Banda Bakali atau Bandakali adalah istilah dalam bahasa Minang untuk menyebut sungai buatan atau kanal yang terdapat di Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Kanal banjir ini membagi aliran Batang Arau di Lubuk Begalung ke arah utara sepanjang 6,8 km dan lebar 20 m dengan muara di dekat Pantai Purus. Banda Bakali dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Padang sekaligus menopang sistem drainase tata ruang kota (muara sungai-sungai kecil, pengeringan rawa-rawa, saluran pembuangan), untuk selanjutnya dialirkan terus ke Samudra Hindia.[1]
Banda Bakali dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sarana pengendalian banjir yang sering dihadapi Kota Padang dan mengamankan Pelabuhan Muara dari amukan Batang Arau.[3] Gagasannya adalah mengatur aliran Batang Arau. Upaya awal dilakukan pada 1869 dengan meluruskan aliran Batang Arau dari Ganting ke Pamancungan. Bagian itu oleh penduduk dinamakan "batang bagali", yang menjadi asal kata dan cikal bakal Banda Bakali.
Pada 7 Oktober 1882, pemerintah Hindia Belanda di Padang mengeluarkan ordonansi yang mengizinkan pemerintah mengambil tanah penduduk agar pinggir sungai bisa diluruskan.[4] Penggalian kanal pertama kali dilakukan pada 29 Oktober 1911 di Lubuk Begalung. Di titik itu, aliran Batang Arau dibagi dan dibelokkan ke utara hingga bermuara di dekat Purus.[4]
Sebelum pembangunan Banda Bakali, banjir besar telah terjadi pada 28 dan 29 September 1907. Sementara itu, banjir juga terjadi selama proses pembangunan, seperti pada tahun 1914 dan 1915.[5][6]
Pengerjaan Banda Bakali selesai pada tahun 1918.[3] Sejarawan Rusli Amran mencatat, banjir di Padang pada masa Hindia Belanda jauh berkurang sejak kanal ini selesai dibangun.[4] Meski demikian, beberapa banjir masih terjadi.[7][8]
Fungsi
Parit itu dahulu digali sebagai pemisah antara daerah yang dikuasai penjajah dengan daerah milik penduduk asli, tetapi alasan yang diberikan penjajah adalah untuk pengendalian banjir.
Dari kacamata pemerintah kolonial Belanda, pembangunan kanal bukan hanya sebagai langkah untuk mengatasi banjir di Kota Padang, tetapi juga sebagai pemisah antara daerah yang dikuasai penjajah dengan daerah pribumi.[5]
Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Banda Bakali menjadi demarkasi area pertempuran antara militer Belanda dan pejuang Indonesia. Wilayah Kota Padang di dalam area banjir kanal menjadi basis kedudukan Belanda, sementara di luar Tentara Republik Indonesia (TRI) bergerilya, terutama pada malam hari.[5]
Pertempuran kerap terjadi di seputar jembatan di atas banjir kanal. Pasukan TRI mengincar jembatan di atas banjir kanal baik jembatan kereta api maupun jembatan kendaraan. Pada malam tanggal 11 dan 12 Agustus 1947, terjadi serangan TRI terhadap jembatan kereta api.[10] Pada 18 Januari 1947, mortir-mortir TRI menghantam dua jembatan di atas banjir kanal.[11]
Normalisasi
Dari tahun 1991 sampai 1996, Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Barat melakukan normalisasi Banda Bakali sepanjang 6,8 km dengan total biaya Rp88 miliar. Ini merupakan bagian dari Proyek Pengendalian Banjir Padang yang menghabiskan dana sekitar Rp200 miliar.[12] Pengerjaan normalisasi Banda Bakali meliputi peningkatan kapasitas kanal dari 240 m³ per detik menjadi 500 m³ per detik untuk periode ulang 25 tahun.[1]
Kondisi saat ini
Dalam perkembangannya, terjadi pendangkalan kanal atau saluran akibat adanya pengendapan sedimen di sepanjang saluran dan di muara yang menyebabkan kelancaran aliran, terutama saat terjadi banjir, terganggu.