Awan "Misterius"". Okezone.com. Diakses tanggal 24 Desember 2019. 
  18. ^ Bone (2007), hlm. 153–155
  19. ^ NASA Science (7 Agustus 2012). "Meteor Smoke Makes Strange Clouds". NASA Science. Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  20. ^ Nuttall, dkk (2018), hlm. 120–122

Daftar pustaka

Buku

  • Bone, Neil (2007). Aurora: Observing and Recording Nature's Spectacular Light Show. Berlin: Springer Science and Business Media. ISBN 978-038-7684-69-7. 
  • Gadsden, Michael; Schröder, Wilfried (1989). Noctilucent Clouds: Physics and Chemistry in Space Planetology. Berlin: Springer-Verlag. ISBN 978-038-7506-85-2. 
  • Hari, Bayu Sapta (2019). Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. Bandung: Penerbit Duta. ISBN 978-623-2390-20-1. 
  • Nuttall, Mark, dkk (2018). The Routledge Handbook of the Polar Regions. London: Routledge. ISBN 978-131-7549-56-7. 
  • Roth, Günter D. (2009). Handbook of Practical Astronomy. Berlin: Springer Science and Business Media. ISBN 978-354-0763-79-6. 
  • Suryanto, Wiwit; Luthfian, Alutsyah (2019). Pengantar Meteorologi: Dasar-Dasar Ilmu tentang Cuaca. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-3861-56-9. 
  • Wirjohamidjojo, Soerjadi (1985). Kamus Istilah Meteorologi (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-979-4594-65-0. 
  • Wirjohamidjojo, Soerjadi (1993). Kamus Hidrometeorologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-979-4593-57-8. 
  • Wirjohamidjojo, Soerjadi, dkk (2004). Kamus Meteorologi Perhubungan (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. ISBN 978-979-6854-66-0. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya