PT Bank CIMB Niaga Tbk adalah bank swasta anak usaha CIMB yang berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2020, perusahaan ini memiliki 374 kantor cabang, 33 kantor kas bergerak, 44 titik pembayaran, dan 4.316 ATM yang tersebar di seluruh Indonesia.[3][4]
Sejarah
Logo Bank Niaga dan LippoBank sebelum penggabungan secara resmi membentuk Bank CIMB Niaga pada tanggal 1 November 2008.
Bank Niaga (1955-2008)
Perusahaan ini didirikan oleh Soedarpo Sastrosatomo, J. Panglaykim, Roestam Moenaf, dan Ali Algadri pada tanggal 26 September 1955 dengan nama PT Bank Niaga.[5] Pada tanggal 11 November 1955, bank ini mendapat izin dari Kementerian Keuangan untuk beroperasi sebagai sebuah bank umum. Pada tahun 1973, Bank Agung digabung ke dalam bank ini. Pada tanggal 22 November 1974, Bank Indonesia menetapkan bank ini sebagai sebuah bank devisa. Pada tahun 1978, Bank Tabungan Bandung digabung ke dalam bank ini, dan pada tahun 1983, Bank Amerta juga digabung ke dalam bank ini.[3][4]
Pada tahun 1987, bank ini menjadi bank asal Indonesia pertama yang menyediakan ATM. Pada tanggal 29 November 1989, bank ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia.[3][4] Dengan kemunculan Pakto 88, Bank Niaga kemudian membentangkan sayapnya di industri keuangan dengan mendirikan sejumlah perusahaan seperti Asuransi Niaga Cigna Life, Niaga Aset Manajemen, Niaga Leasing Corporation, Niaga International Factors, Saseka Gelora Finance, Niaga Securities, dan Bank Sumitomo Niaga.[6]
Selama bertahun-tahun, kepemilikan Bank Niaga dikuasai oleh Soedarpo dan pengusaha lain asal Maluku, Julius Tahija (sejak 1972). Di bawah kendali keduanya bank ini berkembang dengan baik sebagai salah satu bank swasta nasional terbesar.[7][8] Meskipun dikenal sebagai bank yang inovatif, Bank Niaga juga dikenal sebagai bank yang konservatif dan non-ekspansif.[9] Namun, secara mengejutkan, Tahija di bulan Juli 1997[10] menjual seluruh kepemilikannya kepada Hashim Djojohadikusumo dengan harga premium, Rp 8.000/lembar untuk 40% saham.[11] Soedarpo sebenarnya tidak setuju dengan penjualan itu,[12] namun dirinya terpaksa merelakannya karena bukan pemegang saham mayoritas. Ia bersama Tahija, Idham dan Robby Djohan kemudian angkat kaki dari bank yang dirintisnya tersebut.[13]
Kekhawatiran Soedarpo seakan-akan terbukti kemudian, ketika setahun kemudian bisnis Hashim "oleng" diterjang krisis finansial Asia 1997. Over-ekspansi dari putra begawan ekonomi tersebut, yang menjadi bumerang, ikut membuat Bank Niaga seret.[14] Pada saat yang sama, pemegang utama (20%) saham Bank Niaga lainnya, RHB Bank (Malaysia),[15] juga sedang dalam keadaan sulit sehingga tidak mampu membantu Bank Niaga memenuhi kecukupan modalnya.[16]
Gagalnya kedua pihak menyuntikkan modal baru membuat pada 2 Juli 1999 Bank Niaga dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai Bank Take Over (BTO).[17] Sama seperti bank-bank dibawah BPPN lainnya, Bank Niaga kemudian direkapitalisasi untuk memperbaiki kondisinya. Pasca-penyehatan, saham Bank Niaga milik pemerintah (71%) kemudian ditawarkan ke investor strategis (divestasi). Mulanya ada 4 peminat saham tersebut: konsorsium pimpinan Bank Victoria International, ANZ (Australia), Commerce Asset-Holdings Berhad (kini CIMB Group, Malaysia), dan Batavia Investment Fund.[18] Meskipun sempat menuai kontroversi,[19] pada 22 November 2002, Commerce Asset-Holdings resmi ditetapkan sebagai pemenang tender divestasi dengan harga Rp 1,06 triliun. Pada saat itu Commerce Asset-Holdings hanya mendapat 51% saham, sementara 20% saham sisa milik pemerintah dilepas melalui market placement di tahun 2003.[20][17]
Pada tanggal 16 September 2004, bank ini membentuk Unit Usaha Syariah untuk dapat menyediakan layanan perbankan dengan prinsip syariah.[3][4] Di bawah Commerce Asset-Holdings, Bank Niaga berusaha difokuskan tetap pada bisnis korporasi, dan bisnisnya berusaha disinergikan dengan usaha perbankan Commerce Asset-Holdings di Malaysia.[21]
LippoBank (1948-2008)
Kantor LippoBank di Jl. Ahmad Yani Makassar, 2008 (kini menjadi CIMB Niaga Syariah)
Plaza CIMB Niaga, awalnya bernama Plaza Lippo, berlokasi di Jl. Sudirman Kav. 25, Jakarta dan berdiri tahun 1991-2015.
Bank ini memulai sejarahnya pada tanggal 11 Maret 1948 sebagai salah satu bank swasta pertama di Indonesia dengan nama "NV Bank Perniagaan Indonesia" (BPI). Pada tahun 1977, NV Central Commercial Bank digabung ke dalam bank ini. Pada bulan Maret 1989, bank ini mengubah namanya menjadi "PT Bank Lippo" (dengan nama dagang Lippobank/Bank Lippo). Pada tahun yang sama, PT Bank Umum Asia (berdiri di tahun 1957) digabung ke dalam bank ini. Pada tahun 1989, bank ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia, dengan kode emiten LPBN. Perusahaan ini kemudian melakukan ekspansi besar-besaran, sehingga pada Desember 2003, bank ini telah eksis di 120 kota di seluruh Indonesia. Bank ini pun fokus memberikan pinjaman pada sektor komersial retail, perusahaan distribusi dan perdagangan kecil dan menengah.[22]
Pada saat didirikan, BPI mulanya dimiliki oleh sejumlah pengusaha pribumi seperti Hasjim Ning, Koesmoeljono dan Agus Musin Dasaad dan berbasis di Yogyakarta. Pendiriannya dimaksudkan untuk membantu keuangan kaum republiken yang saat itu sedang memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda, dengan mengurangi ketergantungan dengan bank asing.[23] Pada tahun 1960-an Ning tampil menjadi pemegang saham utamanya. Namun, kinerja BPI tidaklah spesial, dengan hanya tercatat sebagai bank papan bawah. Di awal 1981 bank ini mencatatkan aset Rp 16,3 miliar, dan sempat mengalami kesulitan keuangan.[24][25]
Pada tahun 1975, Ning bertemu dengan bankir Bank Central Asia, Mochtar Riady dan menyadari potensinya untuk mengembangkan BPI. Namun, Mochtar menolak dengan halus, karena menganggap dirinya sedang berusaha mengembangkan BCA. Enam tahun kemudian, situasi kedua bank kini berkebalikan, dengan BCA menjadi salah satu bank terbesar, sedangkan BPI masih berkinerja jauh di bawahnya. Pada tahun 1981 itulah Ning kembali menawarkan Mochtar peluang untuk mengembangkan BPI. Sebagai hasil kesepakatan keduanya, Mochtar diberi saham 49% (kemudian dibagi bersama Soedono Salim), sedangkan sisanya masih milik Ning.[26]
Di bawah Mochtar, BPI berkembang dengan pesat, dengan pada 1987 mencatatkan aset Rp 253 miliar. Pada akhir periode itu juga, pemegang saham lain melepaskan sahamnya di bank ini, sehingga saham BPI dimiliki oleh Mochtar secara mayoritas. Setelah merger dengan Bank Umum Asia dan berganti nama menjadi LippoBank, bank ini berkembang lebih jauh lagi, dengan hanya dalam waktu 9 bulan bisa mendapatkan izin bank devisa dan go public.[24] LippoBank kemudian menjadi salah satu bank swasta nasional terbesar di Indonesia dan jaringan bisnisnya terbentang dari Hong Kong hingga Amerika Serikat. Tidak hanya itu, LippoBank juga menjadi tonggak bisnis dari kerajaan usaha keluarga tersebut yang diberi nama Lippo Group, yang utamanya ada di bidang properti dan keuangan. Keberhasilan Mochtar tersebut membuatnya dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing.[27][24][22]
Sayang, keberhasilan bank ini di bawah bendera Lippo dan kendali Mochtar hanya bertahan seumur jagung. Krisis moneter di tahun 1999 membuat Bank Lippo masuk ke dalam program rekapitalisasi pemerintah, demi menaikkan rasio kecukupan modalnya menjadi 4%. Total biaya proses tersebut (yang dilakukan pada 28 Mei 1999)[28] diperkirakan sebesar Rp 6,5-7,7 triliun yang dibayar dengan 60% saham keluarga Riady di bank ini.[29][30] Sebagai ganti manajemen lama (meskipun masih ada dalam jajaran komisaris), pada tahun 1999 hingga 2002 manajemennya dipegang oleh ING Barings. Lepas dari pengelolaan perusahaan keuangan internasional tersebut, justru bank ini diterjang rumor tidak sedap mengenai permainan harga saham, rekayasa jual beli saham, masalah pengembalian dana rekapitalisasi, pelanggaran pemberian kredit, dan manipulasi laporan keuangan. Diduga, aksi permainan harga tersebut dilakukan agar keluarga Riady dapat membeli kembali mayoritas saham LippoBank dari tangan pemerintah dengan harga murah.[31][30][32]
Terlepas dari masalah tersebut, seperti bank-bank lainnya di bawah BPPN, kemudian saham pemerintah di LippoBank dilepas ke investor strategis, yang prosesnya dimulai pada akhir 2003.[33] Mulanya, ada sekitar 50 calon yang berminat,[34] namun akhirnya hanya tersisa tiga konsorsium[35] yang lolos seleksi: Eurocapital Asia, Summit Investment dan SwissAsia Global.[36] Pada 27 Januari 2004 konsorsium SwissAsia terpilih sebagai pemenang 52,05% saham LippoBank dengan total transaksi senilai Rp 1,2 triliun yang dilakukan pada 25 Februari 2004.[28][37][38] Adapun konsorsium ini beranggotakan sejumlah bank asal Eropa, seperti Raiffeisen Zentralbank dan Swissfirst Bank AG.[39]
Namun, kepemilikan oleh konsorsium tersebut hanya berumur pendek. Di bulan Juli 2005, mereka memutuskan untuk menjual saham bank ini kepada peminat lain, yaitu Khazanah Nasional, perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia (juga pemegang saham mayoritas Commerce Asset-Holdings Berhad).[40] Akhirnya, pada 30 September 2005,[28] 52,05% saham LippoBank jatuh ke tangan Khazanah Nasional (lewat Santubong Investments B.V.),[41] yang kemudian naik menjadi 87,52% pasca tender offer di tanggal 20 Desember 2005.[42] Saat itu, LippoBank mencatatkan sekitar 2,8 juta nasabah, 395 kantor cabang dan 690 buah ATM.[43] Pada akhir 2006, pemerintah juga melepas sisa sahamnya di bank ini lewat mekanisme market placement.[44]
Dengan penjualan mayoritas saham LippoBank ke investor asing tersebut, maka berakhirlah riwayat bisnis keluarga Riady di dunia perbankan (sebelum kembali lagi dengan Bank Nationalnobu di tahun 2010). Pada 4 Maret 2005, Mochtar mengundurkan diri dari kursi komisaris utama di bank ini.[25] Lippo kemudian juga melepas banyak aset perbankannya di luar negeri pada periode yang sama. Menurut Mochtar, penjualan tersebut didasari keinginannya untuk meninggalkan penuh bisnis perbankan (yang membesarkan namanya), karena dirasa terus menguras koceknya demi menambah permodalan.[27]
Bank CIMB Niaga (2008-sekarang)
Sebagai pemilik mayoritas saham Bank Niaga (melalui CIMB Group) dan LippoBank, sejak tahun 2007, Khazanah telah berencana untuk menggabungkan kedua bank tersebut, sesuai kebijakan dari Bank Indonesia. Pada bulan Mei 2008, nama Bank Niaga diubah menjadi CIMB Niaga. Pada tanggal 1 November 2008, LippoBank resmi digabung ke dalam CIMB Niaga, diikuti dengan peluncuran logo CIMB Niaga. Pada tahun 2017, Otoritas Jasa Keuangan meningkatkan status bank bank ini menjadi Bank BUKU 4.
Manajemen
Dewan Komisaris
Presiden Komisaris: Didi Syafruddin Yahya 1)
Wakil Presiden Komisaris: Glenn Muhammad Surya Yusuf 2)
Komisaris: Dato' Abdul Rahman Ahmad
Komisaris: Vera Handajani
Komisaris Independen: Sri Widowati
Komisaris Independen: Jeffrey Kairupan
1 & 2) Akan efektif setelah mendapatkan persetujuan OJK
Direksi
Presiden Direktur: Lani Darmawan
Direktur Keuangan & SPAPM: Lee Kai Kwong
Direktur Kredit dan Manajemen Risiko: Henky Sulistyo
Direktur Tresuri dan Pasar Modal: John Simon
Direktur Perbankan Konsumer: Noviady Wahyudi
Direktur Perbankan Bisnis: Rusly Johannes
Direktur Perbankan Syariah: Pandji P. Djajanegara
Direktur Sumber Daya Manusia: Joni Raini
Direktur Kepatuhan, Corporate Affairs dan Hukum: Fransiska Oei
Direktur Operasional & Teknologi Informasi: Tjioe Mei Tjuen 3)
3) Akan efektif setelah mendapatkan persetujuan OJK
Dewan Pengawas Syariah
Ketua: Quraish Shihab
Anggota: Fathurrahman Djamil
Anggota: Yulizar Djamaludin Sanrego
Penghargaan
PT Bank CIMB Niaga Meraih penghargaan dalam kategori The Best GRC For Corporate Governance & Compliance 2022 dalam ajang GRC & Performance Excellence Award 2022.[45]
PT Bank CIMB Niaga Meraih penghargaan subkategori Small and Medium Building, kategori Energy Management in Buildings and Industries. dalam ajang ASEAN Energy Award 2022.[46]
Referensi
^"Dewan Direksi". PT Bank CIMB Niaga Tbk. Diakses tanggal 29 Januari 2022.
^"Dewan Komisaris". PT Bank CIMB Niaga Tbk. Diakses tanggal 29 Januari 2022.