D. N. Aidit
Dipa Nusantara Aidit (30 Juli 1923 – 22 November 1965)[3] adalah seorang politikus komunis Indonesia, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) dari tahun 1951 hingga eksekusi kilatnya pada saat pembantaian di Indonesia 1965-1966. Lahir dengan nama Achmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat". Aidit dididik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. BiografiKehidupan awalIa dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Adapun ibu D.N. Aidit bernama Mailan.[4] Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung, putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka kampung Batu Itam sekaligus tuan atas tanah yang dibukanya.[5] Asal-usul Aminah masih belum jelas, tetapi sumber sekunder menyebut leluhur ibu Aidit datang dari Nagari Maninjau, Sumatera Barat.[5][6] Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sang ayah meninggal selagi Aidit masih kecil sehingga ia dibesarkan oleh ayah tiri.[6] Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan dan Sobron. Setelah menamatkan pelajaran HIS di Bangka, ia bertolak ke Jawa. Ia dititipkan oleh sang ibu pada orang sekampungnya, Maninjau, yang telah lama merantau dan menetap di Bandung, yakni Isa Anshari. Selama hampir empat tahun, Aidit tinggal bersama keluarga Isa Anshari sehingga mereka sudah layaknya adik-kakak.[6] Hubungan pribadi Aidit dan Isa tetap terpelihara sampai kelak mereka menjadi lawan politik. Mereka masih rutin bertemu, bahkan Aidit pernah membawakan buku tentang komunisme untuk putra sulung Isa Anshary, Endang Saifuddin Anshari.[7] Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit.[8] Karier politikPada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu, Aidit dan teman seindekosnya yang bernama Mochtar mengusahakan sebuah penjahitan yang juga diberi nama "Antara". Lokasinya yang strategis menjadikannya tempat mangkal aktivis pada masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Di sini, berkumpul pula para seniman yang terkenal dengan nama seniman Senen. Sebagian besar terdiri atas para pendatang dari Minangkabau yang banyak berjualan dan membuka restoran.[9] Kemudian Aidit masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia. Menurut sejumlah temannya, Mohammad Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.[butuh rujukan] Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno[10] dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain. Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.[butuh rujukan] Peristiwa G-30-SPada 1965, PKI menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.[butuh rujukan] Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Dan dia akhirnya dihukum mati oleh militer.[butuh rujukan] Kematian dan kontroversiAda beberapa versi tentang kematian D.N. Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. Versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.[butuh rujukan] TulisanD.N. Aidit banyak menuliskan pikiran-pikirannya dalam sejumlah buku dan tulisan. Sebagian daripada buku dan tulisannya adalah:
Lihat pula
Catatan kaki
Bacaan terkait
Pranala luarWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|