Share to:

 

Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing

Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing
SutradaraEdwin
ProduserRenate Tombokan
PemeranIne Febriyanti
Faozan Rizal
DistributorKotak Hitam
Tanggal rilis
2004
Durasi7 menit
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaBisu
Bahasa Indonesia

Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing adalah sebuah Film pendek Indonesia yang mengadaptasi cerita rakyat Jawa Barat yaitu Dayang Sumbi. Film pendek eksperimental yang berusaha mengaplikasikan treatment film bisu ini dirilis pada tahun 2004 dan meraih banyak penghargaan.[1]

Pemeran

Trivia

Karya ini dibuat sebagai film bisu karena di Indonesia saat itu tidak ada laboratorium pemroses suara analog.

Film ini lolos seleksi dan penayangan:

Ulasan

Film ini merupakan pembaruan dari legenda Sangkuriang yang kita sudah kenal selama ini. Pembaruan ini ada dua macam. Dari segi penuturan sinematik, Dajang Soembi dibuat layaknya sebuah film bisu yang sempat hilang dan ditemukan lagi. Ia didesain dalam warna hitam-putih, diiringi dengan sebuah lagu orkestra, dan disusun dengan teks pengantara (intertitle) dengan huruf zaman kolonial, plus sejumlah cacat visual (goresan di beberapa adegan) yang sengaja diadakan pembuat film dengan merusak seluloid. Dari segi isi cerita, Dajang Soembi menihilkan banyak bagian dari legenda Sangkuriang, dan berfokus pada ketegangan seksual antara Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Tumang (bapak Sangkuriang, manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing). Sebuah cerita penting bukan saja karena apa yang diceritakan, tapi juga apa yang tidak diceritakan. Dengan meminimalisir legenda Sangkuriang ke tiga tokoh utama saja, Edwin menghadapkan penonton pada fakta bahwa legenda rakyat kita ternyata dipenuhi hal-hal yang sekarang kita anggap menyimpang. Ada bestiality (hubungan seksual dengan hewan), yang mendasari pernikahan Dayang Sumbi dengan Tumang. Ada incest (hubungan seksual dengan insan sedarah), yang memotivasi Sangkuriang untuk membunuh Tumang dan menjadikan Dayang Sumbi sebagai kekasihnya. Ada kanibalisme, yang menjadi klimaks film ketika Sangkuriang mempersembahkan hati Tumang untuk makan malam ibunya. Propaganda Orde Baru tentang keluarga ideal hanyalah rekaan pihak penguasa untuk menutupi kenangan buruk tentang tradisi rakyat kita.[2]

Penghargaan

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya