Daeng Koro
Sabar Subagyo (15 Januari 1963 – 3 April 2015), alias Jimmy alias Autad Rawa, atau lebih dikenal dengan nama Daeng Koro, adalah seorang militan Islam asal Indonesia dan salah satu anggota inti dari kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT).[1] Daeng Koro adalah mantan anggota TNI-AD yang dipecat pada tahun 1992 karena terlibat dalam sebuah kasus asusila, dan diberhentikan dengan tidak hormat.[2] Ia mulai terlibat dengan aksi-aksi terorisme pada tahun 2000, dan bergabung dengan Santoso pada tahun 2012 sebagai komandan lapangan MIT. Pengalaman dan latar belakang militer yang pernah dijalaninya, membuat Polri menyebutnya sebagai "teroris paling berbahaya" selain Santoso.[3] Ia tewas dalam sebuah penyergapan Polri pada bulan April 2015.[4] Kehidupan pribadiDaeng Koro lahir pada awal tahun 1963 di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daeng Koro memiliki tiga anak setelah menikah, dua anak laki-laki dan satu perempuan.[5] Selama menjadi anggota TNI, dia menghabiskan waktunya dengan bermain voli. Hal ini karena saat dia tidak lulus seleksi prajurit komando, dia justru mampu lolos dalam seleksi tim voli.[6] Ia disebut-sebut memiliki keahlian berperang di hutan serta keahlian dalam perakitan bahan peledak. TNI menyebut bahwa bukan berarti karena latar belakang komando yang disandangnya, membuatnya menjadi sosok yang berbahaya.[7] KarierPada tahun 1982, Daeng Koro bergabung dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD, namun ia tidak lulus saat mengikuti tes komando. Kemudian dia ditempatkan di bagian pelayanan Detasemen Markas (Denma) di Cijantung selama 4 tahun.[8] Pada tahun 1985, Daeng Koro dipindahkan ke Brigade Infanteri 3 Kostrad dan bergabung dengan Batalyon Infanteri 432 yang bermarkas di Maros, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1992, dia dipecat karena kedapatan berselingkuh dengan istri prajurit lainnya pada tahun 1988. Karena hal tersebut, dia menghuni sel tahanan militer selama 7 bulan. Hasil sidang militer yang dijalaninya kemudian meresmikan keputusan tersebut, dan dirinya diberhentikan dengan tidak hormat.[9] Keterlibatan dalam terorismeAktivitas awalDalam catatan kepolisian, Daeng Koro mengikuti gerakan terorisme sejak tahun 2012. Tetapi mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, menyebutkan bahwa Daeng Koro sudah terlibat aksi terorisme di Indonesia sejak tahun 2000, saat dirinya turun membantu para militan Laskar Jihad dalam Kerusuhan Poso serta Jemaah Islamiyah (JI) cabang Poso untuk melawan polisi dalam peristiwa Tanah Runtuh yang terjadi pada awal tahun 2007 di Poso. Saat itu, Daeng Koro berhasil lolos dan melarikan diri bersama seorang rekannya ke Makassar.[10] Pada tahun 2003, dia pindah ke Kalimantan dan bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Haji Nurdin. Sejak dari sini, dia mulai terlibat dalam kerusuhan di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk penembakan terhadap polisi dan warga sipil. Polri menambahkan bahwa Daeng Koro tercatat sebagai pelatih dan ketua pelaksana beberapa kegiatan latihan militer (tadrib 'asykari) atau latihan militer yang digelar di Tuturuga, Kabupaten Morowali dan Dusun Tamanjeka, Kabupaten Poso; serta Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Ia juga diduga memiliki peran dalam kerusuhan yang terjadi di Mambi pada tahun 2005. Saat itu, terjadi konflik antara kelompok pro dan kontra pemekaran di tiga kecamatan yaitu Aralle, Tabulahan, dan Mambi di Kecamatan Mamasa untuk menjadi kabupaten yang berdiri sendiri. Kelompok Daeng Koro diduga adalah pihak yang menyerang kelompok pro-pemekaran. Selain itu, sekitar tahun 2007, Daeng Koro diduga membantu pelarian Jasmin, terpidana 20 tahun penjara atas kasus terorisme berupa pengeboman kafe Sampoddo yang terletak di Palopo, dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Makassar. Daeng Koro juga memiliki hubungan baik dengan anggota Darul Islam, Abu Umar. Pada tahun 2010 hingga 2011, mereka berdua menyelenggarakan pelatihan militer bagi kelompok masing-masing di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Daeng Koro juga diketahui sering kali membantu Abu Umar mendapatkan senjata untuk kelompoknya. Senjata itu didapatkan dengan membelinya dari Mindanao, Filipina bagian selatan, kemudian diselundupkan agar bisa memasuki Indonesia. Kerja sama ini terhenti setelah Abu Umar dan beberapa anggotanya ditangkap pada bulan Juli 2011. Daeng Koro, sekali lagi berhasil melarikan diri ke Mindanao.[11] Bergabung dengan SantosoPada tahun 2012, Daeng Koro baru kembali ke Indonesia. Setibanya di Indonesia, Daeng Koro bersama rekan-rekannya dari kelompok Makassar langsung bertolak ke Poso untuk bergabung dengan Santoso. Rekan-rekannya yang ikut bergabung dengan Santoso adalah mereka yang berpengalaman, seperti Abu Harun yang merupakan alumni Kashmir, Kholid dan Abu Uswah alumni Moro, mantan anggota Mujahidin Kompak Kayamanya bernama Jodi, dan beberapa orang lainnya. Zipo yang merupakan alumni pelatihan militer di Poso sekaligus pemimpin dari kelompok teroris Bima juga bergabung. Kelompok ini menyebut diri mereka sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT), pemimpinnya adalah Santoso sedangkan Daeng Koro sendiri menduduki posisi penasehat dan komandan lapangan.[12] Rangkaian aktivitas Polri berupa operasi dan penangkapan terhadap rekan dan jaringan mereka, mengakibatkan MIT mulai bereaksi dan menjalankan terornya. Penangkapan Badri di Solo, penembakan Polri terhadap Farhan Mujahid, anak tiri Abu Umar yang sudah dianggap keponakan sendiri oleh Daeng Koro, serta penangkapan Sutarno, salah satu orang kepercayaan Daeng Koro, memicu aksi balas dendam berikutnya oleh mereka.[13] Pada tanggal 11 November 2012, anak buah Daeng Koro melakukan percobaan pembunuhan terhadap Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Anak buahnya yang bernama Awaludin, dibantu seorang rekannya, melakukan pelemparan bom saat gubernur akan berpidato dalam peringatan Hari Ulang Tahun Partai Golkar. Awaluddin akhirnya berhasil ditangkap polisi, tetapi aksi berlanjut.[14] Daeng Koro juga dianggap sebagai aktor intelektual dalam pembunuhan dua anggota Polres Poso, Briptu. Andi Sappa dan Brigadir Sudirman, di Dusun Tamanjeka, Desa Masani, pada bulan Oktober 2012. Kedua polisi tersebut ditemukan tewas dalam satu lubang dengan kedalaman satu meter.[15] Daeng Koro juga diduga merencanakan penghadangan dan penembakan anggota Sat Brimob Polda Sulawesi Tengah di Desa Kalora, Poso Pesisir Utara, Desember 2012. Peristiwa ini menewaskan tiga orang anggota Brimob. Kemudian, Daeng Koro disebut-sebut memiliki peran sebagai perakit dan eksekutor bom di Desa Pantangolemba, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, pada bulan Februari 2014. Pada bulan Juni 2014, Daeng Koro juga dituding berperan dalam penembakan seorang warga di Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir.[16] Lebih jauh lagi, Polri menyebut bahwa dirinya terlibat pengadaan senjata untuk MIT, dan juga sebagai penghubung antara kelompok MIT dengan jaringan Makassar, dan menjadi ahli strategi dalam memutuskan langkah dan pergerakan MIT.[17] KematianPada tanggal 3 April 2015, Daeng Koro tewas dalam baku tembak dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) Polri di pegunungan Sakina Jaya, Desa Pangi, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong. Kejadian berawal dari laporan seorang warga yang melihat enam orang tak dikenal di sekitar kebunnya selepas Shalat Jum'at. Warga tersebut kemudian melaporkan keberadaan orang-orang tersebut ke Polres Parigi Moutong. Tim Densus 88 kemudian melakukan penyisiran dan melihat sekitar dua belas orang tak dikenal. Pihak Densus mulai melepas tembakan peringatan, namun dibalas rentetan tembakan dari sekelompok orang tersebut. Dalam peristiwa ini, kontak senjata berlangsung sekitar satu jam dengan disertai lemparan dan ledakan bom dari kelompok tersebut, sekaligus menewaskan Daeng Koro. Dari peristiwa ini, Densus menyita barang bukti berupa dua pucuk senjata laras panjang jenis M-16 dan satu pucuk senjata rakitan, satu bom lontong, dan ratusan amunisi. Mereka juga menyita dua telepon genggam dan GPS di lokasi yang sama.[18] Dari telepon genggam yang disita, polisi menemukan fotonya bersama keluarga sedang memegang senapan dengan latar belakang bendera warna hitam ala ISIS. Foto tersebut menampilkan Daeng Koro beserta istri dan ketiga anaknya yang berusia kurang dari sepuluh tahun dan memakai topeng.[19] Jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Tengah di Palu untuk memulai proses tes DNA.[20] Menurut hasil tes DNA yang dirilis pada tanggal 8 April 2015, teroris yang tewas jelas merupakan Daeng Koro, setelah sebelumnya tim medis mengambil sampel darah, air liur, rambut istri dan anaknya untuk diperiksa di Laboratorium DNA Mabes Polri.[21] Forum Islam al-Busyro, salah satu media MIT, merilis pernyataan yang mengonfirmasi kematian Daeng Koro.[22] Referensi
|