Cukai rokok di IndonesiaCukai rokok di Indonesia adalah upaya pengendalian harga jual dari pemerintah Indonesia terhadap rokok dan produk tembakau lainnya seperti sigaret, cerutu, serta rokok daun, yang dipungut dan berlaku pada saat pembelian. Ketentuan ini berlaku dengan adanya UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dengan perubahan yang mengacu pada UU No. 39 Tahun 2007. Aturan ini kemudian diteruskan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pengenaan pajak tembakau dengan cukai rokok dibedakan.[1] SejarahLegendaPengenaan pajak dan cukai atas rokok pertama kali dirujuk kepada legenda Rara Mendut. Rara Mendut menolak lamaran Tumenggung Wiraguna setelah menjadi upeti atas keberhasilan Mataram menumpas Pemberontakan Pati pada tahun 1627. Akibatnya Tumenggung Wiraguna mengenakan pajak 3 Real sehari sebagai syarat tidak menikahinya. Permintaan ini dipenuhi Rara Mendut dengan berjualan rokok. Rokoknya laris karena kecantikan Rara Mendut dikagumi oleh pria di kerajaan itu, dan ia merekatkan lintingan rokok dengan air ludahnya sendiri.[2] Pendirian secara resmi bea dan cukaiSecara resmi dan tertulis, bea dan cukai ada di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda, didasari oleh Hukum Hindia Belanda Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517, yang kemudian ditindaklanjuti menjadi pendirian De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U & A), organisasi ini berlanjut pada masa penjajahan Jepang, namun hanya memungut cukai, dan kembali direstrukturisasi pada masa pemerintahan Indonesia. Rokok dan tembakau tetap menjadi target pengenaan Cukai hingga saat ini. Alasan pengenaan pajak dan cukai rokokBahaya konsumsi rokok bagi kesehatan telah dibuktikan oleh banyak penelitian di dunia. Pengendalian konsumsi tembakau telah menjadi gerakan bersama yang memerlukan kontribusi berbagai macam pihak. Salah satu mekanisme pengendalian rokok yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meregulasi harga jual rokok melalui cukai. Pengenaan cukai untuk meningkatkan harga rokok telah berhasil menurunkan konsumsi rokok dan menurunkan prevalansi penyakit terkait rokok di berbagai negara, seperti Korea Selatan, Prancis, dan Filipina. [1] Perlindungan anak dan remajaDari berbagai konsumen rokok, yang paling dikhawatirkan dengan murahnya harga rokok adalah anak-anak dan remaja. Dengan uang yang sangat sedikit, rokok bisa diperoleh dengan mudah dan murah, yaitu hanya dengan Rp 1.000,- sudah bisa memperoleh sebatang rokok. Karena itulah cukai rokok perlu terus ditingkatkan, sehingga menjadi tidak terjangkau lagi bagi anak-anak. Saat ini, Indonesia menempati urutan teratas negara dengan proporsi perokok muda terbesar di Asia Pasifik. Berdasarkan data yang dirilis Global Youth Tobacco Survey tahun 2014, satu dari lima anak usia 13-15 tahun di Indonesia pernah merokok. Jika kondisi ini berkembang secara konsisten, Indonesia akan menanggung beban pembiayaan kesehatan yang tinggi saat mereka menjadi dewasa dan mulai menderita penyakit degeneratif lebih dini akibat kebiasaan merokok di usia muda.[3] Terlalu rendahnya harga rokokPrevalensi merokok di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia untuk kategori perokok pria dewasa, perokok remaja, dan perokok anak. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya harga rokok di Indonesia. Harga rata-rata rokok di Indonesia sangat murah jika dibandingkan dengan harga di negara-negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan India merupakan faktor utama kenapa prevalensi perokok di Indonesia masih tinggi. Ini diperburuk pula oleh kebiasaan warung-warung kaki lima menjual rokok batangan, sehingga makin mudah bagi rakyat tidak mampu atau anak-anak untuk membelinya dengan harga sangat murah. Karena itu, dibutuhkan kebijakan untuk membuat harga rokok melambung tinggi.[4] Penentuan cukai rokokPerkembangan besaran cukai rokokDari tahun ke tahun, penerimaan negara dari Cukai Rokok terus meningkat. Pada tahun 2007, misalnya, tercatat Rp 43,53 Triliun menjadi pemasukan negara. Pada tahun 2014, penerimaan ini meningkat jadi Rp 112,54 Triliun. Tahun 2016, negara mendapatkan 137,94 Triliun dari Cukai Rokok. Penerimaan dari cukai rokok selalu berubah tiap tahunnya. Indonesia awalnya menganut sistem cukai Ad Valorem, atau persentase dari nilai jual, namun sejak 2009 diubah menjadi tarif spesifik berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Besaran tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis rokok dan besaran pabrik rokok. Meskipun nilainya dinaikan setiap tahun[5] melalui Peraturan Tarif Cukai oleh Kementerian Keuangan, persentase kenaikan tarif cukai rokok terbatas pada batas atas sebesar 57% berdasarkan Undang-undang No.39/2007. Penentuan ini sangat mempertimbangkan hal-hal seperti pengendalian konsumsi, pencegahan rokok dengan cukai palsu atau ilegal, dampak pada buruh dan petani, serta target penerimaan negara. Untuk tahun 2018, tarif cukai rokok rata-rata naik 10,04 Persen dari tahun sebelumnya.[6]
Simplifikasi golongan cukaiBerdasarkan Permenkeu No 146 Tahun 2017, pemerintah akan melakukan simplifikasi terhadap pengenaan cukai secara bertahap. Berdasarkan roadmap yang sudah ditentukan, jumlah layer cukai rokok akan dipangkas secara bertahap dari 12 pada tahun 2017, menjadi sepuluh layer pada tahun 2018, delapan layer pada tahun 2019, enam layer pada tahun 2020, dan lima layer pada tahun 2021. Kebijakan ini adalah bagian dari strategi pemerintah dalam mengurangi konsumsi rokok masyarakat.[7] KritikSimplifikasi atas pengenaan cukai rokok mengundang kritik dan masukan bahwa kebijakan tersebut harus dijalankan secara konsisten, apapun penentangan yang terjadi, sebab jika diubah lagi bisa mengundang keheranan dan pertanyaan dari masyarakat.[8] Di sisi lain, simplifikasi ini mengundang protes dari perusahaan rokok skala menengah kecil karena dianggap membuat cukai yang harus dibayarkan semakin besar.[9] Pemasukan untuk negara dari cukai rokokCukai dan pajak rokok menyumbang cukup banyak pemasukan bagi negara. Proporsi penerimaan cukai terhadap total penerimaan negara sebesar 6,31 persen pada 2007. Porsi ini meningkat menjadi 7,10 persen pada 2012 dengan total penerimaan cukai sebesar Rp95,03 triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp144,64 triliun. Namun perlu dipahami bahwa selain memberikan pemasukan, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau lebih tinggi ketimbang besaran kontribusi cukai tembakau terhadap penerimaan negara. Kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kemenkes menunjukkan tren meningkat. Pada 2010, kerugian ekonomi ini sebesar Rp245,41 triliun atau 4 kali penerimaan negara dari cukai tembakau. Ia meningkat menjadi Rp378,75 triliun pada 2013 atau 3 kali dari penerimaan negara.[10] Dana bagi hasil untuk daerahPenerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai illegal, sesuai dengan UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, Pasal 66A. Setiap tahunnya Kementerian keuangan mengeluarkan rincian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau melalui Peraturan Menteri Keuangan. Pajak rokok daerahBerbeda dengan anggapan orang kebanyakan, pajak rokok daerah sama sekali berbeda dengan cukai rokok. Selain cukai, rokok juga dikenakan tambahan pajak rokok daerah sebesar 10% dari tarif cukai, sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 29 . Penarikan pajak rokok dilakukan bersamaan dengan penarikan cukai. Penerimaan pajak rokok daerah didistribusikan kepada seluruh pemerintah daerah proporsional terhadap jumlah populasi di daerah masing-masing. Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang, sesuai dengan pasal 31. Manfaat untuk biaya kesehatanBerdasarkan Perpres No 82 tahun 2018, daerah berhak menggunakan pendapatan dari pajak rokok untuk menutupi defisit anggaran BPJS[11] Besaran kontribusi pajak rokok sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, ditetapkan 75% dari 50% realisasi penerimaan pajak rokok bagian hak masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota. Kontribusi sebagaimana dimaksud langsung dipotong untuk dipindahbukukan ke dalam rekening BPJS Kesehatan.[12] Kebijakan ini mendatangkan pujian dari Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Menurutnya, Perpres yang sudah diteken Presiden Jokowi menjadi solusi jitu di samping rendahnya disiplin anggaran daerah, khususnya perencanaan dan pengukuran outcome.[13] Sementara Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengapresiasi langkah ini. Ia menyatakan bahwa Industri Hasil Tembakau memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat Indonesia, sebab rokok di Indonesia tidak bisa disamakan dengan industri rokok di luar negeri. Rokok di Indonesia adalah hasil kolaborasi pertanian rakyat, sehingga kebijakan ini adalah solusi untuk memperhatikan kesehatan sekaligus menjaga keberlangsungan industri rokok[14] Keputusan ini juga diakui bisa membantu BPJS oleh Planning and Policy Specialist, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa . Selain untuk menambal dana BPJS, juga disarankan dialokasikan secara khusus untuk layanan berhenti merokok terutama untuk konsumen dari keluarga miskin dan anak-anak. Laporan BPJS Kesehatan memang menunjukkan total beban penyakit yang ditanggung oleh asuransi kesehatan nasional, 21 persen di antaranya penyakit akibat konsumsi rokok seperti penyakit jantung iskemik, serebrovaskular, tuberkulosis, diabetes dan penyakit pernapasan kronis.[15] KontroversiKenaikan Cukai setiap tahunnya selalu mengundang perdebatan. Dari sisi pengendalian, kenaikan cukai dirasa penting untuk menjadikan rokok tidak terjangkau, meskipun selama ini kenaikan yang terjadi dirasa belum berhasil menjadikan rokok lebih mahal dan tidak terjangkau oleh golongan yang rentan seperti anak dan remaja. Di sisi lain, kenaikan cukai rokok mengkhawatirkan industri dan masyarakat yang bergantung pada rantai produksi rokok, seperti petani, buruh, dan pedagang. Selain itu, pemerintah dianggap perlu mengembangkan kebijakan non harga seperti penegakan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).[16] Meski demikian berlawanan dengan pendapat awam kebanyakan, belum ada bukti empiris yang membuktikan ada kaitan antara kenaikan cukai dan penurunan kesejahteraan petani. Lihat pulaPranala luarReferensi
|