Chinua Achebe
Chinua Achebe atau lengkapnya bernama Albert Chinualumogo Achebe, (16 November 1930 – 21 Maret 2013) adalah novelis terkenal asal Nigeria.[1] Ia dilahirkan di bagian timur Nigeria.[2] Selama hidupnya, Achebe telah menghasilkan lebih dari 20 buku, baik novel, cerita pendek, essai, dan koleksi puisi. Novel pertamanya berjudul Things Fall Apart yang ditulisnya pada tahun 1958 ketika berumur 28 tahun dan Anthills of the Savannah (1987) yang ditulisnya ketika berumur 57 tahun, merupakan hasil karyanya yang paling terkenal.[3] Chinua Achebe juga terkenal dengan tiga karya novelnya (African Trilogy), yakni Things Fall Apart (1958), No Longer at Ease (tahun 1960), dan Arrow of God (tahun 1964), karena isi cerita dan pesan dalam ketiga novelnya tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini.[4] Ketiga novelnya juga menjadi buku Best Sellers di situs Amazon untuk kategori literatur Afrika (Things Fall Apart menempati peringkat kedua, No Longer at Ease peringkat 36, dan Arrow of God peringkat 34).[5] Pada tahun 2004, Chinua Achebe pernah menolak pemberian penghargaan kedua tertinggi pemerintah Nigeria, yakni the Commander of the Federal Republic. Hal yang sama juga dilakukan Chinua Achebe pada tahun 2011, dengan menolak penhargaan the Commander of the Federal Republic untuk kedua kalinya, karena melihat kondisi kemiskinan dan kekerasan masih tetap sama di Nigeria seperti tahun 2004.[6] Riwayat HidupSeusai menamatkan pendidikannya di University of College, Chinua Achebe pernah menjabat sebagai Director of External Broadcasting di Nigerian Broadcasting Company dari tahun 1961 hingga 1966. Pada tahun 1967, Chinua Achebe bersama Christopher Okigbo, mendirikan Citadel Press, yang bertujuan untuk menerbitkan buku-buku anak berciri khas Afrika. Okigbo tewas dalam perang sipil yang terjadi di Nigeria. Dua tahun kemudian, Chinua Achebe bersama Gabriel Okara dan Cyprian Ekwensi berangkat ke Amerika Serikat untuk menggalang kampanye tentang konflik yang terjadi di Nigeria di beberapa universitas.[7] Chinua Achebe menikah pada tahun 1961 dengan Christie Chinwe Okoli yang memberikannya empat anak, bernama Chinelo, Ikechukwu, Chidi, dan Nwando. Chinua Achebe sangat produktif menulis novel ketika berumur 28 tahun hingga 36 tahun dengan melahirkan karya yang bernama African Trilogy. Pada tahun 1970-an, Chinua Achebe bekerja di fakultas di Universitas Massachusetts, Universitas Connecticut dan Universitas Nigeria. Dia juga bekerja sebagai direktur pada dua penerbit Nigeria, yakni Heinemann Educational Books Ltd dan Nwankwo-ifejika Ltd. Beberapa hasil karyanya pada zaman ini adalah buku anak berjudul How the Leopard Got His Claws (1972) dan kumpulan puisi berjudul Beware, Soul Brother (1971) dan essai Morning Yet on Creation Day (1975). Chinua Achebe kemudian mendapat penghargaan pertamanya untuk bukunya yang berjudul Beware, Soul Brother, yakni the Commonwealth Poetry Award.[7] Pada tahun 1980-an, Chinua Achebe kembali merilis novelnya berjudul Anthill of the Savannah, selang 20 tahun dari novel pertamanya, yang dilanjutkan dengan hasil karya lainnya, yakni Hopes and Impediments. Tahun 1990, Chinua Achebe mengalami kecelakaan mobil di Nigeria sehingga terpaksa duduk di kursi roda untuk sisa hidupnya. Setelah itu, Chinua Achebe kembali pindah bermukim di Amerika Serikat dan mengajar di Bard College, selama 15 tahun. Pada tahun 2009, Chinue Achebe meninggalkan Bard College dan bergabung dengan Brown University di Rhode Island sebagai David dan Marianna Fisher University Professor dan profesor kajian Afrika hingga akhir hayatnya.[7] Pendidikan
PenghargaanSelama hidupnya, Chinua Achebe mendapat sepuluh penghargaan terkemuka dari berbagai negara. Penghargaan pertamanya diperoleh Chinua Achebe pada tahun 1959, yakni Margaret Wong Memorial Prize atas karyanya berjudul Things Fall Apart. Kemudian pada tahun 1964, novel ketiganya berjudul Arrow of God mendapat penghargaan New Statesman Jock Campbell Award for Commonwealth Writers.[8] Pada tahun 1972, Chinua Achebe mendapat penghargaan the Commonwealth Poetry Award untuk buku kumpulan puisinya berjudul Beware, Soul-Brother, and Other Poems.[9] Kemudian pada tahun 1975, Chinua Achebe kembali mendapatkan penghargaan. Kali ini penghargaan yang diperolehnya adalah Lotus Award for Afro-Asian Writers.[10] Pada tahun 1979, Chinua Achebe mendapat penghargaan tertinggi Presiden Nigeria, yakni Nigerian National Merit Award, yakni penghargaan tertinggi pemerintah Nigeria untuk prestasi di bidang intelektual.[11] Pada tahun 1996, Chinua Achebe mendapat penghargaan Campion Award (Amerika Serikat).[12] Pada Oktober 2002, Asosiasi Penerbit Buku Jerman (Association of German Publishers and Booksellers) memberikan penghargaan "Friedenspreis des Deutschen Buchhandels" (Peace Prize untuk literatur) kepada Chinua Achebe dan berhak mendapatkan hadiah 15.000 euro.[13] Pada tahun 2007, Chinua Achebe mendapat penghargaan dari Man Booker International Prize (sekarang bernama International Booker Prize).[14] Chinua Achebe mengalahkan beberapa nominasi ternama seperti Philip Roth, Margaret Atwood, dan Ian McEwan. Atas penghargaan yang diperolehnya tersebut, Chinua Achebe berhak mendapatkan hadiah uang senilai US$ 120 ribu.[3] Pada tahun 1999, Chinua Achebe mendapat penghargaan Saint Louis Literary Award.[8] Pada tahun 2010, Chinua Achebe kembali mendapatkan penghargaan The Dorothy and Lilian Gish Prize, dengan Komite Seleksi yang dipimpin oleh Kwame Anthony Appiah (penulis, editor, filsuf dan pengajar sejarah Afrika di New York University).[15] Pada tahun yang sama, karyanya yang berjudul The Education of a British-Protected Child menjadi finalis dalam penghargaan Dayton Library Peace Prize (Amerika Serikat).[16] Things Fall ApartThings Fall Apart saat ini menjadi novel terlaris Chinua Achebe. Novel ini telah terjual lebih dari 20 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam 57 bahasa.[17] Novel ini menceritakan latar belakang dan kehidupan primitif suku Ibo di Umuofia, Nigeria dan bagaimana suku tersebut merespons penjajahan kolonial yang datang pada tahun 1880. Tokoh sentralnya adalah Kepala Suku Ibo, yakni Okonkwo, pemimpin suku berusia 18 tahun yang terpilih karena berhasil mengalahkan petarung legendaris. Okonkwo kemudian menjalani pengasingan selama 7 tahun karena membunuh lelaki muda dalam sukunya. Setelah selesai masa pengasingannya, Okonkwo melihat suku Ibo terpecah menjadi dua, yakni pendukung pro kolonial dan mereka yang anti kolonialisme.[18] Kelompok anti kolonial dipimpin oleh Okonkwo dan orang-orang suku Ibo yang memiliki loyalitas kultural. Okonkwo dalam novel tersebut berjuang melawan kolonialisme dan kemudian mati tragis demi mempertahankan idealisme, ideologi dan nilai-nilai luhur budaya suku Ibo. Okonkwo mati tragis dengan gantung diri, suatu perbuatan yang ditabukan oleh suku Ibo, namun terpaksa dilakukan Okonkwo karena menolak bekerjasama dengan penjajah kolonial. Dalam kepercayaan suku Ibo, orang yang mati bunuh diri, jazadnya dilarang dimakamkan oleh anggota suku tersebut dan harus dikebumikan oleh suku di luar suku Ibo.[18] Dalam melawan penjajahan kolonialisme saat itu, Okonkwo dibantu oleh sahabatnya yang bernama Obierika, yang juga menjadi pemuka suku. Obierika selalu berada di samping Okonkwo, termasuk ketika Okonkwo mengumpulkan kekuatan massa suku Ibo yang tersebar di sembilan desa. Kelompok lainnya dalam suku Ibo yang menentang kolonialisme berasal dari kalangan pemimpin agama asli suku Ibo (Agbala) bernama Chielo dan pemimpin kelompok Egwugwu bernama Ajofia.[18] Tragisnya, kelompok pro kolonial dipimpin oleh Nwoye, yang merupakan putera Okonkwo, karena tertarik dengan ajaran agama yang dibawa kaum misionaris. Sebagai pemeluk agama baru, Nwoye pada awalnya bersikap sembunyi-sembunyi dalam menjalankan ibadahnya hingga akhirnya terpaksa menerima ancaman, kemarahan, pukulan dan cekikan dari Okonkwo, setelah ketahuan oleh Amikwu.[18] Tokoh lainnya adalah Enoch, yang justru bersikap sangat fanatik terhadap agama barunya dan bersikap frontal terhadap nila-nilai luhur budaya suku Ibo. Bahkan, saking frontalnya, Enoch berani membuka orang yang memakai topeng egwugwu, padahal tokoh ini sangat diagungkan oleh suku Ibo. Dari kalangan perempuan juga ada tokoh bernama Nneka, yang menolak budaya lokal yang mengharuskan bayi kembar yang dilahirkan untuk dibuang. Perpecahan atau segregasi masyarakat juga semakin tajam, dengan beberapa tokoh suku Ibo, yang semula mengagungkan gelar sosial leluhurnya, seperti Ogbuefi Ugonna dan Akunna, kemudian menanggalkan status sosialnya tersebut. Kelompok lainnya yang pro kolonial adalah kelompok Orang Osu atau kelompok masyarakat terbuang yang tinggal di hutan.[18] Karya
Rujukan
Pranala luar |