Share to:

 

Dasein

Dasein (pelafalan dalam bahasa Jerman: [ˈdaːzaɪn]) adalah sebuah istilah Jerman yang sangat akrab dengan filsuf Martin Heidegger dalam karya besarnya, Being and Time, yang secara umum merupakan terjemahan dari ada, . being secara ontologis dan filosofis pada kemanusiaan dan realitas hidupnya.[1][2] Istilah ini banyak dipakai oleh para filsuf untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam eksistensinya atau kemampuan tinggal dan memaknai hidupnya di dunia.[1] Heidegger sendiri adalah filsuf yang hidup pada tahun 1889-1976. Dia dikenal sebagai filsuf fenomenologi yang besar dari Jerman.[1]

Martin Heidegger - tokoh yang sangat peduli dengan istilah dasein

Heidegger membedakan kemampuan benda dan makhluk lain dalam kemampuan daseinnya dalam hal kesadaran dalam waktu.[1] Sedemikian penting istilah dasein ini bagi Heidegger karena beragam pengertian yang memiliki kedalaman dalam teori fenomenologinya.[2] Dasein yang dimiliki manusia dijelaskan dengan membandingkan arti istilah sein dan seiende yang artinya "yang berada". Arti dasein adalah "berada di dalam", jadi memiliki aktivitas yang tidak pasif.[2] Berbeda dengan benda-benda yang ada begitu saja di depan manusia tanpa bisa berbuat apa pun terhadap dirinya sendiri.[2] Di sinilah kemampuan manusia berbeda dalam hal merenungkan, merefleksikan tentang makna hidupnya, sehingga ia bisa memaknai dan mengubah hidup yang kurang baik menjadi lebih baik.[2] Kemampuan ini secara nyata dalam peran manusia dalam menyangkal dirinya sendiri.[2] Kemudian Heidegger juga memberika teori manusia dengan dasein dalam berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya.[2] Lebih lanjut bahwa manusia dapar memikirkan benda-benda, alat-alat, dan beraktivitas sesuai dengan keinginan yang sudah dipilihnya.[2] Inilah kemampuan eksistensi yang sesungguhnya.[2]

referensi

  1. ^ a b c d (Indonesia)F. Budi Hardiman., Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2003
  2. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Harun Hadiwijono., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius 1998
Kembali kehalaman sebelumnya