Share to:

 

Bedjo Untung

Kristian Erdianto Bedjo Untung atau disebut juga Bedjo Untung (lahir 14 Maret 1948) adalah pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965. Ia adalah anak dari seorang guru yang lahir di Jawa Tengah. Ia ditangkap dan dipenjara tanpa peradilan selama sembilan tahun karena dinilai aktif mengikuti pergerakan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang diduga merupakan underbow dari Partai Komunis Indonesia (PKI).[1]

Kehidupan awal

Pada saat pecah tragedi 1965, dia berumur 17 tahun. Ketika dia ditangkap pada tahun 1970, umurnya mencapai 22 tahun. Dia ditangkap pada tanggal 24 Oktober pukul 10.00 pagi di Jakarta, saat dia masih bekerja sebagai kasir di Sarinah Department Store. Kemudian dia ditahan dan dikirim ke penjara khusus Salemba, kemudian dipindahkan ke dalam kamp kerja paksa yang terletak di Tangerang. Semua proses penahanan dan pemenjaraan tersebut dijalaninya tanpa proses hukum.

Pada tahun 1965, Bedjo Untung adalah siswa kelas tiga SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Mestinya sebentar lagi dia akan lulus. Namun tidak lama sebelum kelulusan tiba, tragedi 1965 pecah. Banyak keluarganya yang ditangkap aparat. Kawan-kawan sekolah Bejo Untung yang aktif di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) banyak yang melaporkan diri kepada yang berwajib, namun mereka kemudian diinterogasi. Banyak di antara mereka yang ditendang dan disiksa pada saat interogasi. Karena Bedjo Untung tidak merasa bersalah, lagipula melihat temannya mendapatkan perlakuan kekerasan dan siksaan, Bedjo memutuskan untuk tidak datang dan melarikan diri ke Jakarta. Alasan utamanya bukan karena dia anggota PKI namun karena menghindari tindakan kekerasan dan penyiksaan. Setelah melapor mereka ditangkap dan disiksa.[2]

Penahanan

Selama di penjara, Bedjo Untung mendapatkan perlakukan tidak manusiawi. Dia dipenjara tanpa proses pengadilan, seperti korban-korban lainnya. Penyiksaan saat interogasi tahun pertama penahanan sangat berat di hadapan operasi militer Angkatan Darat yang dikenal dengan Kamp Operasi Kalong. Sudah tak terhitung berapa kali, namun siksaan-siksaan diterimanya tanpa dapat melawan. Dia ditelanjangi, disiksa, disetrum, ditendang dan dipukul.

Ruang sempit berukuran 2x2 meter dihuni oleh 6 orang tanpa perlengkapan yang memadai. Di sana hanya ada sebuah sendok saat makan untuk nasi yang basi, tidak ada obat dan dokter. Dia tidak bisa tidur karena kepalaran dan mend- erita kurang gizi. Dalam ruang tahanan itu para tahanan tidak boleh tak boleh ngobrol satu sama lain, suasanannya penuh teror.Setiap malam Bedjo selalu ada yang berteriak karena mendapt siksaan. Dalam ruang tahanan itu tidak ada aktifitas lain kecuali menunggu interogasi berikutnya. Tahanan harus bangun pada jam 5 pagi, kemudian harus berjalan memutar ruangan berukuran 40 m persegi. Kontak antar tahanan satu dengan yang lain dilarang lebih kurang 5 tahun sampai ada tekanan internasional.

Pada tahun berikutnya Bedjo dipindahkan ke penjara Salemba dan terakhir dipindah lagi ke penjara Tangerang. Selama di sana dia dipaksa untuk ikut kerja paksa di sawah yang jarak tempuhnya mencapai 7 km tiap hari mulai jam 5 pagi hingga 6 sore dengan pengawasan yang ketat. Banyak teman-temannya sesama tahanan yang menderita kelaparan, banyak yang mati. Oleh karena itu mereka makan apa saja yang ada termasuk hewan-hewan seperti anjing, kucing, cicak dan sebagainya.

Ayahnya juga mengalami nasib serupa. Ditahan di Nusakambangan dan dipindahkan ke Pulau Buru untuk masa penahanan 14 tahun. Hal serupa juga dialami oleh paman Bedjo yang dihilangkan hingga kini. Bedjo meyakini bahwa pamannya sudah mati dibunuh berikut juga dengan teman-teman, tetangga dan saudara yang ia kenal.

Dampak psikologis juga harus dirasakan oleh ibu dan kedua adiknya yang tidak pernah lepas dari rasa takut. Ibunya harus meninggalkan kedua adik Bedjo kepada sanak saudaranya karena takut mereka juga akan ditangkap dengan tuduhan yang sama.[2]

Pandangan

Ia berpendapat bahwa tidak ada komunis ataupun PKI gaya baru.[3] Selain itu, ia meminta agar istilah PKI dihapus dari G30S. Ia juga menampik tudingan bahwa anggota PKI adalah Ateis alias tak meyakini Tuhan. Bedjo mengaku bapaknya adalah seorang haji. Ia juga menjadi muazin selama menjalani tahanan di kamp interogasi Kalong dan Salemba.[4]

Ia juga menyangkali bahwa PKI tidak pernah memberontak seperti yang diklaim dalam Pemberontakan Komunis di Sumatera 1927, Peristiwa Madiun 1948, dan peristiwa tahun 1965.[5] Ketika Panglima TNI Jendral Andika Perkasa mengizinkan keturunan mantan anggota PKI mendaftar TNI, ia menyatakan bahwa hal tersebut membuat lega korban kekerasan 1965 dan keluarga para pihak yang dicap PKI selama ini.[6]

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya