Bhuana Jaya, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara
Desa Bhuana Jaya, masih sering disebut sebagai Separi III hingga kini, merupakan desa eks-transmigrasi. Desa Bhuana Jaya awalnya, merupakan lokasi transmigrasi yang dibuka tahun 1981 dan pada saat itu masih berupa hutan. Transmigrasi merupakan gagasan atau program pemerintah untuk melakukan pemerataan penduduk pada masa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah untuk pemerataan dan penyebaran penduduk dari wilayah yang padat ke wilayah yang masih kurang penduduk dan Tenggarong Seberang menjadi salah satu daerah transmigrasi untuk membuka lahan baru karena masih minimnya penduduk. Karena itu, mayoritas penduduk yang menempati Desa Bhuana Jaya berlatar belakang sosial budaya dari beragam etnis atau suku seperti etnis Jawa (70%); Sunda (20%); warga lokal seperti Dayak, Kutai dan Banjar(9%); dan lain-lain seperti etnis Bugis (1%). Kepala Desa Pertama Almarhum. Bonasim Eko Suparno Berdasarkan SK Gubernur (Eri Suparjan) tahun 1981, luas keseluruhan Desa Bhuana Jaya yaitu 4957 Hektare yang berbatasan langsung dengan: Desa Mulawarman dan Sukamaju di sebelah utara, Desa Bukit Pariaman di sebelah timur dan selatan, dan Desa Separi di sebelah barat dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah petani sawah. Desa Bhuana Jaya memiliki tiga dusun yaitu Pulau Mas (berasal dari tempat pacuan kuda yang pada saat itu diusulkan oleh Bapak Taqim, warga Sunda yang pernah berkunjung ke Jakarta), Binamulya (karena merupakan daerah baru, maka diusulkan nama tersebut yang bermakna “dibina agar mulia”) dan Sidomakmur (bermakna “agar makmur”). Setelah dilakukan pemekaran, akhirnya terbentuk Dusun Mekarsari pada tahun 1991 yang merupakan pecahan dari Dusun Binamulya. Untuk pemilihan nama setiap dusun dilakukan oleh masing-masing kelompok warga yang menempati dusun-dusun tersebut yang kemudian diberikan wewenang untuk memilih nama dusun yang dirasa cocok dan tepat. Tidak diketahui secara pasti makna dari setiap pemberian nama yang telah dipilih tersebut. Intinya, tujuan dari masing-masing nama tersebut merupakan doa dan harapan yang baik bagi masing-masing dusun. Hingga saat ini, Desa Bhuana Jaya memiliki 4 dusun dan 23 RT. Nama Bhuana Jaya sendiri merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dari masyarakat yang pertama kali menempati desa pada tahun 1981. Pemerintah memberikan kewenangan pada masyarakat untuk menentukan nama yang di rasa cocok untuk desa. Dari situ, maka dilakukanlah pertemuan untuk menentukan nama desa oleh perkumpulan warga transmigrasi (Jabar, Jatim dan Jateng) dan beberapa warga lokal (etnis Dayak dan Kutai) yang berlokasi di balai desa lama pada saat itu melalui musyawarah hingga disepakati nama Bhuana Jaya sampai saat ini. Berdasarkan tetua-tetua dari generasi pertama yang menempati desa, tidak diketahui secara pasti arti dari Bhuana Jaya itu sendiri. Kebanyakan dari mereka mengartikannya secara leksikal atau berdasarkan kata demi kata sehingga apabila disimpulkan maknanya dibagi menjadi dua. Secara harfiah, Bhuana yang berarti “hutan” dan Jaya yang berarti “makmur”. Secara etimologis, Bhuana jaya berarti bumi atau dunia tempat pemukiman yang aman dan jaya dalam segala hal aktivitas masyarakatnya maupun pemerintahannya. Selanjutnya, dibukanya pendaftaran bagi warga yang berminat untuk berpartisipasi dalam pemerataan penduduk dan mencari peruntungan di daerah yang baru di bidang pertanian. Warga luar daerah yang berminat dan ingin bertransmigrasi kemudian mendaftarkan diri dan di data didaerah asalnya masing-masing untuk selanjutnya menunggu hingga waktu keberangkatan ke daerah yang telah ditentukan. Sebelumnya, warga yang berminat transmigrasi khususnya Kalimantan Timur hanya diberitahu nama daerah yang akan menjadi lokasi yang akan mereka tempati nantinya tanpa penjelasan lebih mengenai lokasi tersebut. Selanjutnya, melalui Departemen Transmigrasi, maka dibukalah transmigrasi umum tersebut yang mendatangkan masyarakat dari luar daerah dan beberapa masyarakat lokal untuk kemudian menempati UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) yang dikepalai oleh KUPT (Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi). Kala itu, Departemen Transmigrasi berkontribusi dalam penyiapan lahan dan pembuatan rumah trans. Sementara KUPT bertugas menjadi koordinator yang menjembatani desa transmigrasi selama menjadi desa persiapan atau percobaan hingga menjadi desa definitif. Pembentukan desa definitif ditentukan oleh pemerintah provinsi Kaltim dimana serah-terima dilakukan oleh Departemen Transmigrasi kepada pemerintah daerah. Sebelum serah-terima tersebut, laporan pertanggungjawaban masih dilaporkan ke KUPT untuk kemudian diteruskan ke Departemen Transmigrasi. Setelah menjadi definitif, bertanggung jawab pada camat. Rombongan yang bertransmigrasi dari pulau Jawa tepatnya Jawa Barat ke Kalimantan Timur diantar menggunakan pesawat tempur Hercules yang disediakan oleh pemerintah pada orde baru. Sedangkan untuk barang-barang yang dibawa oleh warga transmigran diangkut menggunakan kapal laut. Perjalanan pada saat itu memakan waktu lumayan lama karena warga transmigran harus beberapa kali transit dan menginap terlebih dahulu di penampungan yang berupa asrama transmigrasi sebelum akhirnya tiba dilokasi tujuan. Perjalanan darat dilanjutkan menggunakan kendaraan sejenis bus atau mobil truk menuju kota Samarinda dimana kondisi jalan darat pada saat itu belum beraspal seperti sekarang dan masih berupa jalan tanah biasa. Sehingga, apabila turun hujan maka jalan akan sulit dilalui. Setibanya di lokasi tujuan, warga dibagikan nomor rumah dengan sistem acak atau undian untuk kemudian warga mencari sendiri rumah masing-masing (yang telah ditulisi nomor menggunakan kapur) yang sesuai dengan nomor yang telah diberikan. Rombongan yang pertama kali datang berasal dari Jawa Barat pada tanggal 24 April 1981 dengan jumlah 93 kepala keluarga. Kemudian, rombongan ke dua tiba sebulan kemudian pada tanggal 24 Mei 1981 dari Jawa Timur dengan jumlah 25 kepala keluarga. Dua hari kemudian atau lebih tepatnya pada tanggal 26 Mei 1981 kembali tiba rombongan ke tiga dari daerah yang sama seperti rombongan ke dua yaitu Jawa Timur dengan jumlah 28 kepala keluarga. Akan tetapi, pada awalnya 28 kepala keluarga tersebut akan ditempatkan seluruhnya di Kelurahan Separi I tetapi dikarenakan perumahan yang tidak memadai yang hanya dapat menampung 11 kepala keluarga maka 17 kepala keluarga lainnya dipindahkan ke Separi III yang sekarang menjadi Desa Bhuana Jaya. Sedangkan, rombongan yang tiba di bulan Juni setelah rombongan ketiga dan seterusnya lebih banyak menyebar ke daerah arah barat di sekitar Bhuana Jaya. Rumah transmigrasi yang ditempati pada saat ituberupa rumah papan panggung rendah berukuran 5×7 M beratapkan seng yang terdiri dari satu ruang tamu, satu kamar dan satu dapur. Saat ini, rumah transmigrasi sudah jarang ditemui karena sudah lapuk dan termakan usia dan di tambah lagi mayoritas warga telah merenovasi rumah mereka. Setelah lima tahun sejak kedatangan, setiap kepala keluarga dibagikan tanah seluas 2 Hektare ( Lahan Perumahan 0,25 Ha, Lahan Usaha pertama 0,75 Ha dan Lahan Usaha Kedua 1 Ha ) dengan anggaran 5 juta saat itu dan dibimbing selama 5 tahun yang kemudian diberikan sertifikat tanah yang masih bersifat hak pakai dan belum hak milik. Setelah lima tahun berlalu, sertifikat tanah yang dibagikan tersebut di tarik kembali oleh Badan Pertanahan untuk dipastikan apakah ada perubahan nama dikarenakan ada beberapa warga transmigran yang telah mendapat jatah tanah yang kemudian memutuskan untuk kembali ke daerah asal mereka karena tidak betah. Tak dapat dipungkiri, kehidupan awal masyarakat transmigran di desa Bhuana Jaya tergolong memprihatinkan dikarenakan daerah yang tergolong masih hutan. Sehingga, diperlukan pendataan ulang yang berkaitan dengan sertifikat tanah tersebut. Di sisi lain, Desa Bhuana Jaya menjadi desa persiapan yang dipimpin sekaligus dibimbing oleh KUPT selama sekitar 9-10 tahun atau hingga tahun 1989-1990. Setelah diyakini mampu menjadi desa mandiri, barulah kemudian dilepas oleh Departemen Transmigrasi dan menjadi definitif dimana masih termasuk dalam kecamatan Tenggarong dikarenakan pada saat itu kecamatan Tenggarong Seberang belum terbentuk. Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia tahun 1996 pasal 1 barulah terbentuk Kecamatan Tenggarong Seberang yang mana termasuk didalamnya Desa Bhuana Jaya. Di tahun-tahun awal yang sulit, warga yang ditransmigrasikan ke Tenggarong tidak semua membawa atau dibekali bibit-bibit tanaman sehingga warga harus membeli bahan pangan dari Desa Bukit Pariaman atau L4 ( sekarang Kertabuana ). Bahkan, beberapa warga tidak betah memilih untuk meninggalkan desa dikarenakan jatah pemberian pemerintah sudah habis dan sulitnya mendirikan sebuah usaha karena akses yang kurang memadai dan pembangunan yang masih sangat minim. Beberapa dari mereka memutuskan untuk menjual rumah beserta isinya dimana diharapkan dari hasil penjualan tersebut mereka dapat kembali ke daerah asal mereka. Walaupun, ada beberapa warga yang memutuskan untuk kembali lagi tinggal di desa. Dengan jarak tempuh sekitar 45 km dari pusat pemerintahan ( Samarida … waktu tempuh saat itu rata rata 12 Jam lebih , bahkan harus nginap di Samarinda esuk harinya baru pulang ke Bhuana Jaya akibat insfrastuktur jalan masih berupa jalan tanah ) dan 20 km dari kota kecamatan sangat berpengaruh terhadap proses pengembangan ekonomi, sosial dan budaya. Kehidupan di desa Bhuana Jaya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam hal kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi setelah memasuki tahun 2000-an. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh masuknya perusahaan tambang yang membeli tanah warga desa.
Kembali, oleh bapak Siswo Sutardi dari KUPT dari Departemen Transmigrasi sempat melestarikan cerita sejarah desa dalam bentuk lagu dan pantun yang biasa disebut gending untuk menceritakan desa dengan uraian-uraian didalam lagu tersebut. Hanya saja, baik lagu maupun pantun tersebut tidak dilestarikan. Tidak adanya generasi yang melestarikan lagu-lagu dan pantun tersebut menyebabkan hilangnya salah satu sumber sejarah desa yang penting. Untuk dapat mengumpulkan informasi mengenai sejarah Desa Bhuana Jaya mengandalkan tetua-tetua atau masyarakat generasi pertama yang masih hidup. Pohon Beringin yang masih ada di simpang empat yang diyakini sebagai titik tengah desa Di sisi lain, tentu saja masih belum terbentuk susunan pemeritahan seperti dusun ataupun rukun tetangga seperti saat ini. Warga masih dalam bentuk kelompok-kelompok. Setiap kelompok membawahi masing-masing sekitar sepuluh kepala keluarga. Hal tersebut mempermudah apabila ada pembagian jaminan hidup berupa sembako dan lain sebagainya kepada masing-masing KK. Di lain sisi, kepala desa persiapan dilakukan pada tahun 1985 melalui musyawarah yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan para warga. Dari pemilihan kepala desa tersebut, diikuti pula dengan berkembangnya penataan serta pembangunan desa. Bangunan kantor Desa tempo dulu Menurut data dari sumber website yang dihimpun dan diketahui bahwa Desa Bhuana Jaya sudah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan (Kepala Desa) sebanyak 10 kali, adapun urutannya adalah sebagai berikut:
Narasumber:
Batas wilayahBatas wilayah desa Bhuana Jaya adalah sebagai berikut:
Pranala luar
|