Kota Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, dan merupakan tempat yang strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan internasional.
Selain sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga merupakan ibu kota Kecamatan Bangko.
Bagansiapiapi pernah meraih predikat kota terbersih ke-2 tingkat Provinsi Riau setelah kota Bengkalis pada tahun 2011. Penyerahan piagam penghargaan diberikan oleh Gubernur RiauH.M.Rusli Zainal bersamaan dengan peringatan Hari Ibu ke-85 pada tanggal 22 Desember 2011 di Pekanbaru.[3] Pada peringatan Hari Konservasi Alam Nasional ke-13 di Taman Hutan Raya di Kecamatan Minas, Siak tanggal 14 Agustus 2022, kota Bagansiapiapi ditetapkan sebagai kota terbersih se-Provinsi Riau.[4]
Sejarah
Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir.
Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko, dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada tahun 1890.[5]
Berdasarkan Staatsblad 1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibu kota Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeelingBengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni Bangko, Kubu, dan Tanah Putih.[6] Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan (kantor Controleur) ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900.[7] Bagansiapiapi semakin berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.
Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagai Undang-Undang dalam Rapat Paripurna.[9][10]
Asal-usul nama Bagansiapiapi
Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, TiongkokSelatan,[11]
Disebutkan bahwa menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Ki Hu Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.
Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip dan mereka mengikutinya sampai ke daratan. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.
Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohonapi-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.[12]
Kota nelayan dan galangan kapal
Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber, di antaranya surat kabar De Indische Mercuur menulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia.[13][14]
Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran.[15][16] Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya).[16][17]
Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton.[18] Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia adalah Bagansiapiapi,[19] yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.
Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.
Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an saja.[20]
Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan.[21] Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Perahu produksi Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Pada masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau.[22]
Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke pengusaha galangan kapal.
Komunitas Tionghoa
Bagansiapiapi memiliki komunitasTionghoa yang besar. Terdapat beberapa versi sejarah kedatangan pertama orang Tionghoa di Bagansiapiapi.
Menurut P.N. van Kampen, orang Tionghoa sudah ada di Bagansiapiapi sejak tahun 1860.[23] Versi lain mengenai kedatangan awal orang Tionghoa ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875[24] saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi dari Songkhla, Thailand yang dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek Wang.[25][26] Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan.
Menurut sumber lain yang layak dipercaya menyebutkan bahwa jauh pada masa Kaisar Tongzhi (1862-1874), yaitu pada zaman Dinasti Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Distrik Tong'an, Provinsi Fujian, TiongkokSelatan, datang ke kota itu dan mengembangkan usaha perikanan di sana. Menurut hasil cacah jiwa pada 1930, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di seluruh Hindia Belanda, 54,7 % berada di Sumatra Timur (terutama di Bagansiapiapi). Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian terbesar dari 400 lebih usaha penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa.[27]
Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi Fujian, TiongkokSelatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.
Eksistensi komunitas Tionghoa yang kuat di Bagansiapiapi dapat dilihat dari banyaknya kelenteng yang berdiri. Di samping itu, terdapat berbagai perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing-masing, di mana dari perkumpulan-perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezimOrde Baru.
Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah Perkumpulan Marga AngLiok Kui Tong/Yayasan Sosial Marga Sad Eka (六桂堂), Perkumpulan Marga NgKang Ha Tong/Yayasan Samvara Dharma Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga TanYing Chuan Tong (陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga LimKiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan Marga CoaCei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho/Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Orang Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.
Geografis
Secara geografis, Bagansiapiapi terletak di Pulau Sumatra pada titik koordinat 2,1578° Lintang Utara (2° 9' 28.08" N) dan 100,8163° Bujur Timur (100° 48' 58.68" E).[28]
Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan yang berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional yang ramai.
Batas-batas wilayah Bagansiapiapi yang mencakup Kecamatan Bangko, sebagai berikut:
Sektor-sektor yang terutama menjadi penggerak roda perekonomian kota Bagansiapiapi di antaranya adalah sektor pertanian, kelautan, budidaya burung walet, perkebunan, kehutanan, pariwisata dan jasa keuangan.
Pertanian
Pertanian yang dikembangkan di Bagansiapiapi di antaranya pertanian tanaman pangan, terutama sayuran, buah-buahan, dan padi.
Perkebunan
Tanaman perkebunan yang merupakan komoditas yang cukup potensial di daerah Bagansiapiapi adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa.
Perikanan
Produksi perikanan di Bagansiapiapi sebagian besar berasal dari perikanan laut. Selain ikan segar, produk yang dihasilkan dari sektor perikanan di antaranya adalah ikan asin, ebi (udang kering), terasi, dan olahan ikan lainnya.
Galangan Kapal
Usaha galangan kapal di Bagansiapiapi sudah berusia ratusan tahun. Dewasa ini, usaha galangan kapal di Bagansiapiapi berada di kawasan Pelabuhan Baru Bagansiapiapi, dengan bahan baku utama dari kayu. Kapal yang dibuat berukuran besar dan kecil.
Industri galangan kapal kayu di sejumlah daerah di wilayah Kabupaten Rokan Hilir termasuk di kota Bagansiapiapi, yang sempat lesu beberapa tahun terakhir, dewasa ini sudah mulai bergairah kembali.
Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai aktivitas di pinggiran pantai kota Bagansiapiapi untuk membuat kapal kayu. Dengan aktifnya kembali industri kapal kayu tersebut, maka sektor perekonomian di Kecamatan Bangko bisa meningkat.[30]
Budidaya burung walet
Setelah aktivitas perekonomian dari sektor perikanan semakin menurun, budidaya burung walet untuk diambil sarangnya telah menjadi alternatif usaha dan sangat jamak ditemukan di Bagansiapiapi, terutama di pusat kota, di mana banyak ruko-ruko dibangun 3 sampai 4 tingkat, dengan tingkat teratas dijadikan sebagai tempat budi daya burung walet, sedangkan tingkat 1-2 digunakan sebagai toko dan tempat tinggal.
Hasil pendataan lokasi yang telah dilaksanakan pihak Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Rokan Hilir yang dimulai sejak Januari hingga April 2012, ternyata di kota Bagansiapiapi, Kecamatan Bangko memiliki 900 tempat usaha budidaya burung walet.[31]
Pariwisata
Sektor pariwisata sekarang telah menjadi salah satu sektor andalan penunjang perekonomian Bagansiapiapiapi.
Perayaan Tahun Baru Imlek
Perayaan Tahun Baru Imlek (Sincia) di Bagansiapiapi sangat meriah, terutama pada malam pergantian tahun baru. Tahun Baru Imlek juga merupakan tradisi pulang kampung bagi orang Tionghoa yang merantau ke luar daerah untuk berkumpul kembali bersama keluarga. Perayaan Imlek di Bagansiapiapi berlangsung 15 hari sampai malam Cap Go Meh. Selama perayaan Tahun Baru Imlek, lampion beraneka bentuk dan ukuran menghiasi rumah-rumah penduduk, perkantoran, kelenteng dan vihara, bahkan di sepanjang jalan-jalan besar di pusat kota sehingga kota Bagansiapiapi seakan bermandikan cahaya lampion di malam hari. Hari ke-9 Imlek (Cue Kao) yang merupakan perayaan hari kelahiran Dewa Langit (Thi Kong) juga berlangsung sangat meriah di Bagansiapiapi.
Salah satu keunikan perayaan Tahun Baru Imlek di Bagansiapiapi adalah hadirnya aksesoris patung berbentuk hewan dari shio tahun tersebut yang dipajang di Jalan Perdagangan. Patung tersebut terutama terbuat dari material seperti kertas, bambu, kawat, kain, wol dan sebagainya. Kegiatan seperti ini baru dimulai pada perayaan Tahun Baru Imlek 2554/2003 M Shio Kambing.
Di samping itu, di Kelenteng Guan Gong (關帝壇) yang terletak di Jalan Perniagaan, terdapat lampion berukuran raksasa berbentuk hewan shio dan karya klasik Tiongkok lainnya.
Pada malam Cap Go Meh akan berlangsung Pawai Lampion dengan lampion-lampion yang unik dari berbagai kelenteng yang ada di Bagansiapiapi. Pawai Lampion ini sekaligus merupakan Lomba Lampion yang akan memilih lampion terindah, terunik dan terbagus.
Statsiun televisi swasta nasional, MetroTV pernah meliput acara pergantian Tahun Baru Imlek 2561/2010 M secara langsung dari Bagansiapiapi yang dipusatkan di halaman depan Kelenteng Ing Hok Kiong (永福宮).[32]
Dari sektor pariwisata, iven Ritual Bakar Tongkang telah menjadi ikon dan andalan pariwisata Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau yang mampu menyedot puluhan ribuan wisatawan dalam dan luar negeri setiap tahun.[33]
Ritual Bakar Tongkang bertujuan untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur kepada Dewa Ki Hu Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang diadakan setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek) setiap tahunnya, yang dalam bahasa Hokkian disebut "Go Ge Cap Lak".
Ritual Bakar Tongkang ini bahkan masuk dalam iven pariwisata nasional peringkat ke-10 di Indonesia di mana jumlah kunjungan wisatawan mencapai 40 ribuan.[34]
Wisata kuliner khas Bagansiapiapi
Kuliner khas Bagansiapiapi yang terkenal adalah masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat, misalnya: kwetiau bagan, miso bagan, nasi lemak bagan, kari peng (nasi kari bagan), ham-ke (sejenis martabak dari kerang), wantanmi (mi pangsit), ke-mi (mi kuah yang dicampur dengan potongan-potongan mirip kwetiau), tilongpan (mirip cicongpan di Medan), kiam-ke, lolia (rujak bagan), o-lua (rujak bagan pedas), o-ke, o-yii, dan sebagainya.
Oleh-oleh khas Bagansiapiapi adalah kacang pukul yang diproduksi masyarakat Tionghoa secara turun temurun. Selain itu juga terkenal terasi, kerupuk udang, kerupuk singkong, udang kering (ebi), permen kelapa, kue kiat-hong, kue lik-tao-ko, kue an-che-nai-ko, dan beragam jajanan khas lainnya yang tidak ditemukan di daerah lain.
Perdagangan
Di Bagansiapiapi terdapat dua pasar tradisional yang ramai dikunjungi yakni Pasar Pelita dan Pasar Datuk Rubiah (dahulu Pasar Inpres). Selain itu juga ada pasar jalanan di sepanjang Jalan Satria, dinamakan Pasar Satria Tangko.
Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia di Bagansiapiapi merupakan kantor cabang kedua yang dibuka di seluruh Indonesia sejak pendirian Bank Rakyat Indonesia tahun 1895 di Purwokerto,[35] sehingga kode Bank Rakyat Indonesia cabang Bagansiapiapi menggunakan nomor 0002.
Bank Negara Indonesia secara resmi beroperasi kembali di Bagansiapiapi dengan pembukaan kantor kas baru yang berada di Jalan Aman pada tanggal 30 Maret 2016.[36] BNI pernah hadir di Bagansiapiapi sejak tahun 1960-an, namun karena kemerosotan ekonomi Bagansiapiapi, BNI terpaksa menutup kantor cabangnya di pertengahan tahun 1990-an.
Bank Syariah Mandiri mulai beroperasi di Bagansiapiapi sejak 28 November 2011[37] yang diresmikan oleh Bupati Rokan Hilir, Annas Maamun.
Kependudukan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir dalam buku Rokan Hilir Dalam Angka 2014, jumlah penduduk Kecamatan Bangko per 30 Juni 2013 yang sebagian besar meliputi kota Bagansiapiapi adalah 73.360 orang, terdiri dari penduduk laki-laki 37.979 orang dan perempuan 35.381 orang. Dengan demikian Kecamatan Bangko menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di Kabupaten Rokan Hilir setelah Kecamatan Bagan Sinembah dan Pujud. Sementara jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Rokan Hilir per 30 Juni 2013 berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir adalah 618.355 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 318.779 orang dan perempuan 299.576 orang.[38]
Dari segi etnisitas, dewasa ini penduduk kota Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Melayu dan Tionghoa, sedangkan suku lainnya dalam jumlah yang cukup signifikan adalah suku Jawa, Batak, Minangkabau, Nias dan Bugis.
Agama
Islam merupakan agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk kepercayaan Tridharma yang merupakan gabungan dari agama Buddha, Konghucu, dan Taoisme, sementara yang menganut agama Kristen, Katolik dan Islam juga ada meskipun dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan suku Batak dan Nias pada umumnya menganut agama Kristen dan Katolik.
Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adalah Masjid Raya Al-Ikhlas, Masjid Raya Al-Ihsan, Masjid Al-Kautsar, dan Masjid Laksamana Muhammad Cheng Ho.
Bagi umat Buddha dan kepercayaan Tridharma terdapat Vihara Buddha Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Buddha Kirti, Vihara Maitreya Dwipa, Kelenteng Ing Hok Kiong.
Untuk umat Katolik terdapat Gereja Katolik SantoPetrus dan Paulus. Sementara untuk umat Kristen terdapat Gereja Methodist Indonesia (GMI-Jemaat Wesley), Gereja HKBP, Gereja Kristen Protestan Indonesia.
Letaknya yang jauh dari ibu kota Jakarta, membuat komunitas Tionghoa setempat masih kental menggunakan bahasa daerah tanpa pencampuran dengan bahasa gaul ibu kota. Namun istilah "Bahasa Bagan" sering merujuk pada Bahasa Hokkian yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat.
Bahasa Hokkian Bagansiapiapi masih kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia, sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di Xiamen, Jinmen (Kim-men), dan Taiwan.
Dikarenakan sebagian besar leluhur orang Hokkian di Bagansiapiapi berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) yang dekat dengan Xiamen dan Quanzhou, maka dialek bahasa Hokkian Bagansiapiapi bisa dimasukkan dalam varian campuran antara logat Xiamen dan Quanzhou (Cuanciu). Begitu juga dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di daerah Riau lainnya seperti Selatpanjang dan Bengkalis hampir sama dialeknya, karena kebanyakan leluhurnya berasal dari daerah Nan An (Lam Ua) yang dekat dengan Quanzhou.
Sementara bahasa Hokkian yang dipergunakan di Medan dan Penang masuk dalam varian logat Zhangzhou (Cianciu).
Perantauan warga Bagansiapiapi
Bagansiapiapi yang pernah menyandang predikat kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia dan galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia, kini tinggal kenangan. Kaum muda yang sudah menamatkan sekolah di sana, mayoritas meneruskan pendidikan dan mencari pekerjaan ke luar kota karena belum hadirnya perguruan tinggi umum dan minimnya perusahaan sektor formal di Bagansiapiapi.
Para generasi muda mengais rejeki maupun meneruskan pendidikan ke kota-kota besar di tanah air. Kota-kota yang merupakan tujuan perantauan dalam jumlah yang signifikan adalah Jakarta, Medan, Pekanbaru, Batam, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar lainnya.
Di perantauan, mereka mendirikan berbagai perkumpulan seperti Himpunan Persaudaraan Tionghoa Rokan Hilir (HPT ROHIL) di Pekanbaru, Yayasan Rokan Jaya di Medan, dan Keluarga Besar Bagansiapiapi Tangerang.
Perhubungan, sarana dan prasarana transportasi
Bagansiapiapi dapat diakses dengan mudah dari berbagai kota dengan menggunakan beragam moda transportasi, baik darat maupun laut. Dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru dibutuhkan 6-7 jam perjalanan darat dengan jarak tempuh +/- 350 km melalui jalan lama, sedangkan dengan adanya Jalan Tol Pekanbaru–Dumai, perjalanan dari Bagansiapiapi ke Pekanbaru membutuhkan waktu 3 hingga 4 jam saja melalui GT Bathin Solapan atau memasuki GT Pinggir tepatnya di Kota Duri. Sementara dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dibutuhkan 10-12 jam perjalanan darat melalui Jalan Lintas Sumatera. Dari Kota Dumai hanya dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam melalui jalan darat.
Pembangunan Jembatan Jumrah yang membentang di atas Sungai Rokan, yang menjadi urat nadi jalan lintas Bagansiapiapi—Ujungtanjung, merupakan tonggak terbukanya akses jalan darat menuju Bagansiapiapi sekaligus membebaskan Bagansiapiapi dari isolasi pada masa lalu yang hanya bisa diakses melalui jalur laut. Bayangkan untuk mencapai Kota Pekanbaru, warga Bagansiapiapi harus menumpang kapal ke Kota Dumai dulu selama satu malam (sekitar 12 jam). Begitu juga jika akan bepergian ke Kota Medan, harus naik kapal dulu selama satu malam juga ke Kota Tanjung Balai Asahan.
Jembatan ini memiliki arti yang sangat penting bagi Bagansiapiapi dan daerah sekitarnya karena menjadi sarana penghubung bagi jalan lintas pesisir. Jalan lintas pesisir di Kabupaten Rokan Hilir akan menghubungkan beberapa daerah, yakni dari Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas ke Kubu, Kecamatan Kubu dengan panjang sekitar 60 kilometer, dari Kecamatan Kubu ke Pedamaran mencapai 23 kilometer. Selanjutnya dari Pedamaran ke kota Bagansiapiapi dengan panjang mencapai 17 kilometer. Terakhir dari Bagansiapiapi ke Sinaboi dan tembus ke Dumai dengan panjang 56 kilometer. Sedangkan jarak dari Bundaran Panipahan menuju Labuhan Batu, Sumatera Utara panjangnya mencapai 3 kilometer.[40]
Dengan demikian, Jembatan Pedamaran diharapkan akan membuka isolasi sejumlah daerah di pesisir Barat Laut Rokan Hilir. Proyek ini akan menghubungkan kota Panipahan sampai ke Dumai melalui Bagansiapiapi.
Bagi Kabupaten Rokan Hilir sendiri, keberadaan jalan lintas pesisir ini memiliki peranan yang cukup penting, salah satu di antaranya Kabupaten Rokan Hilir bisa menjadi daerah hinterland bagi Dumai.
Sedangkan melalui jalur laut, rute yang dilayani dewasa ini adalah Bagansiapiapi-Panipahan dan Bagansiapiapi-Pulau Halang. Sementara rute Bagansiapiapi-Kota Tanjung Balai Asahan dan Bagansiapiapi-Kota Dumai sudah tidak tersedia lagi sejak dibukanya akses jalan darat.
Jalur feri internasional yang pernah dibuka adalah rute Bagansiapiapi-Port Dickson, Malaysia dengan jarak tempuh selama 2,5 jam hingga 3 jam. Pelayaran perdana Bagansiapiapi-Port Dickson menggunakan feri cepat Acob Express I dilakukan pada hari Rabu tanggal 11 Juni 2008 yang diresmikan Bupati Rokan Hilir Annas Maamun didampingi Sekretaris DaerahProvinsi Riau saat itu, H.R.Mambang Mit.[41]
Dewasa ini, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah menyiapkan lahan seluas 130 hektare yang terletak di Desa Teluk Bano I yang akan digunakan untuk rencana pembangunan bandar udara tingkat kabupaten. Desa Teluk Bano I dapat ditempuh dengan mobil sekitar 30 menit dari ibu kota Rokan Hilir, Bagansiapiapi.[42]
Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah mengantongi izin pendirian Bandar Udara (Bandara) Teluk Bano I dari Menteri Perhubungan Republik Indonesia. Rencananya, tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir akan melakukan pembebasan lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi bandara dan pada tahun 2013 mendatang segera dilakukan pembangunan bandara yang terletak di Kecamatan Bangko Pusako.[43]
Pelabuhan laut yang akan digunakan untuk terminal kargo dan penumpang juga akan dibangun di pesisir Sungai Rokan di kawasan perkantoran Batu Enam Bagansiapiapi. Pembangunan pelabuhan laut ini diharapkan dapat merangsang masuknya investor ke Kabupaten Rokan Hilir untuk menanamkan modalnya di daerah yang kaya akan migas, ikan, hasil pertanian serta perkebunan setelah melihat tersedianya berbagai sarana dan prasarana di kabupaten yang berjuluk "Negeri Seribu Kubah" ini.[44]
Moda transportasi yang lazim dijumpai di Bagansiapiapi adalah becak dayung, sepeda dayung, dan sepeda motor. Becak motor (becak mesin) sekarang juga sudah bisa dijumpai di Bagansiapiapi. Sedangkan mobil dapat dijumpai dalam jumlah yang sedikit.
Mulai tahun 2013, plang nama jalan yang ada di kota Bagansiapiapi menggunakan tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Arab Melayu, dan bahasa Mandarin sehingga menambah keunikan dan ciri khas kota Bagansiapiapi yang mungkin tidak dimiliki kota lainnya di Indonesia.
Pembangunan Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi
Sebutan "batu" merupakan satuan ukuran jarak yang lazim dipergunakan oleh orang Melayu, di mana ukuran sebenarnya setara dengan ukuran mil/pal (1,5 - 1,6 km). Khusus dalam konteks Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi ini, satuan batu di sini ukurannya kurang lebih setara 1 kilometer. Jadi Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi merupakan suatu kawasan yang terletak kurang lebih 6 kilometer dari pusat kota lama Bagansiapiapi.
Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi dibangun dan dikembangkan oleh Bupati Rokan Hilir, H. Annas Ma’mun, untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Rokan Hilir dan pusat bisnis perdagangan. Kawasan Batu Enam ini mulai dibangun secara bertahap sejak tahun 2008. Di Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi terdapat Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Gedung Purna MTQ dan beberapa museum di antaranya Museum Sejarah Rokan Hilir, Museum Muslim, Museum Tionghoa, dan Museum Ikan. Di samping itu, bundaran Tugu Ikan juga bisa ditemukan di Kawasan Batu Enam ini yang menjadi jalur utama lalu lintas masuk dan keluar kota Bagansiapiapi.
Di tepian Sungai Rokan, tidak jauh dari Kawasan Batu Enam, juga telah dibangun Taman Wisata Budaya dan Water Boom.
Patung Dewi Kwan Im dari material kuningan dengan tinggi mencapai puluhan meter direncanakan akan berdiri menghiasi tepian Sungai Rokan dengan posisi menghadap ke arah laut. Patung Dewi Kwan Im, meski belum berada di Bagansiapiapi, merupakan hasil sumbangan dari GubernurDaerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Patung Dewi Kwan Im akan menjadi simbol keharmonisan kerukunan umat beragama di Bagansiapiapi khususnya dan Rokan Hilir umumnya. Selain itu, keberadaan Patung Dewi Kwan Im dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk meningkatkan sektor pariwisata di negeri berjuluk "Negeri Seribu Kubah" ini.[45]
Di samping itu, sejumlah proyek prestisius akan dibangun Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir di Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi, di antaranya Gedung Pramuka, Taman Pemuda, Kantor Bupati Rokan Hilir, Kantor DPRD Rokan Hilir, rumah dinas serta sejumlah proyek lainnya, termasuk penyediaan lahan 10 hektare untuk Sekolah Polisi Negara (SPN) dan lahan 4 hektare untuk Markas Pol Air Riau.[46]
Pendidikan
Masyarakat Bagansiapiapi sangat peduli pada pendidikan generasi muda, baik pendidikan bahasa Inggris maupun Mandarin. Jauh sebelum pendidikan Mandarin diakui pemerintah, para aktivis pendidikan telah mulai mengajarkan bahasa Mandarin yang saat itu masih dianggap melanggar hukum.
Berkat kepedulian terhadap pendidikan bahasa Mandarin ini, mayoritas masyarakat Bagansiapiapi mahir berbahasa Mandarin secara aktif, sehingga sangat membantu dalam bersosialisasi di berbagai aspek saat ini.
Jenjang pendidikan formal yang tersedia di Bagansiapiapi dewasa ini sudah sampai tingkat Perguruan Tinggi, di antaranya terdapat Kelas Jauh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau dan Sekolah Tinggi Agama Islam Ar-Ridha.
Di Bagansiapiapi terdapat lembaga pendidikan nasional yang sudah cukup tua yakni Yayasan Perguruan Wahidin, yang berubah status menjadi sekolah swasta nasional sejak tanggal 09 September 1957. Semula Yayasan Perguruan Wahidin merupakan sekolah Tionghoa dengan nama Tiong Hoa Kong Ouk (中華公學). Saat ini, Sekolah Yayasan Perguruan Wahidin merupakan lembaga pendidikan formal terbesar di Bagansiapiapi.
Sementara sekolah Tionghoa lainnya, Tah Tjong (大眾) ditutup oleh pemerintah Orde Baru setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Bangunannya diambil alih dan berubah menjadi SMP Negeri 1 Bangko. Ciri khas sekolah ini dengan dua patung singa di kiri kanan pintu masuk sampai sekarang masih bisa dilihat di SMP Negeri 1 Bangko.
^Lucas Partanda Koestoro, Taufiqurrahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna, Rita Margaretha Setianingsih, (2011), Penelusuran Arkeologi Dan Sejarah Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Balai Arkeologi Medan, No.25 hlm.33
^Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB II hlm.13
^John G. Butcher, (Oct., 1996), The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api, Indonesia, Vol.62 hlm.92
^De Indische Mercuur, 51, No.14, 1928:259, Bagan Si Api Api de Tweede Vischstad der Wereld
^Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB I hlm.2
^Martinus Nijhoff, (1935), Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, hlm.1362
^ abShanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB I hlm.3
^ANRI, MVO de Reel 16, (30/8/1934), Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api
^Neli Triana, (Rabu, 24 Agustus 2005), Cahaya Kunang-kunang Meredup di Bagansiapiapi, Kompas, hlm.36
^Orin Basuki, (Kamis, 9 Oktober 2003), Ketika Ikan Pun Mulai Menjauh, Kompas, hlm.33
^Neli Triana, (Senin, 11 Juli 2005), Ketika Bagansiapiapi Meredup, Kompas, hlm.35
^Neli Triana, (Rabu 24 Agustus 2005), Cahaya Kunang-kunang Meredup di Bagansiapiapi, Kompas, hlm.36
^P.N. van Kampen, (1909), Aanteekeningen omtrent de Visscherij van Sumatra en Riouw, Mededeelingen an het Visscherij-Station te Batavia 3, hlm.8
^J.L.Vleming Jr., (1926), Het Chineesche Zaken-Laven in Nederlandsch-Indie, Wetevreden:Landsdrukkerij, hlm.234
^Wawancara dengan Sudarno Mahyudin, Juli 2007, (Jumat 3 Maret 2000), Kakek Wang Si Bajak Laut Tua dan Ao Ke (Leluhur Yang Terhormat), Harian Indonesia, hlm.3
^Shanty Setyawati, (2008), Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, BAB II hlm.19
^Kong Yuanzhi, (2005), Silang Budaya Tiongkok Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, hlm.407