Boris III dari Bulgaria
Boris III (bahasa Bulgaria: Борѝс III; 30 Januari [K.J.: 18 Januari] 1894 – 28 Agustus 1943), awalnya Boris Klemens Robert Maria Pius Ludwig Stanislaus Xaver adalah Tsar Bulgaria dari tahun 1918 hingga ia wafat. Putra sulung Ferdinand I, Boris naik takhta ketika ayahnya menyatakan turun takhta secara sukarela, setelah kekalahan Bulgaria selama Perang Dunia I. Kekalahan tersebut adalah kekalahan besar kedua bagi negara itu hanya dalam kurun waktu lima tahun, setelah sebelumnya kalah dalam Perang Balkan Kedua pada tahun 1913. Di bawah Perjanjian Neuilly, Bulgaria dipaksa untuk menyerahkan wilayah barunya dan membayar kerugian perang yang dialami negara tetangganya, sehingga mengancam stabilitas politik dan ekonomi. Dua kekuatan politik, Uni Agraria dan Partai Komunis, menyerukan penggulingan monarki dan pergantian pemerintahan. Dalam keadaan inilah Boris berhasil menduduki takhta. Kehidupan awalBoris lahir pada 30 Januari 1894 di Sofia dari pasangan Ferdinand I, Pangeran Bulgaria dan istrinya Putri Marie Louise dari Bourbon-Parma. Pada bulan Februari 1896, Ferdinand I membuka jalan bagi rekonsiliasi Bulgaria dan Rusia dengan mengkonversi agama Pangeran Boris yang masih bayi dari Katolik Roma menjadi Kristen Ortodoks Timur, langkah tersebut membuat frustrasi istrinya, memunculkan permusuhan dengan kerabat Katoliknya di Austria (terutama pamannya Franz Joseph I dari Austria) dan mengalami ekskomunikasi dari Gereja Katolik. Untuk mengatasi situasi sulit ini, Ferdinand membaptis semua anak-anaknya yang tersisa sebagai umat Katolik. Nikolai II dari Rusia menjadi ayah baptis bagi Boris dan bertemu dengan bocah lelaki itu selama kunjungan resmi Ferdinand ke Saint Petersburg pada bulan Juli 1898. Boris menerima pendidikan awalnya di lembaga pendidikan yang disebut sebagai Sekolah Menengah Istana, yang diciptakan Ferdinand pada tahun 1908 semata-mata untuk anak-anaknya. Kemudian, Boris lulus dari Sekolah Militer di Sofia, kemudian ia mengambil bagian dalam Perang Balkan. Selama Perang Dunia Pertama, Boris menjadi liaison officer Staf Umum Angkatan Darat Bulgaria di Front Makedonia. Pada tahun 1916, ia dipromosikan menjadi kolonel dan dilantik kembali sebagai liaison officer bagi Grup Angkatan Darat Mackensen dan Angkatan Darat Ketiga Bulgaria untuk operasi melawan Rumania. Boris bekerja keras untuk memuluskan hubungan yang terkadang sulit di antara kedua komandan kesatuan tersebut, yakni Marsekal Lapangan Mackensen dan Letnan Jenderal Stefan Toshev. Karena keberanian dan pribadinya yang teladan, Boris mendapatkan respek dari pasukan dan komandan senior Bulgaria dan Jerman, bahkan dari Erster Generalquartiermeister Angkatan Darat Jerman, Erich Ludendorff, yang lebih suka berurusan secara pribadi dengan Boris dan menggambarkannya sebagai orang yang sangat terlatih, orang yang benar-benar berani dan dewasa di luar usianya.[1] Pada tahun 1918, Boris berpangkat mayor jenderal. Awal memerintahPada September 1918, Bulgaria dikalahkan dalam Serangan Vardar dan dipaksa untuk melakukan perdamaian. Ferdinand kemudian turun takhta dan digantikan Boris yang menjadi Tsar pada 3 Oktober 1918. Satu tahun setelah Boris berkuasa, Aleksandar Stamboliyski (atau Stambolijski) dari Perhimpunan Agraria Rakyat Bulgaria terpilih sebagai perdana menteri. Meskipun populer dengan kalangan kelas petani besar, Stambolijski mendapatkan permusuhan dari kelas menengah dan militer, yang menyebabkan pemerintahannya jatuh melalui kudeta militer pada 9 Juni 1923, dan diikuti oleh pembunuhan terhadap dirinya. Pada 14 April 1925, sebuah kelompok anarkis menyerang iring-iringan Boris saat melewati Celah Arabakonak. Dua hari kemudian, sebuah bom menewaskan 150 anggota elite politik dan militer Bulgaria di Sofia sewaktu mereka menghadiri pemakaman seorang jenderal yang terbunuh (lihat serangan Gereja St Nedelya). Setelah upaya lebih lanjut pada kehidupan Boris pada tahun yang sama, pembalasan militer membunuh beberapa ribu komunis dan agraria, termasuk perwakilan kaum intelektual. Akhirnya, pada bulan Oktober 1925, terdapat perang perbatasan singkat dengan Yunani, yang dikenal sebagai Insiden di Petrich, yang diselesaikan dengan bantuan dari Liga Bangsa-Bangsa. Dalam kudeta pada 19 Mei 1934, organisasi militer Zveno membentuk sebuah kediktatoran dan menghapuskan partai-partai politik di Bulgaria. Kekuasaan Tsar Boris direduksi dan hanya berstatus sebagai tsar boneka sebagai hasil dari kudeta.[2] Tahun berikutnya, ia melakukan kudeta balasan dan mengambil alih kendali negara. Proses politik dikontrol oleh Tsar, akan tetapi bentuk pemerintahan parlementer diperkenalkan kembali, tanpa merestorasi keberadaan partai-partai politik.[3] Dengan munculnya "pemerintahan Raja" pada tahun 1935, Bulgaria memasuki era kemakmuran dan pertumbuhan yang mencengangkan, yang pantas memenuhi syarat sebagai Masa Keemasan Kerajaan Bulgaria Ketiga. Hal itu berlangsung selama hampir lima tahun.[4] Pernikahan dan anakBoris menikahi Giovanna dari Italia, putri Vittorio Emanuele III dari Italia, dalam upacara Katolik di Basilika Santo Fransiskus Asisi di Assisi, Italia, pada 25 Oktober 1930 dan dihadiri oleh Benito Mussolini. Mereka dikaruniai seorang putri, Maria Louisa, lahir pada 13 Januari 1932, dan seorang putra sekaligus pewaris takhta, Simeon, yang lahir pada 16 Juni 1937. Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Boris III of Bulgaria.
|