Bangun-guna-serahBangun-guna-serah (Bahasa Inggris: Build–operate–transfer atau biasa disingkat menjadi BOT) adalah sebuah bentuk metode penyelesaian proyek, biasanya untuk proyek infrastruktur berskala besar, di mana entitas swasta mendapat konsesi dari sektor publik (atau terkadang sektor swasta) untuk mendanai, merancang, membangun, memiliki, dan mengoperasikan infrastruktur yang dinyatakan di dalam kontrak konsesi. Metode ini memungkinkan pendukung suatu proyek untuk mengembalikan investasi serta biaya operasi dan perawatan dari infrastruktur tersebut. BOT biasanya digunakan pada kemitraan pemerintah swasta. Karena BOT bersifat jangka panjang, biaya biasanya rutin dinaikkan selama periode konsesi. Tingkat kenaikan biaya biasanya didasarkan pada kombinasi variabel internal dan eksternal, sehingga memungkinkan pendukung proyek untuk mencapai IRR yang cukup bagi investasinya. Negara yang kerap menerapkan BOT antara lain Pakistan,[1] Thailand, Turki, Taiwan, Bahrain, Arab Saudi,[2] Israel, India, Iran, Kroasia, Jepang, Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Filipina, Mesir, Myanmar, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat (California, Florida, Indiana, Texas, dan Virginia). Sementara di sejumlah negara lain, seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Nepal,[3] sebutan yang digunakan untuk metode ini adalah build–own–operate–transfer (BOOT). BOT pertama adalah untuk China Hotel, yang dibangun pada tahun 1979 oleh Hopewell Holdings Ltd asal Hong Kong, yang dikendalikan oleh Sir Gordon Wu. Bingkai kerjaBOT banyak digunakan pada proyek infrastruktur dan pada kemitraan pemerintah swasta. Pada bingkai kerja BOT, sebuah pihak ketiga, contohnya pemerintah, mendelegasikan sebuah entitas swasta untuk merancang dan membangun suatu infrastruktur, lalu mengoperasikan dan merawat infrastruktur tersebut selama jangka waktu tertentu. Selama periode tersebut, entitas swasta bertanggung jawab untuk mengumpulkan pendanaan untuk infrastruktur tersebut dan berhak mengumpulkan semua pendapatan yang dihasilkan dari infrastruktur tersebut serta menjadi pemilik dari infrastruktur tersebut. Infrastruktur tersebut lalu akan diserahkan ke pemerintah pada akhir konsesi,[4] tanpa remunerasi apapun kepada entitas swasta. Sejumlah atau bahkan semua pihak berikut dapat terlibat dalam proyek BOT:
Proyek BOT biasanya digunakan untuk mengembangkan satu infrastruktur, bukannya jaringan infrastruktur, dan biasanya benar-benar baru (atau terkadang juga perbaikan). Dalam sebuah proyek BOT, konsesioner biasanya memperoleh pendapatan dari biaya yang ditagihkan kepada pemerintah / utilitas, bukannya dari biaya yang ditagihkan ke konsumen. Sejumlah proyek disebut konsesi, seperti proyek jalan tol, yang benar-benar baru dan memiliki sejumlah kemiripan dengan BOT.[4] Secara umum, sebuah proyek dinyatakan layak secara finansial bagi swasta apabila pendapatan yang dihasilkan oleh proyek tersebut dapat menutupi biaya dan menyediakan return on investment yang cukup. Di sisi lain, bagi pemerintah, kelayakan suatu proyek tergantung pada efisiensi yang dihasilkan oleh suatu proyek jika dibandingkan dengan keekonomian pembiayaan proyek tersebut dengan anggaran pemerintah. Bahkan jika pemerintah dapat meminjam uang dengan syarat yang lebih baik daripada swasta, faktor lain dapat mengurangi keunggulan tersebut. Contohnya, keahlian dan efisiensi dari swasta serta transfer risiko. Sehingga, swasta menanggung lebih banyak resiko daripada pemerintah. Berikut ini sejumlah risiko yang paling umum bagi proyek BOT:
Teori ekonomiDalam teori kontrak, sejumlah penulis telah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari pemaketan pembangunan dan pengoperasian infrastruktur. Secara khusus, Oliver Hart (2003) telah menggunakan pendekatan kontrak tidak lengkap untuk menginvestigasi seberapa besar insentif dari penggabungan sejumlah tahapan proyek ke dalam satu kontrak.[8] Hart (2003) menemukan bahwa insentif pemaketan kontrak lebih besar daripada kontrak terpisah. Namun, terkadang insentif pemaketan dapat terlalu berlebihan, karena pemaketan dapat mengarah pada penurunan kualitas yang parah, sehingga tergantung pada rincian dari proyek, apakah lebih optimal jika dipaketkan atau tidak dipaketkan. Karya Hart (2003) pun telah dikembangkan ke sejumlah arah.[9][10] Contohnya, Bennett dan Iossa (2006) dan Martimort dan Pouyet (2008) menginvestigasi interaksi antara hak kepemilikan dan pemaketan,[11][12] sementara Hoppe dan Schmitz (2013, 2021) mengeksplorasi dampak pemaketan terhadap penciptaan inovasi.[13][14] Referensi
|