Buyumboyo
Buyumboyo (ejaan Van Ophuijsen: Boejoe Mbojo) adalah nama sebuah desa di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Buyumboyo terletak di pinggiran Poso (kota) di bagian selatan, Desa ini sekarang bernama Desa Bukit Bambu.[1] Buyumboyo sekarang bernama Bukit Bambu. Buyumboyo adalah tempat ditangkapnya Raja Tojo Kolomboy oleh Belanda sewaktu Pesta Padungku.[2] Temuan Albertus Christiaan Kruyt bahwa adanya Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) bukan orang Bare'e, dan setelah dilakukan penelitian melalui penyebaran batu menhir Watu Mpogaa ternyata asalnya berasal dari Legenda desa Pamona yang semua penduduk Toraja yang didapatkan Belanda dari wilayah Poso-Tojo tersebut berasal dari Wotu, Luwu Timur.[3] Dan dengan adanya penilaian terhadap pembawaan seorang Suku Bare'e, yaitu : "Seperi air sungai yang mengalir hingga ke laut", itu artinya adalah kebiasaan dari penduduk suku bare'e yang membuat rumah tempat tinggal mereka dimulai dari sungai-sungai sampai ke pinggir pantai di tepi laut (Teluk Tomini), rumah-rumah tersebut bisa didapati dimulai dari ujung sungai yang terjauh dari mulut pantai sampai yang terdekat dari laut Teluk Tomini, bahkan hingga ke pinggir pantai. Hal tersebut dilakukan oleh penduduk suku bare'e untuk menghindar dari serangan musuh yang sering melalui Teluk Tomini, jadi rumah penduduk suku bare'e dibikin agak jauh dari laut.[4] DemografiPenduduk asli Kelurahan Bukit Bambu atau dulunya disebut Buyumboyo yaitu dari Suku Bare'e To Lage berkehidupan dengan berpenghasilan mayoritas petani cokelat. SejarahPada awal bulan Desember 1904, Engelenberg memerintahkan untuk memulai pembangunan jalan di Tambarana, Poso Pesisir Utara dengan sistem Kerja Paksa Heerendiensten. Para pekerja di sini beristirahat ketika siang hari, sementara Engelenberg memerintahkan mereka untuk terus bekerja, dan permintaan ini ditolak oleh para pekerja dari Suku Bare'e. Engelenberg kemudian memerintahkan aparat pribumi untuk bertindak tegas, akibatnya rakyat menjadi marah dan menyerang aparat pemerintah Hindia Belanda dan pertikaian tidak dapat dihindarkan. Beberapa orang aparat pemerintah terluka, tetapi Engelenberg berhasil menyelamatkan diri.[5] Engelenberg segera meminta kepada komandan pasukan Hindia Belanda di Donggala, Kapten G.W. Mazee, untuk mengirim pasukan ke Tambarana. Korban terus berjatuhan dan yang lainnya lari dan menyerahkan diri kepada Engelenberg serta bersedia melanjutkan untuk mengerjakan jalan sesuai dengan instruksi yang diberikannya.[6] Pada akhirnya, Engelenberg tidak menaati janji yang diberikan bahwa mereka yang menyerah dan telah membayar pajak akan dibebaskan dan dikembalikan pada posisinya. Rakyat Suku Bare'e yang tidak terima dengan perlakuan Hindia Belanda melaporkan ke Kerajaan Tojo dan laporan diterima oleh Raja Tojo Lariu bahwa telah terjadi pemungutan Asele (Asele dari Bahasa Bare'e; artinya pajak) dan Kerja Paksa Heerendiensten kepada rakyat Suku Bare'e di Tambarana. Setelah beberapa lama di Poso, Pemerintah Hindia Belanda bertemu dengan penguasa wilayah Poso yaitu Kerajaan Tojo, dan melakukan provokasi kepada Raja Tojo Lariu, dan juga Papa i Lila (Kolomboy) penerus Lariu, supaya mau bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, tetapi ditolak. Setelah itu pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo atau yang sekarang dinamakan Kelurahan Bukit Bambu, dengan mengangkat Budak dari Kerajaan Tojo yaitu Tadjongga atau biasa dipanggil dengan nama Papa i Melempo dari pihak To Kadombuku.[7] Itulah pemerintah Hindia Belanda yang berhasil mengatasi pihak Kerajaan Tojo, dan berkat kerjasama misionaris Kristen Hindia Belanda yang konon katanya berhasil melepaskan wilayah Poso dari cengkeraman Kedatuan Luwu dengan mengadakan suatu taktik gerakan misionaris Kristen yang disebut Monangu Buaja[8] (krokodilzwemmen). Sehingga menimbulkan pertanyaan siapakah pemilik To Lage poso sebenarnya, Karena tidak mungkin satu wilayah memiliki dua suku dan tidak mungkin juga satu wilayah dimiliki dua kerajaan yang berbeda yaitu Suku Bare'e di pihak Kerajaan Tojo dan Toraja (pamona) kristen di pihak Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Luwu tidak memiliki bukti kepemilikan Tana Poso seperti Arajang[9] Kerajaan Tojo.[10] Sekitar tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo, dan setelah itu terjadi gerakan misionaris besar-besaran di wilayah Tana Poso yang dipimpin oleh Albertus Christiaan Kruyt, Nicolaas Adriani, dan Philip Heinrich Christoph Hofman. Legenda dan Tradisi Bare'eDi Poso tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang sebelumnya hanya 4 wilayah yaitu : ToRato Bongka, ToLalaeyo, ToTora'u, dan ToLage, dipecah menjadi beberapa daerah baru seperti To Puumboto, To Onda'e, To Pebato, To Bancea, dll, dan setiap wilayah baru diangkat seorang pemimpin Landschap (wilayah bentukkan Hindia Belanda) yang berpangkat dalam Bahasa Bare'e: Mokole Bangke, dan dalam hal taktik Politik pecah belah, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Misionaris Kristen dari Belanda. Taktik Politik pecah belah oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut yaitu dengan melakukan beberapa tradisi dari umat Kristen di Tana Poso untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Suku Bare'e yang mempengaruhi suku-suku di luar Suku Bare'e yaitu tradisi mengatakan bahwa "orang Sausu dan Parigi berasal dari daerah aliran sungai Poso setelah terjadi peristiwa Watu Mpogaa. Konon mereka membawa tanaman sinagoeri dari Danau Poso. Ceritanya, semak ini menjadi pohon. Pohon dari Danau Poso ini sekarang digunakan di Parigi sebagai tiang utama rumah kepala lanskap. Namun patut diduga bahwa Orang Parigi aslinya berasal dari Teluk Palu, begitu pula dengan masyarakat Ampibabo yang tinggal di sebelah utara mereka, yang bahkan lebih murni memiliki ciri-ciri kelompok Parigi-Kaili".[11] Begitu halnya dengan wilayah To Kulawi dengan mengatakan bahwa "To Kulawi memiliki Tadulako yang berasal dari Roh Anitu (roh perang)[12] seperti halnya Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo", padahal yang sebenarnya hanya Suku Bare'e lah yang percaya dan memiliki Roh Anitu, dan Roh Anitu[13] berasal dari Bahasa Bare'e, sementara To Kulawi yang memiliki adat istiadat dan budaya Suku Bare'e adalah To Kulawi bentukkan pemerintah Hindia Belanda yang seperti halnya orang-orang parigi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda dari pulau Jawa dan beragama Kristen. Jadi seperti halnya tradisi "Tanaman sinagoeri dari danau poso" yang mempengaruhi orang Parigi supaya percaya bahwa orang parigi berasal dari Danau Poso (Suku Bare'e) bukan dari Teluk Palu yaitu tempatnya Suku Kaili berasal, seperti itulah Misionaris Kristen Belanda mempengaruhi dan mengajak suku-suku di Sulawesi Tengah untuk mengenal agama Kristen, dan konon tradisi dan budaya dari Suku Bare'e ini jangkauan wilayahnya sampai ke wilayah Suku Mongondow di Sulawesi Utara terutama dalam hal Tari Moraego, Tari Mokayori, Baju Kulit Kayu (Inodo, Fuya), dll, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peninggalan dokumen-dokumen di zaman Hindia Belanda. Tradisi dari umat Kristen di Tana Poso mengenai sausu dan parigi dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu mula-mula dengan membawa orang-orang dari pulau Jawa yang telah beragama Kristen ke wilayah Poso-Tojo di Sulawesi, setelah itu memaksakan suatu cerita Legenda atau tradisi dari Suku Bare'e kepada suku selain Suku Bare'e, dan tahap akhir dari Misionaris Belanda di Sulawesi Tengah yaitu membawa orang-orang yang telah beragama Kristen yang telah terpengaruh tadi dari daerah asalnya ke wilayah Wotu, Luwu Timur, dengan mengikuti Legenda Desa Pamona Watu Mpogaa.[14] To LamusaSkema To Lamusa dari Kerajaan Luwu tidak terbukti yaitu dari pernyataan Walter Kaudern yang menyatakan "...adapun kalau ditempati, tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya seperti jurang yang sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal", karena berupa "jurang" sehingga pastilah orang akan beranggapan tanah yang dulunya merupakan hunian pemukiman penduduk setelah itu tempat hunian tersebut menjadi jurang, pastilah orang beranggapan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena faktor bencana alam dan salah satunya adalah Gempa bumi, dan di zaman moderen pernyataan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya garis patahan gempa yang melewati wilayah tempat yang dulu dinamakan Lamusa di TandongKasa (Tando Ngkasa), desa Lamoesa, dan Pantjawoe Enoe.[15] Lihat Pula
Referensi
|