Determinisme nominatifDeterminisme nominatif adalah sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa individu cenderung tertarik pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan nama individu tersebut. Istilah ini pertama kali muncul di majalah New Scientist tahun 1994, ketika kolom Feedback membahas sejumlah studi tentang kecocokan bidang pekerjaan dengan nama keluarga seseorang. Contohnya meliputi buku karangan Daniel Snowman yang membahas penjelajahan kutub dan sebuah artikel tentang urologi yang ditulis oleh dua peneliti bernama Splatt dan Weedon.[2] Contoh-contoh tersebut lantas menimbulkan spekulasi kecil terkait adanya efek psikologis tertentu. Sejak kemunculan determinisme nominatif, istilah tersebut telah dibahas berulang di New Scientist sejalan dengan pembaca yang terus mengirimkan contoh. Determinisme nominatif berbeda dari konsep aptronim maupun sinonimnya terkait kausalitasnya. Hal ini karena aptronim merupakan sebuah kebetulan nama yang cocok dengan bidangnya, tanpa mengatakan alasan kecocokannya. Gagasan bahwa individu memiliki kecenderungan untuk merasa cocok dengan profesi yang sesuai dengan namanya diusulkan oleh Carl Gustav Jung. Jung memberi contoh, yakni Sigmund Freud yang meneliti tentang kegembiraan, sementara Freud sendiri adalah nama keluarga yang berarti suka cita. Sejumlah studi empiris belakangan ini menunjukkan bahwa profesi tertentu diemban oleh orang-orang dengan nama keluarga yang sesuai, meskipun metode studi ini telah ditentang. Salah satu penjelasan mengenai determinisme nominatif dapat dikaitkan oleh adanya egoisme implisit. Egoisme implisit menyatakan bahwa manusia memiliki preferensi bawah sadar untuk hal-hal yang mereka kaitkan dengan diri mereka sendiri. Latar belakangDalam sejarah, banyak orang yang dinamai berdasarkan bidang pekerjaan tertentu yang menyebabkan orang tersebut merasa cocok dengan pekerjaan itu.[3] Seiring waktu, cara penamaan orang mulai berubah.[4] Pada masa pra-perkotaan, seseorang hanya memiliki nama tunggal. Misalnya, nama "Beornheard" untuk seseorang yang mendiami Anglo-Saxon.[3][5][A] Nama tunggal dipilih karena arti yang dikandungnya ataupun diperuntukkan sebagai nama panggilan. Nama keluarga baru disematkan setelah peristiwa penaklukan Norman, contohnya adalah Edmund Ironside.[3] Nama keluarga dibuat agar sesuai dengan orang yang hendak dinamai. Nama tersebut sebagian besarnya tergolong patronim (misal: John yang merupakan putra William dinamai sebagai John Williamson), mendeskripsikan pekerjaan (misal: John Carpenter), berupa karakter atau sifat (misal: John Long), atau merujuk pada lokasi tertentu (misal: John dari Acton dinamai sebagai John Acton). Pada awalnya, nama-nama tersebut tidak diwariskan, tetapi semenjak pertengahan abad ke-14 nama-nama tersebut menjadi milik generasi di bawahnya. Nama keluarga yang berkaitan dengan perdagangan atau kerajinan menjadi pelopor pewarisan nama secara turun-menurun. Hal ini disebabkan karena kerajinan merupakan bidang yang biasanya bertahan dalam keluarga selama beberapa generasi.[5][6][B] Pewarisan nama sehubungan dengan jenis pekerjaan tertentu mengalami penurunan karena iklim dagang yang membuat seorang saudagar tak mengikuti jejak pekerjaan ayahnya.[4] Contohnya, sebuah nama pada abad ke-14 yakni "Roger Carpenter" yang berprofesi sebagai pedagang rempah-rempah.[3] Aspek lain yang diperhatikan berkaitan dengan penamaan adalah menyangkut makna yang terkandung dalam sebuah nama. Pada abad ke-17 dI Inggris, penamaan dilakukan secara hati-hati dan anak-anak dianjurkan menjalani hidup sesuai dengan arti nama mereka.[7] William Jenkyn, seorang pendeta Inggris, pada tahun 1652 berpendapat bahwa nama depan sebaiknya menjadi pengingat seseorang akan perannya di dunia ini.[8] Ketika nama-nama Puritan seperti Faith, Fortitude dan Grace muncul pada tahun 1623, William Camden selaku sejarawan Inggris menganjurkan pemilihan nama yang didasarkan pada "makna yang baik dan berbudi luhur". Hal ini karena nama tersebut dapat menginspirasi pemiliknya untuk melakukan tindakan yang baik.[4][7] Semenjak kemunculan Kerajaan Inggris, sistem penamaan bahasa Inggris dan nama keluarga Inggris tersebar di banyak wilayah di dunia.[9] Pada awal abad ke-20, Smith dan Taylor menjadi dua dari tiga nama keluarga populer di Inggris. Keduanya merupakan nama berbasiskan pekerjaan, walau profesi pandai besi dan penjahit sudah sangat sedikit.[3][10][C] Temuan nama dan pekerjaan yang saling berhubungan ini menjadi penting untuk diteliti. Majalah Kentish Note Book edisi 1888 memuat beberapa contoh fenomena tersebut, di antaranya sejumlah tukang antar bernama Carter; hosier (istilah untuk menyebut penjual stoking) bernama Hosegood, juru lelang bernama Sales, dan pedagang kain bernama Cuff.[11] Semenjak itu, mulai bermunculan istilah untuk menyebut konsep hubungan erat antara nama dan pekerjaan. Istilah aptronim diperkirakan telah diciptakan oleh kolumnis surat kabar Amerika bernama Franklin P. Adams pada awal abad ke-20. Frank Nuessel sebagai ahli bahasa juga menciptakan "aptonym" tanpa 'r' pada tahun 1992.[12] Beberapa sinonim lainnya ialah 'euonym',[13] 'Perfect Fit Last Name' (PFLN),[14] dan 'namephreak'.[6] Dalam ilmu sastra, nama yang sangat sesuai dengan karakternya disebut dengan 'charactonym'.[15] Charactonym kerap digunakan penulis terkenal seperti Charles Dickens (Mr. Gradgrind sebagai nama kepala sekolah yang lalim)[16] dan William Shakespeare (Perdita sebagai bayi yang hilang di The Winter's Tale).[17] Charactonym juga terkadang dijadikan bahan candaan, seperti karakter fiksi "Major Major Major Major" dalam Catch-22 karya Joseph Heller. "Major Major Major Major" sendiri merupakan panggilan candaan yang diberikan oleh ayah Heller kepadanya dan seiring waktu bertransformasi menjadi humor "major" yang dipromosikan mesin IBM.[18] Berbeda dengan determinisme nominatif, konsep apronim dan beberapa sinonimnya tidak menyoroti aspek kausalitas, seperti mengapa nama itu cocok.[19] Mengingat potensi jenaka dari aptronim, sejumlah surat kabar menghimpun nama-nama tersebut. Herb Caen selaku kolumnis San Francisco Chronicle mencatat nama-nama unik kiriman pembaca, di antaranya: guru pengganti bernama Mr. Fillin, guru piano bernama Patience Scales, dan juru bicara Vatikan untuk melawan musik rock 'n roll yakni Cardinal Rapsong. Hal serupa juga dilakukan oleh jurnalis Bob Levey dalam The Washington Post, di antaranya: seorang konsultan industri makanan bernama Faith Popcorn, seorang letnan bernama Sergeant, dan seorang akuntan pajak bernama Shelby Goldgrab.[20] Selain itu, surat kabar Belanda Het Parool juga memiliki kolom "Nomen est omen"[21][D] untuk menampilkan apronim dengan nama-nama berbahasa Belanda.[22] Kolektor nama juga telah menerbitkan buku apronim.[23] Cendekiawan onomastika bernama RM Rennick menyerukan verifikasi dari apronim yang muncul di kolom surat kabar dan buku.[24] Sementara daftar apronim dalam bidang sains, kedokteran, dan hukum dinilai lebih dapat dipercaya terkait karena bersumber dari sesuatu yang mudah diverifikasi.[25] DefinisiDeterminisme nominatif secara harfiah berarti "nama yang mendorong sebuah hasil",[26] didefinisikan sebagai sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa individu cenderung tertarik pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan nama individu tersebut. Nama itu dianggap cocok karena individu secara tidak sadar membuat diri mereka cocok dengan nama tersebut. Determinisme nominatif berbeda dari konsep apronim karena berfokus pada kausalitas.[21] Istilah ini pertama kali muncul di kolom "Feedback" majalah New Scientist tahun 1994. Sejumlah peristiwa memancing kecurigaan terhadap editor John Hoyland yang menulis di edisi 5 November:[27][28][29][30]
John Hoyland dan Mike Holderness selaku editor Feedback kemudian mengadopsi istilah 'determinisme nominatif' seperti yang disarankan oleh pembaca CR Cavonius. Istilah tersebut muncul perdana pada edisi 17 Desember.[26] Meski majalah tersebut berusaha menyudahi topik tersebut sepanjang beberapa dekade, tetapi pembaca tetap mengirimkan contoh nama-namanya. Misalnya saja, salah satu juru bicara Angkatan Laut AS yang disiapkan untuk menjawab pertanyaan wartawan tentang kamp tahanan Teluk Guantanamo bernama Lieutenant Mike Kafka; penulis buku The Imperial Animal bernama Lionel Tiger dan Robin Fox;[31] dan juru bicara Asosiasi Kepala Polisi Inggris (Inggris: Association of Chief Police Officers) untuk senjata tajam bernama Alfred Hitchcock.[32] Seperti New Scientist, istilah determinisme nominatif hanya berlaku untuk sebuah pekerjaan.[30][31] Penulis New Scientist menggunakan istilah ini pada kontribusi lainnya, kecuali editor Roger Highfield dalam kolom Evening Standard yang menuliskan istilah ini sebagai "inti kehidupan".[33][34][35][36][E] Istilah lain untuk menyebut efek psikologis kecenderungan nama ini telah digunakan secara sporadis sebelum tahun 1994. Roberta Frank menggunakan istilah 'determinisme onomastika' pada awal tahun 1970. Psikolog Jerman Wilhelm Stekel membahas tentang "Die Verpflichtung des Namens" (arti: kewajiban untuk nama) pada tahun 1911. Pada lingkup di luar sains, Tom Stoppard sebagai penulis naskah menggunakan istilah 'cognomen syndrome' dalam drama Jumpers tahun 1972.[37][38] Dalam sejarah Romawi Kuno, kekuatan prediksi nama seseorang dijumpai dalam pepatah Latin "nomen est omen", yang berarti 'nama adalah tanda'.[21] Pepatah ini masih digunakan sampai sekarang dalam bahasa Inggris[21] dan bahasa lain, seperti Prancis,[39] Jerman, Italia, Belanda, dan Slovenia.[40] New Scientist menciptakan istilah 'kontradeterminisme nominatif' untuk menyebut individu yang berkontradiksi antara nama dan pekerjaannya. Contohnya seperti: praktisi anggur bernama Andrew Waterhouse,[41] calon dokter bernama Thomas Edward Kill, yang kemudian mengubah namanya menjadi Jirgensohn, dan Uskup Agung Manila bernama Cardinal Sin.[42][43] [F] Sementara itu, sinonim determinisme nominatif seperti 'inaptronim' juga terkadang digunakan.[44] RisetKerangka teoritisIlmuwan pertama yang membahas efek nama terhadap penentuan karier individu adalah psikolog Jerman awal abad ke-20.[6] Wilhelm Stekel menyebutnya sebagai "kewajiban nama" dalam konteks perilaku kompulsif dan pilihan pekerjaan.[45] Sedangkan, Karl Abraham mengatakan bahwa penentuan nama seseorang bisa saja disebabkan oleh pewarisan sifat atau karakter dari nenek moyangnya. Abraham lantas menduga bahwa kemungkinan keluarga dengan nama yang cocok mencoba untuk menghayati nama mereka dengan cara tertentu.[10] Pada tahun 1952, Carl Jung merujuk pada karya Stekel untuk mengaitkan hal tersebut dengan teori sinkronisitas (peristiwa tanpa hubungan sebab akibat yang tampaknya terkait):[46]
Jung merinci temuannya dan beberapa psikolog lainnya terkait fenomena tersebut, di antaranya Herr Freud (Joy) memperjuangkan prinsip kegembiraan, Herr Adler (Eagle) keinginan untuk berkuasa, Herr Jung (Young) gagasan tentang kelahiran kembali.[46] Psikolog Lawrence Casler pada tahun 1975 menyerukan penelitian empiris untuk menyelidiki kemungkinan fenomena ini di tempat kerja atau hanya pengaruh Lady Luck dalam kecocokan karier seseorang dengan namanya. Ia kemudian mengemukakan tiga kemungkinan alasan determinisme nominatif, yakni citra diri dan ekspektasi diri individu dipengaruhi secara internal oleh nama seseorang; nama berperan sebagai stimulus sosial yang menciptakan ekspektasi pada orang lain yang kemudian membangkitkan komunikasi pribadi; dan terkait pengaruh genetika yang diturunkan dari generasi ke generasi.[47] Pelham, Mirenberg, dan Jones (2002) menyelidiki lebih jauh alasan pertama Casler terkait fenomena ini. Casler menekankan bahwa seseorang memiliki keinginan dasar untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri dan berperilaku sesuai dengan keinginan itu. Hubungan positif otomatis ini akan memengaruhi perasaan dalam hampir seluruh perkara yang menyangkut diri pribadi. Mengacu pada "mere ownership effect" yang menyatakan bahwa kecenderungan orang untuk menyukai sesuatu jika ia memilikinya, para peneliti berasumsi bahwa seseorang akan mengembangkan afeksi terhadap objek dan konsep yang diasosiasikan dengan diri, seperti halnya nama.[48][49][G] Mereka menyebut fenomena di bawah alam sadar ini sebagai "egoisme implisit".[50] Uri Simonsohn menyatakan bahwa egoisme implisit hanya dapat berlaku ketika orang tidak lagi menaruh perhatian terhadap sebuah pilihan. Sehingga, keputusan besar seperti jalur karier seseorang kemungkinan tidak akan terjadi hanya karena efek tersebut. Sedangkan, keputusan berisiko rendah seperti halnya menentukan badan amal akan menunjukkan efek ini.[51] Raymond Smeets mengatakan bahwa jika egoisme implisit berasal dari evaluasi positif diri, maka orang dengan penghargaan diri yang rendah tidak akan tertarik pada pilihan yang terkait dengan diri mereka. Oleh sebab itu, mereka mungkin menjauh dari pilihan karier tersebut. Sebuah percobaan laboratorium telah mengonfirmasi hal ini.[52] Bukti empirisMereka yang memiliki kesesuaian nama dengan kariernya memaparkan alasan berbeda tentang fenomena ini. Igor Judge, mantan Ketua Hakim Agung Inggris dan Wales, mengatakan bahwa ia tidak mengingat siapapun yang berkomentar mengenai profesi yang ditakdirkan kepadanya semasa kecil. Ia menambahkan bahwa hal itu diyakininya sebagai kebetulan belaka. Sedangkan, James Counsell yang memilih karier di bidang hukum seperti ayahnya, saudara kandungnya, dan dua kerabat jauhnya, mengatakan bahwa dirinya telah terpapar karier itu sejak kecil dan melihat karier tersebut sebagai pilihan terbaiknya.[21] Sementara, Sue Yoo, seorang pengacara Amerika, mengatakan bahwa ketika ia masih belia, orang-orang mendesaknya untuk menjadi seorang pengacara karena namanya.[53] Storm Field yang bekerja sebagai reporter cuaca tidak begitu yakin tentang pengaruh namanya. Field mengatakan bahwa kemungkinan ia terinspirasi oleh sang ayah, Dr. Frank Field, yang juga berprofesi sebagai reporter cuaca.[53] Seorang profesor psikologi bernama Lewis Lipsitt, yang juga kolektor apronim,[54] sedang mengajar tentang determinisme nominatif di kelas ketika seorang siswa menyadari bahwa nama "Lipsitt" juga contoh dari fenomena ini. Prof. Lipsitt sendiri meneliti perilaku mengisap pada bayi. Prof. Lipsitt kemudian mengatakan bahwa hal itu tak pernah terpikirkan olehnya.[55] Pendeta Gereja Inggris Michael Vickers, menolak untuk meyakini relasi nama dengan keputusannya menjadi vikaris. Sebaliknya, ia justru menyatakan bahwa mungkin dalam beberapa kasus individu justru ingin memilih karier terlepas dari nama mereka daripada selaras dengan nama yang ditakdirkannya.[34]
— James Counsell, Pengacara Mengingat fenomena kesesuaian nama dengan pilihan karier seorang menjadi isu menarik, sejumlah ilmuwan seperti Michalos dan Smeets, mempertanyakan pengaruh nyata dari determinisme nominatif.[21][52] Mereka berargumen bahwa klaim bahwa nama memengaruhi keputusan hidup seseorang merupakan fenomena yang tak biasa, sehingga memerlukan pembuktian ekstra.[56] Yang terjadi saat ini adalah hanya sejumlah kasus yang tampaknya mewakili determinisme nominatif ditampilkan, sementara yang bertentangan diabaikan. Oleh sebab itu, diperlukan analisis masif pada sebagian besar nama-nama tersebut.[57] Pelham, Mirenberg, dan Jones pada tahun 2002 menganalisis berbagai database yang berisi nama depan, nama keluarga, pekerjaan, kota dan negara. Pelham dkk (2002) menyimpulkan bahwa orang bernama Dennis tertarik pada kedokteran gigi. Hal itu mereka peroleh setelah menghimpun jumlah dokter gigi bernama Dennis (482) dari database dokter gigi AS. Selanjutnya, mereka menggunakan Sensus 1990 dan memperoleh nama Walter sebagai nama yang paling populer setelah Dennis. Mereka merinci probabilitas laki-laki AS dipanggil dengan nama Dennis dan Walter berturut-turut ialah 0,415% dan 0,416%. Para peneliti kemudian menghimpun jumlah dokter gigi bernama Walter (257). Selanjutnya, mereka membandingkan frekuensi relatif Dennis dengan Walter, yang membawa kesimpulan bahwa nama Dennis paling mewakili bidang kedokteran gigi.[50] Melalui makalah ilmiah tahun 2011, Uri Simonsohn mengkritik gagasan Pelham dkk (2002) terkait tidak adanya pertimbangan atas faktor pembaur dan juga menyoroti bahwa nama Dennis dan Walter telah menjadi nama populer dalam beberapa dekade terakhir. Simonsohn lebih jauh mengatakan bahwa Walter tergolong nama kuno. Sehingga, lebih mungkin bagi Pelham dkk (2002) untuk menemukan orang bernama Dennis dalam pekerjaan apapun dan bukan hanya dokter gigi, sementara orang bernama Walter berada dalam usia pensiun. Simonsohn membuktikannya dengan data bahwa jumlah pengacara bernama Dennis jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengacara bernama Walter.[51][58][59][H] Menanggapi kritik Simonsohn terhadap metode mereka sebelumnya, Pelham dan Mauricio mempublikasikan sebuah studi pada tahun 2015. Studi tersebut menegaskan bahwa saat ini mereka telah mengendalikan faktor gender, etnis, dan pendidikan.[60][61][I] Dalam sebuah penelitian, Pelham dan Mauricio menggunakan data sensus dan menemukan bahwa laki-laki secara tidak proporsional bekerja di 11 pekerjaan yang gelarnya sesuai dengan nama keluarga mereka. Misalnya, Baker, Carpenter, dan Farmer.[62] Michalos (2009) menyelidiki jumlah individu dengan nama keluarga Counsell yang terdaftar sebagai pengacara independen di Inggris dan Wales dibandingkan nama orang keseluruhan di Inggris dan Wales. Mengingat frekuensi nama yang rendah di Inggris dan Wales, Michalos berharap tidak menemukan seorang pun yang terdaftar. Namun, ternyata ia menemukan tiga pengacara bernama Counsell.[21] Limb, Limb, Limb, dan Limb pada tahun 2015 menerbitkan makalah ilmiah yang mempelajari efek nama keluarga terhada[ spesialisasi medis. Mereka melihat 313.445 entri dalam daftar medis dari General Medical Council dan mengidentifikasi nama keluarga yang cocok untuk spesialisasi tersebut. Sebagai contoh, Limb untuk ahli bedah ortopedi dan Doctor untuk kedokteran secara umum. Mereka menemukan bahwa frekuensi nama yang relevan dengan kedokteran dan subspesialisasi jauh lebih besar dari yang diharapkan secara kebetulan. Proporsi terbesarnya adalah nama yang dalam bahasa Inggris memiliki berbagai istilah alternatif untuk bagian anatomi yang dimaksud (atau merujuk pada fungsinya). Contohnya, individu dengan nama keluarga Hardwick dan Woodcock dalam kedokteran genitourinari dan individu dengan nama keluarga Burns, Cox, dan Ball dalam bidang urologi. Ahli saraf memiliki nama yang relevan dengan kedokteran secara umum, tetapi jauh lebih sedikit yang memiliki nama yang secara langsung relevan dengan spesialisasi mereka (1 dari setiap 302 orang). Dalam studi ini, Limb, Limb, Limb, dan Limb,mereka tidak memperhitungkan faktor pembaur.[63] Pada tahun 2010, Abel menyimpulkan hal yang serupa. Dalam penelitiannya, ia membandingkan dokter dan pengacara yang nama depan atau belakangnya dimulai dengan kombinasi tiga huruf yang mewakili profesi mereka, misalnya "doc", "law", dan juga menemukan hubungan yang signifikan antara nama dan profesi. Abel juga menemukan bahwa huruf awal nama belakang dokter secara signifikan terkait dengan subspesialisasi mereka. Misalnya, Raymonds lebih cenderung menjadi ahli radiologi daripada dokter kulit.[64] Menyoroti alasan ketiga Casler tentang determinisme nominatif terkait genetika, para peneliti yakni Voracek, Rieder, Stieger, dan Swami menemukan bukti yang mendukung hal tersebut pada tahun 2015. Mereka mengemukakan bahwa individu dengan nama Smiths cenderung mewarisi kemampuan fisik nenek moyang mereka yang berprofesi sebagai pandai besi. Hal ini dibuktikan oleh data yang menunjukkan kemampuan di atas rata-rata untuk aktivitas yang berhubungan dengan kekuatan fisik. Sementara itu, individu dengan nama keluarga Tailor atau ejaan serupa, ditemukan memiliki kemampuan dalam hal keterampilan, meski hasilnya tidak signifikan secara statistik. Voracek, Rieder, Stieger, dan Swami mengatakan bahwa hipotesis genetik-sosial tampak lebih tepat menjadi alasan determinisme nominatif dibandingkan hipotesis efek egoisme implisit.[65] Catatan kaki
Referensi
|