Bhara NuriBhara Nuri adalah seorang pahlawan dari Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang dengan tegas menyatakan sikap melawan terhadap Belanda pada masa penjajahan. Nama aslinya adalah Bhara Nuzzi. Bhara artinya putih dan Nuzzi (nuri) artinya bintik-bintik merah pada kulit. Bhara Nuri dilahirkan di Ende sekitar tahun 1835. Ayahnya bernama Nuri atau lebih dikenal dengan Bakka dan ibunya bernama Noo Ndewi. Bhara Nuri adalah seorang Ata Nggae (mosa laki) atau tokoh adat yang berkuasa di daerah Manunggoo, sebelah utara Kabupaten Ende. Bhara Nuri termasuk keluarga kaya di Ende, karena keluarganya memiliki 9 buah Rajo (Kapal Kayu), sehingga masyarakat Ende sangat menghormati beliau. Menurut adat atau kebiasaan masyarakat Ende, untuk orang yang dihormati tidak pernah dipanggil nama aslinya. Nama kehormatan Bhara Nuri adalah Toni. Orang Belanda menyebut dan menulis namanya "Bara Noeri". Bhara Nuri berasal dari Woro (Woozo) Angi-angi, artinya bukit angin-angin. Woozo Angi-angi merupakan sebuah bukit di puncak Gunung Tombe Rabu. Bhara Nuri juga berasal dari Zia (Ria) keppi yaitu sebuah gua alam yang berada di daerah Tombe Rabu[1] Bhara Nuri termasuk salah satu raja kecil dari pedalaman yang memerangi Pasukan Belanda sekaligus memerangi Raja Ende. Alasan raja-raja kecil dari pedalaman memerangi Raja Ende adalah penyerahan Kerajaan Ende kepada Belanda oleh tujuh penguasa Kerajaan Ende. Mereka menyatakan bahwa rela menjadi rakyat Belanda dengan menyampaikan pernyataannya kepada Residen Kupang Gronovius pada bulan Mei 1839. Raja-raja dari pedalaman Ende tidak ingin tunduk dan patuh kepada Belanda, termasuk Bhara Nuri. Pada tahun 1887, Bhara Nuri bertikai dengan Raja Ende karena beliau tidak sepakat dengan sikap Raja Ende yang membiarkan pajak dipungut oleh Belanda. Bhara Nuri menginginkan bahwa Raja Endelah yang harus memungut pajak. Oleh karena cara berpikir Bhara Nuri yang anti akan penjajah akhirnya Belanda mulai merasa resah. Belanda melakukan politik Devide et Impera di antara atau Nggae atau pembesar-pembesar di Ende Lio. Hal inilah yang makin menguatkan pertikaian Bhara Nuri dan para Ata Nggae.[1] Referensi
|