Bank Maybank Indonesia
PT Bank Maybank Indonesia Tbk (sebelumnya bernama Bank Internasional Indonesia, disingkat dengan BII) adalah salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia yang merupakan bagian dari grup Malayan Banking Berhad (Maybank), salah satu grup penyedia layanan keuangan terbesar di ASEAN. SejarahPerkembangan hingga 1999Bank ini awalnya didirikan dengan nama Bank Internasional Indonesia (disingkat BII) pada tanggal 15 Mei 1959[2] oleh sekelompok pengusaha seperti Aridi Penjamin dan Jap Ing Hoat,[3] dan tercatat sempat berganti tiga kali pemilik dan merger di tanggal 31 Maret 1980 dengan PT Bank Tabungan untuk Umum 1859, Surabaya. Terakhir, pada awal 1980-an, BII dikuasai oleh Iskandar Widyadi,[4] seorang pengusaha tekstil (yang juga sempat memiliki Bank Jasa Jakarta). Pada Agustus 1982, BII diambilalih oleh grup Sinar Mas[5] dari tangan Widyadi sebesar 70%[2] dengan modal Rp 13 miliar.[6] Aset bank itu saat diakuisisi hanya sebesar Rp 13 miliar dan modalnya Rp 3 miliar ditambah 2 cabang (kantor pusat di Jakarta dan cabang di Surabaya).[2] Sinar Mas selanjutnya berhasil meningkatkan kinerja bank ini dengan pada 1984 menjadi bank terbesar kedua dari kelompok non-devisa,[7] memiliki 11 cabang (akhir 1980-an), dan modalnya meningkat menjadi Rp 38,5 miliar.[2][8] Sejak 10 November 1988, BII telah menyandang status sebagai bank devisa.[9] Setelah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto), pertumbuhan BII jauh lebih mengesankan dengan tercatat sebagai bank swasta terbesar ketiga, meningkatkan cabangnya menjadi 25 buah[2] dan di tanggal 27 September 1989, modal dasar BII ditingkatkan dari Rp 60 miliar menjadi Rp 300 miliar.[10] Keluarga Widjaja sebagai pemilik bank ini juga memprofesionalisasi operasionalnya dari bank keluarga menjadi bank modern.[11] BII memiliki lebih dari 100 cabang pada awal 1990-an, dan memfokuskan bisnisnya pada sektor korporat, ditambah sektor yang belum tersentuh bank-bank lain saat itu, seperti pembiayaan kendaraan dan kartu kredit.[8] Meskipun demikian, BII kemudian mulai agresif menyentuh sektor konsumer dengan aneka promosi bernilai ratusan juta rupiah.[11] Pada 21 November 1989, BII mencatatkan sahamnya (12 juta lembar, atau 9,6%) sebagai perusahaan terbuka di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya (sekarang telah merger menjadi Bursa Efek Indonesia) dengan harga penawaran Rp 11.000/lembar.[12][13] BII kemudian juga mendirikan bank asing patungan dengan nama PT Fuji Bank International Indonesia (kini Bank Mizuho Indonesia), PT Bank Credit Lyonnais Indonesia (kini bernama Bank Capital Indonesia) dan PT Bank BII Commonwealth (kini Bank Commonwealth) serta mendirikan beberapa kantor di luar negeri, seperti di Singapura dan Kepulauan Cayman.[8] BII juga mendirikan anak usaha BII Finance Center dan akuisisi perusahaan di Hong Kong bernama Alied Asia Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi BII Finance Co. Ltd.),[14] dan sebuah bank di Tiongkok bernama Bank International Ningbo.[15] Asetnya kemudian naik menjadi mendekati Rp 10 triliun di periode 1990-an.[6] BII berkembang sebagai bank swasta papan atas (urutan ketiga dan yang paling menguntungkan di tahun 1995),[16] dengan 165 cabang[15] dan menjadi salah satu pilar bisnis utama dan paling menguntungkan dari Sinar Mas Group.[10] Tercatat, dengan kinerjanya yang cukup bagus, BII sempat meraih penghargaan dari sejumlah publikasi dan lembaga internasional.[17] BII kemudian sejak 1998 juga mengembangkan internet banking terawal di Indonesia.[18] Sebelum 1998, 51% saham BII dikuasai oleh lengan usaha Sinar Mas Group di bidang keuangan, PT Sinar Mas Multiartha Tbk,[19] dan sebelumnya, dimiliki sahamnya oleh PT Sinar Mas Tunggal dan PT Supra Veritas yang juga dimiliki grup tersebut.[20] Perkembangan 1999-2006Kepemilikan keluarga Widjaja pada akhir 1990-an harus hilang dengan masuknya BII dalam program rekapitalisasi yang diadakan pada Maret 1999 seiring krisis ekonomi di akhir 1990-an.[21] Rekapitalisasi dilakukan setelah BII terjerat utang US$ 4,6 miliar sejak April 1998,[17] dan rasio kecukupan modalnya turun hingga -15%.[14] Lewat rekapitalisasi berbiaya Rp 6,6 triliun,[22] pada 31 Desember 2000, pemerintah (via Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) memegang 56,78% saham di bank ini.[23] Meskipun demikian, saat itu, manajemen BII masih dikelola oleh orang-orang lama (Sinar Mas),[22] dan grup tersebut masih memegang sekitar 18% saham,[24] yang direncanakan akan ditambah dengan buyback dari pemerintah.[14] Bahkan, dikabarkan awalnya Sinar Mas sudah mengembalikan dana rekapitalisasi BII dari pemerintah sebesar Rp 2 triliun.[25] Belakangan, pemerintah terpaksa menyuntikkan modal kembali di BII kembali lewat mekanisme rights issue senilai Rp 4,8 triliun, yang membuat keluarga Widjaja menyerahkan seluruh sisa sahamnya (efektif sejak 17 April 2002).[26][27] Tindakan ini diambil ketika terkuak di tahun 2001 BII tidak kunjung sehat akibat kredit macet yang disalurkan kepada perusahaan milik Sinar Mas Group sebanyak US$ 1,43 miliar,[28] belum lagi kredit macet raksasa yang diderita perusahaan kertas Asia Pulp & Paper senilai US$ 14 miliar. Rasio kecukupan modalnya pada tahun itu anjlok hingga -47,5%, kredit macetnya menjadi 61,88% dari total kredit,[29][30] ditambah kerugian Rp 4,1 triliun, belum lagi harga sahamnya yang anjlok hingga Rp 20/lembar.[31] Sebagai bayaran dari pengambilalihan itu dan penyelesaian utangnya, keluarga Widjaja kemudian juga menyerahkan sebagian asetnya ke BPPN dengan total US$ 1,2 miliar.[30] Direksi BII pasca pengendalian penuh pemerintah dirombak, dan berada di bawah kendali BPPN sejak 13 Juli 2001 sebagai bank dalam penyehatan.[32] Melalui sejumlah proses, pada tahun 2002 rasio kecukupan modal bank ini sudah menjadi 38%.[26] Untuk menyegarkan citranya setelah sehat, sejak 15 Januari 2003 BII juga sudah memiliki logo baru.[33] BII juga membuka cabang bank syariahnya (UUS) di periode ini.[24] Pada saat bank ini kembali tertimpa masalah di tahun 2001, sempat ada isu rencana BII akan dimerger dengan Bank Mandiri dengan alasan BII cukup potensial (aset Rp 37,4 triliun dan nasabah 2 juta orang).[34] Belakangan, rencana itu batal dan pemerintah berencana untuk mendivestasi 71% sahamnya di BII (dari 93,6%) pada Juli 2003.[35] Melalui tender, muncul peminat seperti Sorak Financial Holdings Pte. Ltd. (konsorsium yang digawangi Kookmin Bank Korea Selatan bersama Temasek Holdings, Barclays dll), UOB Bank dan Panin Bank-ANZ.[36] Kemudian, pada November 2003, BPPN dan pemerintah resmi menetapkan konsorsium Sorak sebagai pemenang divestasi 51% saham BII[37][38] dengan harga Rp 2,1 triliun.[39] Sisa saham pemerintah kemudian dilepas pada tahun 2005 sebesar 15,25% dengan total penjualan Rp 1,35 triliun,[40] dan 5,5% lainnya pada 16 November 2006.[41][42] Meskipun demikian, sempat ada rumor tidak sedap mengenai pelepasan saham ke konsorsium Sorak tersebut, karena pemerintah dianggap merugi dari transaksi itu.[43] Sejak 22 April 2004, BPPN melepaskan pengawasannya atas BII kembali ke tangan Bank Indonesia.[44] Sementara itu, pada tahun 2005, Sinar Mas kembali membeli bank kecil lain bernama Bank Shinta, yang saat ini bernama Bank Sinarmas untuk kembali ke bisnis perbankan.[45] Akuisisi Maybank dan pergantian namaKepemilikan konsorsium tersebut rupanya kemudian saling "diperebutkan" anggotanya. Sempat ada berbagai isu, seperti rencana Temasek menjual sahamnya ke Kookmin,[46] rencana merger BII-Bank Danamon yang keduanya memang dimiliki Temasek,[47][48][49] rencana penjualan ke bank BUMN, dll.[50] Belakangan, setelah sempat terkatung-katung,[51] pada 2008 BII diakuisisi oleh Maybank melalui anak perusahan yang dimiliki sepenuhnya yaitu Maybank Offshore Corporate Services (Labuan) Sdn. Bhd. dan Sorak Financial Holdings Pte. Ltd. yang dibeli dari anak usaha Temasek, Fullerton Financial Holdings Pte. Ltd. Pelepasan ini ditujukan dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah tentang Single Presence Policy di dunia bank.[52][53] Akuisisi oleh Maybank ini selesai dilakukan pada 30 September 2008 dengan total saham 55,51% dan harga US$ 2 miliar.[54] Saham Maybank kemudian naik menjadi 97,52%[55] dengan tender offer di bulan Desember 2008; saham ini kemudian dilepas sebagian di tahun 2013 untuk memenuhi kewajiban saham publik.[56] Tidak lama setelah itu juga, logo BII berubah dengan penambahan logo Maybank di bawahnya. Melalui persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 23 September 2015, Bank Internasional Indonesia (BII) berubah nama menjadi Bank Maybank Indonesia,[57] mengukuhkan Identitasnya sebagai Entitas utuh yang tidak terpisahkan dari Grup Maybank serta senantiasa berusaha untuk menghadirkan Humanising Financial Services kepada semua pemangku kepentingan. Maybank Indonesia merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia yang terkoneksi dengan jaringan regional maupun internasional Grup Maybank. Per 31 Desember 2018 Maybank Indonesia memiliki 385 cabang[58] termasuk kantor cabang syariah dan kantor fungsional mikro yang tersebar di Indonesia serta satu cabang luar negeri (Mumbai, India), 2 mobil kas keliling dan 1.606 ATM[59] termasuk CDM[60] (Cash Deposit Machine) yang terkoneksi dengan lebih dari 20.000 ATM tergabung dalam jaringan ATM Prima, ATM Bersama, ALTO, Cirrus dan terhubung dengan 3.500 ATM Maybank di Singapura, Malaysia dan Brunei melalui jaringan MEPS. Maybank Indonesia menyediakan serangkaian produk dan jasa komprehensif bagi nasabah individu maupun korporasi melalui layanan Community Financial Services (Perbankan Ritel dan Perbankan Non-Ritel) dan Perbankan Global, serta pembiayaan otomotif melalui entitas anak yaitu WOM Finance untuk kendaraan roda dua dan Maybank Finance untuk kendaraan roda empat. Maybank Indonesia juga terus mengembangkan layanan dan kapasitas digital melalui Mobile Banking, Internet Banking, Maybank M2U (mobile banking berbasis internet banking) dan berbagai saluran lainnya. Per 30 Juni 2019, Maybank Indonesia mengelola simpanan nasabah sebesar Rp 125,2 triliun dan memiliki aset senilai Rp 183,6 triliun. ManajemenDewan Komisaris
Dewan Direksi
Dewan Pengawas Syariah
IdentitasLogo
SloganSebagai BII
Sebagai Bank Maybank Indonesia
Unit Usaha SyariahAdalah Unit Usaha Syariah dari PT Bank Maybank Indonesia Tbk, yang menjalankan kegiatan usaha perbankan secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Akses Layanan Syariah dapat diberikan oleh seluruh kantor cabang Maybank Indonesia. Produk yang ditawarkan meliputi:
Referensi
Pranala luar
|