Sarawak memamerkan keragamaan menonjol dalam hal etnisitas, budaya, dan bahasa. Budaya Sarawak telah dipengaruhi oleh Melayu Brunei dari kawasan pesisir. Pengaruh budaya substansial juga datang dari budaya Tionghoa dan Inggris. Pemburuan kepala adalah salah satu tradisi penting untuk suku Iban, meskipun kebiasaan tersebut tak lagi dilakukan
.[1] Kristen memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari Kelabit an Lun Bawang dan telah mengubah identitas etnis mereka.[2]Suku Penan adalah suku pribumi terakhir yang meninggalkan gaya hidup nomadik mereka di hutan.[3][4] Pernikahan antar-ras adalah hal umum di negara bagian tersebut.[5]
Tempat wisata dan rekreasi
Desa Kebudayaan Sarawak terletak di kaki Gunung Santubong, Kuching. Dikenal sebagai "museum hidup", tempat tersebut menunjukkan berbagai kelompok etnis yang melakukan aktivitas tradisional mereka di rumah tradisional mereka masing-masing. Penampilan-penampilan kebudayaan juga dipersembahkan disana.[6][7]Museum Sarawak menyimpan koleksi artefak seperti tembikar, tekstil, dan ukiran kayu dari berbagai kelompok etnis di Sarawak, dan juga material-material etnografi dari budaya-budaya lokal. Gedung museum tersebut menyajikan arsitektur Prancis-nya.[8] Museum-museum lainnya meliputi Museum Warisan Islam,[9]Museum Petroleum, Museum Sejarah Tionghoa,[10]Museum Kucing Kuching,[11]Museum Tekstil Sarawak,[12] Museum Kesenian,[13]Museum Peringatan Rumah Sakit Lau King Howe,[14] dan Museum Regional Baram.[15] Terdapat juga serangkaian benteng-benteng terkenal di Sarawak yang dibangun pada masa rezim Brooke seperti Benteng Margherita,[16] Benteng Emma,[17]Benteng Sylvia,[18] dan Benteng Alice.[19]
Resor Batang Ai dan rumah-rumah panjang Iban Bawang Assan mengijinkan kunjungan para tamu untuk singgah semalam dan ikut dalam aktivitas sehari-hari Iban tradisional.[20][21] Rumah-rumah panjang lainnya meliputi: rumah-rumah panjang Iban di Kapit,[22] rumah-rumah panjang Bidayuh di Kuching,[23] rumah-rumah panjang Kelabit di Bario,[24] rumah-rumah panjang Lun Bawang di Ba'kelalan,[25] dan rumah-rumah kayu Melanau di Sibu.[26] Alun-Alun utama dan Jalan Tukang Kayu adalah dua jalan terkenal di Chinatown, Kuching.[27] Jalan India di Kuching terkenal karena produk-produk tekstilnya. Sebuah masjid Muslim–India dapat ditemukan di kawasan tersebut.[28][29]
Dewan Kerajinan Sarawak mempopulerkan kerajinan-kerajinan etnis lokal.[30]
Paviliun Sarakraf menyimpan sebuah lokakarya yang mendemonstrasikan garis besar keterampilan membuat kerajinan.[31] Kerajinan-kerajinan tangan yang terkenal di Sarawak meliputi pengerjaan manik-manik Orang Ulu,[32]Pua Kumbu Iban,[33] keset Kesah Bidayuh dan keranjang Tambok, Kain Songket Melayu,[6] hiasan kepala etnis,[34] dan tembikar Tionghoa.[35] Perhimpunann Artis Sarawak didirikan pada 1985 untuk mempromosikan seni rupa dan budaya lokal dalam bentuk lukisan.[36][37] Kebanyakan artis pada masa pasca-perang Sarawak mengambil tema pemandangan dan alam, tarian tradisional, dan aktivitas tradisional sehari-hari sebagai tema menggambar mereka.[38]
Sapeh Orang Ulu (sebuah gitar tanpa lubang) merupakan alat musik tradisional terkenal di Sarawak. Alat musik tersebut dimainkan untuk Ratu Elizabeth II saat kunjungan resminya ke Sarawak pada 1972. Alat musik tersebut mula-mula diperkenalkan ke dunia saat Asian Traditional Performing Arts (ATPA) di Jepang pada 1976.[39] Alat musik tradisional lainnya adalah berbagai jenis gong dan Kulintang (Tawak, Ketupung, dan Engkeromong), idiofon,[40] suling bambu dan zither.[41]
Tradisi lisan telah menjadi bgian dari budaya berbagai penduduk asli di Sarawak dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut digunakan untuk memberikan pelajaram hidup, tradisi, dan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda. Cerita-cerita dikisahkan secara berulang oleh kaum tua kepada kaum muda, seperti penceritaan bagian-bagian pada perayaan-perayaan khusus dan melalui penampilan tradisional.[42][note 1] Beberapa praktik tradisional tersebut adalah tari Ngajat Iban,[43]Renong (repertori vokal Iban),[44]Ensera (pengisahan lisan Iban),[45][note 2] dan pengisahan epik oleh Kayan dan Kenyah.[46][47] Biro Kesusastraan Borneo berdiri dari 1958 sampai 1977; biro tersebut menyimpan dokumentasi budaya-budaya lokal, pengarang-pengarang lokal, dan publikasi-publikasi dalam bahasa Inggris, Tionghoa, Melayu, Iban dan bahasa-bahasa asli lainnya. Biro tersebut digantikan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) pada 1977, yang hanya mengadvokasikan publikasi dalam bahasa Melayu.[45][note 3] Dokumentasi tradisi-tradisi lisan juga dilakukan oleh Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) dan Dewan Adat Istiadat Sarawak.[42][note 4]Sarawak Gazette mula-mula diterbitkan oleh pemerintah Brooke pada 1870. Publikasi tersebut mencatat berbagai berita di Sarawak terkait ekonomi, pertanian, antropologi, dan arkeologi. Gazette masih dipublikasikan sampai sekarang.[48]Hikayat Panglima Nikosa, yang dicetak pada 1876 di Kuching, adalah salah satu publikasi teks terawal di Borneo.[49] Ditulis oleh Ahmad Syawal Abdul Hamid, karya tersebut juga merupakan novel pertama Malaysia.[50] Tradisi-tradisi penduduk asli juga menjadi sumber penulisan untuk para pengarang Tionghoa Sarawak.[51]
Hidangan-hidangan terkenal di negara bagian tersebut meliputi laksa Sarawak,[52] kolo mee,[53] dan ayam pansuh.[54][55] Negara bagian tersebut juga dikenal karena hidangan penutup Kek Lapis Sarawak-nya.[56] Setiap kelompok etnis memiliki hidangannya sendiri dengan gaya-gaya penyiapan, masak, dan menyantap makanan yang berbeda. Namun, teknologi modern telah mengubah cara masak hidangan-hidangan penduduk asli. Contoh makanan-makanan etnis adalah tuak Iban, tebaloi Melanau (kraker sagu) dan umai (ikan mentah yang dicampur dengan perasan limun), dan urum giruq Orang Ulu (puding).[57] Makanan tradisional Sarawak juga telah dipasarkan sebagai produk wisata kuliner.[58] Contoh gerai-gerai waralaba yang berkembang di Sarawak adalah Sugar Bun, Singapore Chicken Rice, dan Bing Coffee.[59] Makanan-makanan internasional lainnya seperti makanan Barat, makanan Indonesia, makanan India, dan makanan Timur Tengah juga dapat ditemukan disana.[60]
Media
Pemerintah Sarawak sangat meyakini pengaruhnya pada media.[45][note 5] Contoh-contoh surat kabar yang berbasis di Sarawak adalah Sin Chew Daily,[61]See Hua Daily News, Borneo Post, dan Utusan Borneo.[62] Pada 1990an, surat-surat kabar besar secara negatif menggambarkan blokade-blokade kayu di Satawak sebagai penghalang pertumbuhan dan pengembangan negara bagian tersebut.[45][note 6]Sarawak Tribune dicekal pada 2006 karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.[63] Harian tersebut berganti nama menjadi New Sarawak Tribune pada 2010.[64] Pada 2010, Clare Rewcastle Brown, saudari ipar mantan perdana menteri Inggris Gordon Brown, membuat situs web Sarawak Report dan sebuah stasiun radio arus pendek yang berbasis di London bernama Radio Free Sarawak untuk menyediakan berita alternatif dan dipandang bebas dari pengaruh pemerintah Sarawak.[65]
Radio Sarawak berdiri dari 1954 sampai 1976. Saluran radio tersebut disiarkan dalam bahasa Melayu, Iban, Tionghoa, dan Inggris.[45][note 7] Beberapa stasiun radio yang berbasis di Sarawak adalah Sarawak FM,[66]cats FM[67] dan TEA FM.[68]
Hari libur dan perayaan
Masyarakat Sarawak merayakan sejumlah hari libur dan perayaan sepanjang tahun.[69] Selain perayaan nasional Hari Merdeka dan Hari Malaysia, negara bagian tersebut juga merayakan Hari Pemerintahan Sendiri Sarawak pada 22 Juli[70][71] dan hari ulang tahun Gubernur Negara Bagian tersebut.[72] Kelompok-kelompok etnis juga merayakan perayaan mereka sendiri. Tradisi open house memperbolehkan kelompok-kelompok etnis lainnya untuk ikut dalam sebuah perayaan.[73][74][75] Sarawak adalah satu-satunya negara bagian di Malaysia yang mendeklarasikan perayaan Gawai Dayak sebagai hari libur.[76] Sarawak juga merupakan satu-satunya negara bagian di Malaysia yang tidak mengangkat perayaan Deepavali sebagai hari libur.[77] Kelompok-kelompok keagamaan bebas melakukan ibadah di kota-kota besar selama perayaan.[78] Sarawak dan Sabah adalah satu-satunya dua negara bagian di Malaysia yang mendeklarasikan Jumat Agung sebagai hari libur.[79] Perayaan Kuching adalah sebuah perayaan selama sebulan yang diadakan setiap Agustus untuk merayakan peniangkatannya menjadi status kota pada 1988.[80] Hari Kota Miri juga diadakan bertepatan dengan Perayaan Mei Miri setiap tahun.[81][82]
Olahraga
Sarawak mengirim tim mereka sendiri untuk ikut dalam British Empire and Commonwealth Games1958 dan 1962,[83] dan Asian Games 1962 sebelum atlet-atletnya mulai mewakili Malaysia setelah 1963.[84][85] Dewan Olahraga Negara Bagian Sarawak yang dibentuk pada 1985 mendirikan standar olahraga-olahraga di Sarawak.[86] Sarawak menjadi tuan rumah SUKMA Games Malaysia pada 1990 dan 2016.[87] Negara bagian tersebut menjadi juara pada SUKMA Games 1990, 1992, dan 1994.[88] Sarawak juga mengirim tim mewakili Malaysia di Southeast Asian Games.[89] Sarawak juga menjadi juara selama 11 tahun berturut-turut di Malaysia Para Games sejak 1994.[90] Negara bagian tersebut juga mengirim atlet-atlet untuk ikut dalam Special Olympics World Games.[91]
^Pandian, 2014. it became the primary means of passing culture, history, and valued traditions. ... in the fact that oral literature is actualised only in performances; (page 95)
^Postill, 2006. ... four were oral narratives ... (page 51)
^Postill, 2006. ;... to encourage local authorship and meet local needs ... (page 51) ... The Bureau ceased to exist in 1977 when it was taken over by the federal body Dewan Bahasa dan Pustaka.(page 55) ... He concludes that DBP cannot publish books in regional languages (pages 59 and 60)
^Pandian, 2014. carried out by the Institute of East Asian Studies at Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS),(page 96) ... Sarawak Customs Council has documented ... (page 97)
^Postill, 2006. ... the government controls virtually all newspapers in Sarawak (page 76)
^Postill, 2006. ... development had been hindered by 'two groups of people, (page 78)
^Postill, 2006. Radio Sarawak was officially inaugurated ... (page 46 and 47)
Referensi
^Metom, Lily (31 January 2013). Emotion Concepts of the Ibans in Sarawak. Patridge Singapore. hlm. 22. ISBN978-1-4828-9731-9. Diakses tanggal 12 January 2016. Nevertheless, all these ancient customs pertaining to headhunting are no longer observed in these modern days.
^Ringgit, Danielle Sendou (26 August 2015). "From dreams into the mainstream". The Borneo Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 December 2015. Diakses tanggal 31 December 2015. Perhaps the first time the sape took the world stage was when two Kenyah Lepo Tau sape players – Iran Lahang and Jalong Tanyit from Long Mengkaba – performed and demonstrated the art of sape-playing in Tokyo, Japan during Asian Traditional Performing Arts (ATPA) week in 1976. Aside from that, the late Tusau Padan performed for Queen Elizabeth during her official visit to Sarawak in 1972, ...
^"Jamming in the rainforest". New Straits Times. 8 July 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-09. Diakses tanggal 31 December 2015. ((Perlu berlangganan (help)). Musicians from the heartland of Borneo travel downriver for the event, bringing their dugout sape guitars, bamboo zithers, treasured ancient brass gong sets and songs from the rainforest. Some play gourd organs with a battery of bamboo pipes, others tootle the flute – and in Borneo that means the jaw's harp, mouth flute, nose flute or a massed bamboo band of 30 or 40 piccolos, trebles, tenors and bassoons, all capable of astonishing sounds.
^ abPandian, A; Ching Ling, L; Ai Lin, T (16 October 2014). "Chapter VII – Developing Literacy and Knowledge, Preservation skills among Remote Rural Children". New Literacies: Reconstructing Language and Education. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 95–97. ISBN978-1-4438-6956-0. Diakses tanggal 1 January 2016.
^MacDonald, M.R. (16 December 2013). "The tradition of storytelling in Malaysia". Traditional Storytelling Today: An International Sourcebook. Routledge. hlm. 208. ISBN978-1-135-91721-0. Diakses tanggal 1 January 2016. The Kayan and the Kenyah, who dwell in the upper region of Sarawak, have a vibrant epic-telling tradition that is elaborate and specialised.
^Wong, Jonathan (8 September 2013). "Monetising Sarawak's cultural food". The Borneo Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 July 2014. Diakses tanggal 3 January 2016. With Sarawak being a tourist destination, this opened up opportunities for small businesses to monetise the cultural aspect of the Dayaks for not only foreigners but locals as well.
^Hunter, M. "Sarawak's "Independence Day"". New Mandala (Australian National University). Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 July 2015. Diakses tanggal 7 January 2016.
^"Lessons from Sarawak". Aliran. 26 July 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 February 2015. Diakses tanggal 8 January 2016. The note that follows is a glimpse of the ethno-religious relations in Sibu town. The scenes in Sibu are common to other urban centres of Sarawak, but unique within the context of the national scene. ... Besides Christianity, other religions like Taoism, Buddhism and Islam also organise their respective processions during their big festivals.