Berikut ini adalah daftar raja-raja Bali, sebuah pulau di kepulauan Nusa Tenggara, Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah para raja yang menguasai pulau ini secara keseluruhan, serta raja-raja berbagai kerajaan kecil yang muncul sejak abad ke-17 dan ke-18. Urutan dan tanggal para penguasa tersebut tidak selalu sama dalam beberapa dokumentasi yang ada, dan belum tentu didukung oleh bukti yang kuat. Daftar berikut ini didasarkan pada catatan epigrafi prasasti, berbagai babad Bali, dan data yang diberikan oleh sumber-sumber kolonial Belanda.
Raja Bali Kuno
Raja-raja Bali sebelum penyerangan Majapahit yang datanya didapat berdasarkan prasasti.
Śri Ugrasena (ca. 915-942 M). Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Ç (915-942 M). Sedikitnya ada sembilan buah prasasti yang dikeluarkan, dan semuanya berbahasa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti Srokadan (837 Ç), Babahan I (839 Ç), Sembiran AI (844 Ç), Pengotan AI (846 Ç), Batunya AI (855 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Ç), Serai AI (858 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Ç), Gobleg, Pura Batur A.
Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa (ca. 955-967 M) memerintah bersama dengan permaisurinya yaitu Sri Subhadrika Dharmmadewi pada kurun waktu 877-889 Ç (955-977 M). Sedikitnya ada 4 prasasti yang memuat nama raja suami-istri tersebut, yakni prasasti Manik Liu AI (877 Ç), Manik Liu BI (877 Ç), Manik Liu C (877 Ç), Kintamani A (889 Ç)
Indrajayasingha Warmadewa disebut juga Candrabhaya Singha Warmadewa (penguasa bersama, Saka 878-896/ca. 956-974 M), pendiri Tirta Empul dan berdasarkan prasasti Manukaya (882 Ç)
Janasadhu Warmadewa (ca. 975 M), satu-satunya prasasti atas nama raja tersebut adalah prasasti Sembiran AII (897 Ç).[4]
Śri Wijaya Mahadewi (ratu, ca. 983 M), Satu-satunya prasasti menyebut nama raja ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Ç)
Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni (ratu, sebelum 989-1007 M).[a] Memerintah bersama Dharma Udayana Warmadewa (ca. 989-1011 M) [suami Gunapriya] Raja suami-istri itu termuat dalam beberapa prasasti, yakni Prasasti Bebetin A I (911 Ç), Serai AII (915 Ç), Buwahan A (916 Ç), Sading A (923 Ç). Dalam prasasti, nama Gunapriyadharmapatni lebih dahulu disebutkan daripada Udayana. Pada tahun 933 Ç, terbit sebuah prasasti atas nama raja Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni Prasasti Batur, Pura Abang A (933 Ç).
Śri Ajñadewi atau Çri Adnya Dewi (ratu, ca. 1011-1016 M) yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII (938 Ç)
Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja atau Marakata Pangkaja Sthana Tunggadewa atau Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa(ca. 1016-1025 M) [anak Dharma Udayana] yang mengeluarkan prasasti-prasasti antara lain Prasasti Batuan (944 Ç), Prasasti Sawan AI (945 Ç), Tengkulak A (945 Ç), Buwahan B (947 Ç).
Anak Wungsu (ca. 971-999 Ç, 1025-1077 M) [adik Airlangga dan Marakata Pangkaja] Raja yang memerintah terlama diantara raja-raja pada jaman Bali Kuno. Ada 31 prasasti dikeluarkannya atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya.
Śri Maharaja Walaprabhu (antara 1001-1010 Ç, 1079–1088 M) mengeluarkan tiga buah prasasti yaitu Prasasti Babahan II, prasasti Ababi A, prasasti Klandis.
Śri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Sri Çlendukirana Isana Gunadharmma Lakumidhara Wijayatunggadewi (ratu, ca. 1088-1101 M) Gelar ini terbaca dalam prasasti Pengotan BI (1010 Ç) dan Pengotan BII (1023 Ç).
Śri Maharaja Sri Suradhipa (ca. 1115-1119) mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Ç), Angsari B (1041 Ç), Ababi, dan Tengkulak D.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan raja Suradhipa, dimulailah masa pemerintahan "Wangsa Jaya" yang merupakan pecahan dari wangsa Warmadewa, secara beruntun memerintah di Bali terdapat empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu:
Paduka Sri Maharaja Sri Arjjaya Dengjaya Ketana (ratu, ca. 1200)[b] dan Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana (penguasa bersama ca. 1200) [anak] mengeluarkan prasastinya prasasti Kintamani E pada tahun 1122 Ç (1200 M)
Rajapatih Makakasar, Kbo Parud atau Kebo Parud Makakasir (wakil Singasari, ca. 1296-1324 M)[c] disebutkan dalam prasasti Pengotan E (1218 Ç) dan Sukawana D (1222 Ç). Apabila dilihat dari angka tahun prasasti yang dikeluarkan, maka rajapatih ini mengisi kekosongan pemerintahan setelah masa pemerintahan Raja Adidewalancana.
Sri Masula Masuli (Saka 1246/1324 M)
Singasari runtuh dan Bali menjadi kerajaan mandiri.
Mahaguru Dharmottungga Warmadewa atau Bethara Çri Maha Guru (sebelum 1324-1328 M) atau Bhatara Sri Mahaguru (1246-1247 Ç). Ia mengeluarkan tiga buah prasasti, namun memuat gelarnya berbeda-beda. Dalam prasasti Srokadan (1246 Ç) disebut dengan Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Ç) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru dan dalam prasasti Tumbu (1247 Ç) Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa.[3]
Walajayakertaningrat atau Çri Walajaya Krethaningrat atau Paduka Tara SriWalajayakattaningrat (1250 Ç, 1328-1337 M) [anak Dharmottungga], terbaca dalam prasasti Selumbung.[3]
Sebagai negara vasal di bawah Majapahit 1343-c.1527
Dalem Samprangan (abad ke-14 atau c. 1502 ?) [anak Sri Kresna Kepakisan]
Dalem Ketut, dikenal juga dengan nama Dalem Ketut Ngelesir (abad ke-14 atau c. 1520 ?; Raja Bali di Gelgel; Perkiraan lain 1380-1460) [saudara Dalem Samprangan]
^Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Permaisuri Jayapangus dan ibu dari Ekajayalancana. Tidak diketemukan tahunnya, namun diperkirakan bersama Ekajayalancana
^Pada masanya terjadi gelombang kedatangan para Arya dan rohaniawan dari Kerajaan Singasari serta kedatangan para Mpu keturunan Saptra Rsi bersama Bhujangga
Helen Creese, 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991.
A.A. Gde Darta et al., Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar 1996. ISBN 979-649-021-8.
Mahaudiana, Babad Manggis Gianyar. Gianyar 1968.
S.O. Robson, 'The Ancient Capital of Bali', Archipel 16 1978.
Henk Schulte Nordholt, Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840. Doctoraalscriptie, Amsterdam 1980.
Henk Schulte Nordholt, The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden 1996. ISBN 90-6718-090-4.
I Nyoman Suada et al., Selayang Pandang Tokoh-Tokoh Puri Agung Kesiman (Abad XIX-XX), Denpasar, 1999.
Anak Agung A. Sudira, Mengenal Kawitan Warga Mahagotra Tirtha Arum, Denpasar, 1992.
Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1239-1244, ISBN 3-598-21545-2.
Adrian Vickers, The Desiring Prince; A Study of the Kidung Malat as Text. PhD Thesis Sydney 1986.
Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London 1995. ISBN 0-226-88580-1.