Share to:

 

Determinisme nominatif

Sprinter Jamaika bernama Usain Bolt [1]

Determinisme nominatif adalah sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa individu cenderung tertarik pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan nama individu tersebut. Istilah ini pertama kali muncul di majalah New Scientist tahun 1994, ketika kolom Feedback membahas sejumlah studi tentang kecocokan bidang pekerjaan dengan nama keluarga seseorang. Contohnya meliputi buku karangan Daniel Snowman yang membahas penjelajahan kutub dan sebuah artikel tentang urologi yang ditulis oleh dua peneliti bernama Splatt dan Weedon.[2] Contoh-contoh tersebut lantas menimbulkan spekulasi kecil terkait adanya efek psikologis tertentu. Sejak kemunculan determinisme nominatif, istilah tersebut telah dibahas berulang di New Scientist sejalan dengan pembaca yang terus mengirimkan contoh. Determinisme nominatif berbeda dari konsep aptronim maupun sinonimnya terkait kausalitasnya. Hal ini karena aptronim merupakan sebuah kebetulan nama yang cocok dengan bidangnya, tanpa mengatakan alasan kecocokannya.

Gagasan bahwa individu memiliki kecenderungan untuk merasa cocok dengan profesi yang sesuai dengan namanya diusulkan oleh Carl Gustav Jung. Jung memberi contoh, yakni Sigmund Freud yang meneliti tentang kegembiraan, sementara Freud sendiri adalah nama keluarga yang berarti suka cita. Sejumlah studi empiris belakangan ini menunjukkan bahwa profesi tertentu diemban oleh orang-orang dengan nama keluarga yang sesuai, meskipun metode studi ini telah ditentang. Salah satu penjelasan mengenai determinisme nominatif dapat dikaitkan oleh adanya egoisme implisit. Egoisme implisit menyatakan bahwa manusia memiliki preferensi bawah sadar untuk hal-hal yang mereka kaitkan dengan diri mereka sendiri.

Latar belakang

Dalam sejarah, banyak orang yang dinamai berdasarkan bidang pekerjaan tertentu yang menyebabkan orang tersebut merasa cocok dengan pekerjaan itu.[3] Seiring waktu, cara penamaan orang mulai berubah.[4] Pada masa pra-perkotaan, seseorang hanya memiliki nama tunggal. Misalnya, nama "Beornheard" untuk seseorang yang mendiami Anglo-Saxon.[3][5][A] Nama tunggal dipilih karena arti yang dikandungnya ataupun diperuntukkan sebagai nama panggilan. Nama keluarga baru disematkan setelah peristiwa penaklukan Norman, contohnya adalah Edmund Ironside.[3] Nama keluarga dibuat agar sesuai dengan orang yang hendak dinamai. Nama tersebut sebagian besarnya tergolong patronim (misal: John yang merupakan putra William dinamai sebagai John Williamson), mendeskripsikan pekerjaan (misal: John Carpenter), berupa karakter atau sifat (misal: John Long), atau merujuk pada lokasi tertentu (misal: John dari Acton dinamai sebagai John Acton). Pada awalnya, nama-nama tersebut tidak diwariskan, tetapi semenjak pertengahan abad ke-14 nama-nama tersebut menjadi milik generasi di bawahnya. Nama keluarga yang berkaitan dengan perdagangan atau kerajinan menjadi pelopor pewarisan nama secara turun-menurun. Hal ini disebabkan karena kerajinan merupakan bidang yang biasanya bertahan dalam keluarga selama beberapa generasi.[5][6][B] Pewarisan nama sehubungan dengan jenis pekerjaan tertentu mengalami penurunan karena iklim dagang yang membuat seorang saudagar tak mengikuti jejak pekerjaan ayahnya.[4] Contohnya, sebuah nama pada abad ke-14 yakni "Roger Carpenter" yang berprofesi sebagai pedagang rempah-rempah.[3]

Aspek lain yang diperhatikan berkaitan dengan penamaan adalah menyangkut makna yang terkandung dalam sebuah nama. Pada abad ke-17 dI Inggris, penamaan dilakukan secara hati-hati dan anak-anak dianjurkan menjalani hidup sesuai dengan arti nama mereka.[7] William Jenkyn, seorang pendeta Inggris, pada tahun 1652 berpendapat bahwa nama depan sebaiknya menjadi pengingat seseorang akan perannya di dunia ini.[8] Ketika nama-nama Puritan seperti Faith, Fortitude dan Grace muncul pada tahun 1623, William Camden selaku sejarawan Inggris menganjurkan pemilihan nama yang didasarkan pada "makna yang baik dan berbudi luhur". Hal ini karena nama tersebut dapat menginspirasi pemiliknya untuk melakukan tindakan yang baik.[4][7] Semenjak kemunculan Kerajaan Inggris, sistem penamaan bahasa Inggris dan nama keluarga Inggris tersebar di banyak wilayah di dunia.[9]

Pada awal abad ke-20, Smith dan Taylor menjadi dua dari tiga nama keluarga populer di Inggris. Keduanya merupakan nama berbasiskan pekerjaan, walau profesi pandai besi dan penjahit sudah sangat sedikit.[3][10][C] Temuan nama dan pekerjaan yang saling berhubungan ini menjadi penting untuk diteliti. Majalah Kentish Note Book edisi 1888 memuat beberapa contoh fenomena tersebut, di antaranya sejumlah tukang antar bernama Carter; hosier (istilah untuk menyebut penjual stoking) bernama Hosegood, juru lelang bernama Sales, dan pedagang kain bernama Cuff.[11] Semenjak itu, mulai bermunculan istilah untuk menyebut konsep hubungan erat antara nama dan pekerjaan. Istilah aptronim diperkirakan telah diciptakan oleh kolumnis surat kabar Amerika bernama Franklin P. Adams pada awal abad ke-20. Frank Nuessel sebagai ahli bahasa juga menciptakan "aptonym" tanpa 'r' pada tahun 1992.[12] Beberapa sinonim lainnya ialah 'euonym',[13] 'Perfect Fit Last Name' (PFLN),[14] dan 'namephreak'.[6] Dalam ilmu sastra, nama yang sangat sesuai dengan karakternya disebut dengan 'charactonym'.[15] Charactonym kerap digunakan penulis terkenal seperti Charles Dickens (Mr. Gradgrind sebagai nama kepala sekolah yang lalim)[16] dan William Shakespeare (Perdita sebagai bayi yang hilang di The Winter's Tale).[17] Charactonym juga terkadang dijadikan bahan candaan, seperti karakter fiksi "Major Major Major Major" dalam Catch-22 karya Joseph Heller. "Major Major Major Major" sendiri merupakan panggilan candaan yang diberikan oleh ayah Heller kepadanya dan seiring waktu bertransformasi menjadi humor "major" yang dipromosikan mesin IBM.[18] Berbeda dengan determinisme nominatif, konsep apronim dan beberapa sinonimnya tidak menyoroti aspek kausalitas, seperti mengapa nama itu cocok.[19]

Mengingat potensi jenaka dari aptronim, sejumlah surat kabar menghimpun nama-nama tersebut. Herb Caen selaku kolumnis San Francisco Chronicle mencatat nama-nama unik kiriman pembaca, di antaranya: guru pengganti bernama Mr. Fillin, guru piano bernama Patience Scales, dan juru bicara Vatikan untuk melawan musik rock 'n roll yakni Cardinal Rapsong. Hal serupa juga dilakukan oleh jurnalis Bob Levey dalam The Washington Post, di antaranya: seorang konsultan industri makanan bernama Faith Popcorn, seorang letnan bernama Sergeant, dan seorang akuntan pajak bernama Shelby Goldgrab.[20] Selain itu, surat kabar Belanda Het Parool juga memiliki kolom "Nomen est omen"[21][D] untuk menampilkan apronim dengan nama-nama berbahasa Belanda.[22] Kolektor nama juga telah menerbitkan buku apronim.[23] Cendekiawan onomastika bernama RM Rennick menyerukan verifikasi dari apronim yang muncul di kolom surat kabar dan buku.[24] Sementara daftar apronim dalam bidang sains, kedokteran, dan hukum dinilai lebih dapat dipercaya terkait karena bersumber dari sesuatu yang mudah diverifikasi.[25]

Definisi

Determinisme nominatif secara harfiah berarti "nama yang mendorong sebuah hasil",[26] didefinisikan sebagai sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa individu cenderung tertarik pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan nama individu tersebut. Nama itu dianggap cocok karena individu secara tidak sadar membuat diri mereka cocok dengan nama tersebut. Determinisme nominatif berbeda dari konsep apronim karena berfokus pada kausalitas.[21]

Istilah ini pertama kali muncul di kolom "Feedback" majalah New Scientist tahun 1994. Sejumlah peristiwa memancing kecurigaan terhadap editor John Hoyland yang menulis di edisi 5 November:[27][28][29][30]

Kami baru-baru ini menemukan sebuah buku baru berjudul Pole Positions—The Polar Regions and the Future of the Planet yang ditulis oleh Daniel Snowman. Beberapa minggu selanjutnya, kami menerima salinan London Under London—A Subterranean Guide, yang salah satu penulisnya bernama Richard Trench. Sehingga, sangat menarik untuk melihat Jen Hunt dari Universitas Manchester dalam edisi Oktober The Psychologist berkata, "Para penulis tertarik pada bidang penelitian yang sesuai dengan nama keluarga mereka." Sebagai contoh, artikel inkontinensia di British Journal of Urology yang ditulis oleh AJ Splatt dan D. Weedon. Kami merasa inilah waktu yang tepat untuk membahas isu ini secara mendalam. Anda diundang untuk mengirimkan contoh-contoh fenomena ini di bidang sains dan teknologi (dengan referensi) bersama dengan hipotesis yang anda miliki tentang bagaimana hal itu bisa terjadi.

John Hoyland dan Mike Holderness selaku editor Feedback kemudian mengadopsi istilah 'determinisme nominatif' seperti yang disarankan oleh pembaca CR Cavonius. Istilah tersebut muncul perdana pada edisi 17 Desember.[26] Meski majalah tersebut berusaha menyudahi topik tersebut sepanjang beberapa dekade, tetapi pembaca tetap mengirimkan contoh nama-namanya. Misalnya saja, salah satu juru bicara Angkatan Laut AS yang disiapkan untuk menjawab pertanyaan wartawan tentang kamp tahanan Teluk Guantanamo bernama Lieutenant Mike Kafka; penulis buku The Imperial Animal bernama Lionel Tiger dan Robin Fox;[31] dan juru bicara Asosiasi Kepala Polisi Inggris (Inggris: Association of Chief Police Officers) untuk senjata tajam bernama Alfred Hitchcock.[32]

Seperti New Scientist, istilah determinisme nominatif hanya berlaku untuk sebuah pekerjaan.[30][31] Penulis New Scientist menggunakan istilah ini pada kontribusi lainnya, kecuali editor Roger Highfield dalam kolom Evening Standard yang menuliskan istilah ini sebagai "inti kehidupan".[33][34][35][36][E]

Istilah lain untuk menyebut efek psikologis kecenderungan nama ini telah digunakan secara sporadis sebelum tahun 1994. Roberta Frank menggunakan istilah 'determinisme onomastika' pada awal tahun 1970. Psikolog Jerman Wilhelm Stekel membahas tentang "Die Verpflichtung des Namens" (arti: kewajiban untuk nama) pada tahun 1911. Pada lingkup di luar sains, Tom Stoppard sebagai penulis naskah menggunakan istilah 'cognomen syndrome' dalam drama Jumpers tahun 1972.[37][38] Dalam sejarah Romawi Kuno, kekuatan prediksi nama seseorang dijumpai dalam pepatah Latin "nomen est omen", yang berarti 'nama adalah tanda'.[21] Pepatah ini masih digunakan sampai sekarang dalam bahasa Inggris[21] dan bahasa lain, seperti Prancis,[39] Jerman, Italia, Belanda, dan Slovenia.[40]

New Scientist menciptakan istilah 'kontradeterminisme nominatif' untuk menyebut individu yang berkontradiksi antara nama dan pekerjaannya. Contohnya seperti: praktisi anggur bernama Andrew Waterhouse,[41] calon dokter bernama Thomas Edward Kill, yang kemudian mengubah namanya menjadi Jirgensohn, dan Uskup Agung Manila bernama Cardinal Sin.[42][43] [F] Sementara itu, sinonim determinisme nominatif seperti 'inaptronim' juga terkadang digunakan.[44]

Riset

Kerangka teoritis

Ilmuwan pertama yang membahas efek nama terhadap penentuan karier individu adalah psikolog Jerman awal abad ke-20.[6] Wilhelm Stekel menyebutnya sebagai "kewajiban nama" dalam konteks perilaku kompulsif dan pilihan pekerjaan.[45] Sedangkan, Karl Abraham mengatakan bahwa penentuan nama seseorang bisa saja disebabkan oleh pewarisan sifat atau karakter dari nenek moyangnya. Abraham lantas menduga bahwa kemungkinan keluarga dengan nama yang cocok mencoba untuk menghayati nama mereka dengan cara tertentu.[10] Pada tahun 1952, Carl Jung merujuk pada karya Stekel untuk mengaitkan hal tersebut dengan teori sinkronisitas (peristiwa tanpa hubungan sebab akibat yang tampaknya terkait):[46]

Kami menjadi kebingungan ketika harus mengambil keputusan tentang fenomena yang disebut Stekel sebagai "paksaan atas nama". Apa yang dia maksud mungkin saja merupakan kebetulan belaka antara nama seseorang dan karakter uniknya atau profesinya. Misalnya, Herr Feist (Mr. Stout) adalah menteri makanan, Herr Rosstäuscher (Mr. Horsetrader) adalah seorang pengacara, Herr Kalberer (Mr. Calver) adalah seorang dokter kandungan. Apakah ini hanya kebetulan belaka ataukah ada efek sugestif dari nama tersebut seperti yang dikemukakan oleh Stekel, atau apakah itu "kebetulan yang penuh arti"?

Jung merinci temuannya dan beberapa psikolog lainnya terkait fenomena tersebut, di antaranya Herr Freud (Joy) memperjuangkan prinsip kegembiraan, Herr Adler (Eagle) keinginan untuk berkuasa, Herr Jung (Young) gagasan tentang kelahiran kembali.[46]

Psikolog Lawrence Casler pada tahun 1975 menyerukan penelitian empiris untuk menyelidiki kemungkinan fenomena ini di tempat kerja atau hanya pengaruh Lady Luck dalam kecocokan karier seseorang dengan namanya. Ia kemudian mengemukakan tiga kemungkinan alasan determinisme nominatif, yakni citra diri dan ekspektasi diri individu dipengaruhi secara internal oleh nama seseorang; nama berperan sebagai stimulus sosial yang menciptakan ekspektasi pada orang lain yang kemudian membangkitkan komunikasi pribadi; dan terkait pengaruh genetika yang diturunkan dari generasi ke generasi.[47]

Pelham, Mirenberg, dan Jones (2002) menyelidiki lebih jauh alasan pertama Casler terkait fenomena ini. Casler menekankan bahwa seseorang memiliki keinginan dasar untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri dan berperilaku sesuai dengan keinginan itu. Hubungan positif otomatis ini akan memengaruhi perasaan dalam hampir seluruh perkara yang menyangkut diri pribadi. Mengacu pada "mere ownership effect" yang menyatakan bahwa kecenderungan orang untuk menyukai sesuatu jika ia memilikinya, para peneliti berasumsi bahwa seseorang akan mengembangkan afeksi terhadap objek dan konsep yang diasosiasikan dengan diri, seperti halnya nama.[48][49][G] Mereka menyebut fenomena di bawah alam sadar ini sebagai "egoisme implisit".[50] Uri Simonsohn menyatakan bahwa egoisme implisit hanya dapat berlaku ketika orang tidak lagi menaruh perhatian terhadap sebuah pilihan. Sehingga, keputusan besar seperti jalur karier seseorang kemungkinan tidak akan terjadi hanya karena efek tersebut. Sedangkan, keputusan berisiko rendah seperti halnya menentukan badan amal akan menunjukkan efek ini.[51] Raymond Smeets mengatakan bahwa jika egoisme implisit berasal dari evaluasi positif diri, maka orang dengan penghargaan diri yang rendah tidak akan tertarik pada pilihan yang terkait dengan diri mereka. Oleh sebab itu, mereka mungkin menjauh dari pilihan karier tersebut. Sebuah percobaan laboratorium telah mengonfirmasi hal ini.[52]

Bukti empiris

Portrait of a man in a business suit
Igor Judge, seorang pensiunan hakim

Mereka yang memiliki kesesuaian nama dengan kariernya memaparkan alasan berbeda tentang fenomena ini. Igor Judge, mantan Ketua Hakim Agung Inggris dan Wales, mengatakan bahwa ia tidak mengingat siapapun yang berkomentar mengenai profesi yang ditakdirkan kepadanya semasa kecil. Ia menambahkan bahwa hal itu diyakininya sebagai kebetulan belaka. Sedangkan, James Counsell yang memilih karier di bidang hukum seperti ayahnya, saudara kandungnya, dan dua kerabat jauhnya, mengatakan bahwa dirinya telah terpapar karier itu sejak kecil dan melihat karier tersebut sebagai pilihan terbaiknya.[21] Sementara, Sue Yoo, seorang pengacara Amerika, mengatakan bahwa ketika ia masih belia, orang-orang mendesaknya untuk menjadi seorang pengacara karena namanya.[53] Storm Field yang bekerja sebagai reporter cuaca tidak begitu yakin tentang pengaruh namanya. Field mengatakan bahwa kemungkinan ia terinspirasi oleh sang ayah, Dr. Frank Field, yang juga berprofesi sebagai reporter cuaca.[53] Seorang profesor psikologi bernama Lewis Lipsitt, yang juga kolektor apronim,[54] sedang mengajar tentang determinisme nominatif di kelas ketika seorang siswa menyadari bahwa nama "Lipsitt" juga contoh dari fenomena ini. Prof. Lipsitt sendiri meneliti perilaku mengisap pada bayi. Prof. Lipsitt kemudian mengatakan bahwa hal itu tak pernah terpikirkan olehnya.[55] Pendeta Gereja Inggris Michael Vickers, menolak untuk meyakini relasi nama dengan keputusannya menjadi vikaris. Sebaliknya, ia justru menyatakan bahwa mungkin dalam beberapa kasus individu justru ingin memilih karier terlepas dari nama mereka daripada selaras dengan nama yang ditakdirkannya.[34]

Saya ingat sewaktu kecil dulu saya berkata pada diri sendiri, "Tentu saja kau akan menjadi pengacara karena namamu." Berapa banyak yang terinternalisasi di alam bawah sadar sulit untuk dikatakan, tetapi fakta bahwa nama anda mirip bisa jadi merupakan alasan untuk menunjukkan lebih banyak minat pada suatu profesi daripada yang mungkin anda lakukan. Hal ini mungkin tampak sepele di mata orang dewasa, tetapi bagi seseorang terutama di tahun-tahun pencarian jati diri mereka, hal tersebut mungkin saja berpengaruh.

 — James Counsell, Pengacara

Mengingat fenomena kesesuaian nama dengan pilihan karier seorang menjadi isu menarik, sejumlah ilmuwan seperti Michalos dan Smeets, mempertanyakan pengaruh nyata dari determinisme nominatif.[21][52] Mereka berargumen bahwa klaim bahwa nama memengaruhi keputusan hidup seseorang merupakan fenomena yang tak biasa, sehingga memerlukan pembuktian ekstra.[56] Yang terjadi saat ini adalah hanya sejumlah kasus yang tampaknya mewakili determinisme nominatif ditampilkan, sementara yang bertentangan diabaikan. Oleh sebab itu, diperlukan analisis masif pada sebagian besar nama-nama tersebut.[57] Pelham, Mirenberg, dan Jones pada tahun 2002 menganalisis berbagai database yang berisi nama depan, nama keluarga, pekerjaan, kota dan negara. Pelham dkk (2002) menyimpulkan bahwa orang bernama Dennis tertarik pada kedokteran gigi. Hal itu mereka peroleh setelah menghimpun jumlah dokter gigi bernama Dennis (482) dari database dokter gigi AS. Selanjutnya, mereka menggunakan Sensus 1990 dan memperoleh nama Walter sebagai nama yang paling populer setelah Dennis. Mereka merinci probabilitas laki-laki AS dipanggil dengan nama Dennis dan Walter berturut-turut ialah 0,415% dan 0,416%. Para peneliti kemudian menghimpun jumlah dokter gigi bernama Walter (257). Selanjutnya, mereka membandingkan frekuensi relatif Dennis dengan Walter, yang membawa kesimpulan bahwa nama Dennis paling mewakili bidang kedokteran gigi.[50] Melalui makalah ilmiah tahun 2011, Uri Simonsohn mengkritik gagasan Pelham dkk (2002) terkait tidak adanya pertimbangan atas faktor pembaur dan juga menyoroti bahwa nama Dennis dan Walter telah menjadi nama populer dalam beberapa dekade terakhir. Simonsohn lebih jauh mengatakan bahwa Walter tergolong nama kuno. Sehingga, lebih mungkin bagi Pelham dkk (2002) untuk menemukan orang bernama Dennis dalam pekerjaan apapun dan bukan hanya dokter gigi, sementara orang bernama Walter berada dalam usia pensiun. Simonsohn membuktikannya dengan data bahwa jumlah pengacara bernama Dennis jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengacara bernama Walter.[51][58][59][H]

Menanggapi kritik Simonsohn terhadap metode mereka sebelumnya, Pelham dan Mauricio mempublikasikan sebuah studi pada tahun 2015. Studi tersebut menegaskan bahwa saat ini mereka telah mengendalikan faktor gender, etnis, dan pendidikan.[60][61][I] Dalam sebuah penelitian, Pelham dan Mauricio menggunakan data sensus dan menemukan bahwa laki-laki secara tidak proporsional bekerja di 11 pekerjaan yang gelarnya sesuai dengan nama keluarga mereka. Misalnya, Baker, Carpenter, dan Farmer.[62]

Michalos (2009) menyelidiki jumlah individu dengan nama keluarga Counsell yang terdaftar sebagai pengacara independen di Inggris dan Wales dibandingkan nama orang keseluruhan di Inggris dan Wales. Mengingat frekuensi nama yang rendah di Inggris dan Wales, Michalos berharap tidak menemukan seorang pun yang terdaftar. Namun, ternyata ia menemukan tiga pengacara bernama Counsell.[21]

Limb, Limb, Limb, dan Limb pada tahun 2015 menerbitkan makalah ilmiah yang mempelajari efek nama keluarga terhada[ spesialisasi medis. Mereka melihat 313.445 entri dalam daftar medis dari General Medical Council dan mengidentifikasi nama keluarga yang cocok untuk spesialisasi tersebut. Sebagai contoh, Limb untuk ahli bedah ortopedi dan Doctor untuk kedokteran secara umum. Mereka menemukan bahwa frekuensi nama yang relevan dengan kedokteran dan subspesialisasi jauh lebih besar dari yang diharapkan secara kebetulan. Proporsi terbesarnya adalah nama yang dalam bahasa Inggris memiliki berbagai istilah alternatif untuk bagian anatomi yang dimaksud (atau merujuk pada fungsinya). Contohnya, individu dengan nama keluarga Hardwick dan Woodcock dalam kedokteran genitourinari dan individu dengan nama keluarga Burns, Cox, dan Ball dalam bidang urologi. Ahli saraf memiliki nama yang relevan dengan kedokteran secara umum, tetapi jauh lebih sedikit yang memiliki nama yang secara langsung relevan dengan spesialisasi mereka (1 dari setiap 302 orang). Dalam studi ini, Limb, Limb, Limb, dan Limb,mereka tidak memperhitungkan faktor pembaur.[63] Pada tahun 2010, Abel menyimpulkan hal yang serupa. Dalam penelitiannya, ia membandingkan dokter dan pengacara yang nama depan atau belakangnya dimulai dengan kombinasi tiga huruf yang mewakili profesi mereka, misalnya "doc", "law", dan juga menemukan hubungan yang signifikan antara nama dan profesi. Abel juga menemukan bahwa huruf awal nama belakang dokter secara signifikan terkait dengan subspesialisasi mereka. Misalnya, Raymonds lebih cenderung menjadi ahli radiologi daripada dokter kulit.[64]

Menyoroti alasan ketiga Casler tentang determinisme nominatif terkait genetika, para peneliti yakni Voracek, Rieder, Stieger, dan Swami menemukan bukti yang mendukung hal tersebut pada tahun 2015. Mereka mengemukakan bahwa individu dengan nama Smiths cenderung mewarisi kemampuan fisik nenek moyang mereka yang berprofesi sebagai pandai besi. Hal ini dibuktikan oleh data yang menunjukkan kemampuan di atas rata-rata untuk aktivitas yang berhubungan dengan kekuatan fisik. Sementara itu, individu dengan nama keluarga Tailor atau ejaan serupa, ditemukan memiliki kemampuan dalam hal keterampilan, meski hasilnya tidak signifikan secara statistik. Voracek, Rieder, Stieger, dan Swami mengatakan bahwa hipotesis genetik-sosial tampak lebih tepat menjadi alasan determinisme nominatif dibandingkan hipotesis efek egoisme implisit.[65]

Catatan kaki

  1. ^ Orang Romawi diasumsikan menggunakan tiga nama dalam penamaannya. Misalnya, Marcus Tullius Cicero, di mana, Marcus sebagai praenomen, Tullius sebagai nomen gentilicium, dan Cicero sebagai cognomen.
  2. ^ Ayah Romawi kuno juga mewariskan cognomen ke anak-anak mereka. Menurut Gaius Plinius Secundus, cognomen yang berasal dari pekerjaan awalnya diambil dari pertanian. Sebagai contoh, Cicero yang berarti buncis. Ergo, Marcus Tullius Cicero adalah keturunan seorang petani buncis,
  3. ^ Seiring waktu banyak nama keluarga dalam sistem patrilineal yang punah. Atau bila masih disematkan, biasanya tergantung pada faktor-faktor seperti jumlah anak laki-laki, imigrasi, dan penggabungan nama keluarga perempuan dengan pasangan mereka setelah menikah. Ada peluang sebesar 43% bagi seseorang memiliki nama keluarga Korea berupa Kim, Lee atau Park. Galton–Watson memodelkan secara matematis berapa banyak peluang nama keluarga untuk bertahan. Ia menyimpulkan bahwa di bawah asumsi konstan 1 dalam 3 kemungkinan 0, 1 atau 2 anak laki-laki, ada kemungkinan 67% bahwa pada generasi keempat nama keluarga tersebut akan punah.
  4. ^ Nomen est omen adalah frase Latin yang berarti "nama adalah tanda". Hal ini dikaitkan dengan dramawan Romawi Plautus.
  5. ^ Misalnya, peneliti Keaney dkk yang melakukan studi tentang hubungan antara orang yang disebut Brady dan mereka yang memasang alat pacu jantung untuk bradikardia.
  6. ^ Selama bertahun-tahun, New Scientist telah melaporkan ragam topik terkait determinsme nominatif. Misalnya saja, ada 'determinisme nomatopoeic nominative' (misalnya, ilmuwan misi kepala Badan Antariksa Eropa Bernard Foing), 'indeterminisme nominatif' (untuk menjelaskan keberadaan ratusan artikel ilmiah yang pengarangnya termasuk Wong dan Wright), dan 'preferensialisme pekerjaan' (hipotesis bahwa pekerjaan seseorang memengaruhi selera seseorang, misalnya polisi menyukai lukisan karya John Constable).
  7. ^ Penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang menyukai nama yang diberikan kepada mereka. Penelitian lebih lanjut juga telah menemukan efek kuat yang disebut "name-letter effect":ketika diberi pilihan huruf, maka orang secara signifikan akan cenderung lebih memilih huruf yang menyusun nama mereka.
  8. ^ Variabel pengganggu juga berperan dalam penelitian tentang determinisme monogram. Pada tahun 1999, Christenfeld, Phillips, dan Glynn menyimpulkan bahwa orang yang memiliki monogram positif (misalnya, ACE atau VIP) hidup secara signifikan lebih lama daripada mereka yang memiliki inisial negatif (misalnya, PIG atau DIE). Kesimpulan ini didasarkan pada analisis ribuan surat kematian California antara tahun 1969 dan 1995. Morrison & Smith kemudian menunjukkan bahwa ini adalah artefak pengelompokan data berdasarkan usia saat kematian. Frekuensi perubahan inisial dari waktu ke waktu bisa menjadi variabel pengganggu. Memang ketika mengelompokkan data yang sama berdasarkan tahun lahir, mereka tidak menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara inisial dan panjangnya umur seseorang.
  9. ^ Pelham dan rekan-rekannya awalnya membela metode mereka terkait adanya kritik dari Simonsohn.

Referensi

  1. ^ Carter, Kate (2018). "Nominative determinism: who has the best name in running?". The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  2. ^ Hamilton-Miller, J. M. T. (1994). "The urethral syndrome and its management". Journal of Antimicrobial Chemotherapy (dalam bahasa Inggris). 33 (suppl A): 63–73. doi:10.1093/jac/33.suppl_A.63. ISSN 0305-7453. 
  3. ^ a b c d e Weekley, Ernest (1914). The romance of names. London: J. Murray. hlm. 70–80. ISBN 9781371474973. 
  4. ^ a b c Fowler, Alastair (2012). Literary names : personal names in English literaturee. Oxford: Oxford University Press. hlm. 5. ISBN 978-0-19-165098-7. OCLC 820011167.  [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ a b Salway, Benet (1994). "What's in a Name? A Survey of Roman Onomastic Practice from c . 700 B.C. to A.D. 700" (PDF). Journal of Roman Studies (dalam bahasa Inggris). 84 (2): 124–145. doi:10.2307/300873. ISSN 0075-4358. 
  6. ^ a b c Wilson, Stephen (1998). The means of naming : a social and cultural history of personal naming in Western Europe. London: UCL Press. hlm. 5. ISBN 9781857282450. OCLC 53706075.  [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ a b Camden, William (1984). Remains concerning Britain. Toronto: University of Toronto Press. hlm. 43. ISBN 978-0-8020-2457-2. OCLC 11717457. 
  8. ^ Jenkyn, William; Sherman, James (1839). An exposition upon the epistle of Jude : delivered in Christ-Church, London. London: Samuel Holdsworth. hlm. 7–14. ISBN 978-1175163585. 
  9. ^ American Council of Learned Societies. Committee on Linguistic and National Stocks in the Population of the United States (1969). Surnames in the United States census of 1790 ; an analysis of national origins of the population. Baltimore: Genealogical Pub. Co. hlm. 180. ISBN 978-0-8063-0004-7. OCLC 2579. 
  10. ^ a b McConnell, Barbarly Korper (2004). "Understanding information systems: What they do and why we need them". Serials Review (dalam bahasa Inggris). 30 (4): 380–381. doi:10.1080/00987913.2004.10764942. ISSN 0098-7913. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  11. ^ Feedback (2000). "Feedback". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  12. ^ Jarrett, Christian (2021). "How your name affects your personality". BBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  13. ^ Battistella, Edwin; Room, Adrian; Lawson, Edwin D. (1998). "An Alphabetical Guide to the Language of Name Studies". Language. 74 (1): 221. doi:10.2307/417627. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-11. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  14. ^ Levey, Bob (1985). "BOB LEVEY'S WASHINGTON". Washington Post (dalam bahasa Inggris). ISSN 0190-8286. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  15. ^ Merriam-Webster, Inc (1995). Merriam-Webster's encyclopedia of literature. Springfield: Merriam-Webster. hlm. 22. ISBN 978-0-87779-042-6. 
  16. ^ Lederer, Richard (1998). Crazy English : the ultimate joy ride through our language. New York: Pocket Books. hlm. 34. ISBN 978-1-4391-3894-6. OCLC 894782640.  [pranala nonaktif permanen]
  17. ^ Cavill, Paul (2016). The Oxford handbook of names and naming. Carole Hough, Daria Izdebska. Oxford, United Kingdom. hlm. 33. ISBN 978-0-19-965643-1. OCLC 917362682. 
  18. ^ Heller, Joseph (1961). Catch-22: a novel. New York: Simon & Schuster. hlm. 2–4. ISBN 9780684833392. OCLC 271160.  [pranala nonaktif permanen]
  19. ^ Dallison, Paul (2018). "Brief history of names that sound like jobs". POLITICO (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  20. ^ Levey, Bob (2000). "A New Batch of Perfect Fit Last Names". The Washington Post. Archived from the original on 2016-06-25. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  21. ^ a b c d e f g Michalos, Christina (2009). "In the Name of the Law". Counsel. 25 (4): 16–18. 
  22. ^ Hoekstra, Hans (2011). "Nomen est omen" (PDF). Het Parool. Archived from the original on 2016-08-07. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  23. ^ Dickson, Paul (1996). What's in a name? : reflections of an irrepressible name collector. Springfield: Merriam-Webster. hlm. 4. ISBN 978-0-87779-613-8. OCLC 35961489. 
  24. ^ Rennick, R. M. (1982). "The Alleged "Hogg Sisters," or Simple Ground Rules for Collectors of "Odd" Names". Names. 30 (3): 193–198. doi:10.1179/nam.1982.30.3.193. ISSN 1756-2279. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-07. Diakses tanggal 2022-03-31. 
  25. ^ Keaney, J. J.; Groarke, J. D.; Galvin, Z.; McGorrian, C.; McCann, H. A.; Sugrue, D.; Keelan, E.; Galvin, J.; Blake, G. (2013). "The Brady Bunch? New evidence for nominative determinism in patients' health: retrospective, population based cohort study". BMJ (dalam bahasa Inggris). 347 (dec12 3): f6627–f6627. doi:10.1136/bmj.f6627. ISSN 1756-1833. PMC 3898418alt=Dapat diakses gratis. PMID 24336304. 
  26. ^ a b Alter, Adam (2013). Drunk tank pink : and other unexpected forces that shape how we think, feel, and behave. New York: New York Press. hlm. 44. ISBN 978-1-59420-454-8. OCLC 796756072.  [pranala nonaktif permanen]
  27. ^ Leapman, Michael (2011). London. New York: DK Press. ISBN 978-0-7566-6917-1. OCLC 607975449.  [pranala nonaktif permanen]
  28. ^ Pearce, J.M.S. (2006). "Nominative Determinism or Aptronyms". European Neurology (dalam bahasa Inggris). 55 (2): 121–121. doi:10.1159/000092793. ISSN 0014-3022. 
  29. ^ Splatt, A. J. (1982). "The Urethral Syndrome: Experience with the Richardson Urethroplasty. A Review after 5 Years". British Journal of Urology (dalam bahasa Inggris). 54 (5): 566–566. doi:10.1111/j.1464-410X.1982.tb13595.x. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  30. ^ a b Feedback (1994). "Feedback". New Scientist. Archived from the original on 2016-12-23. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  31. ^ a b Feedback (2005). "Feedback". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  32. ^ Feedback (2007). "Feedback". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  33. ^ Highfield, Roger (2011). "The name game - the weird science of nominative determinism". The Evening Standard. Archived from the original on 2016-08-26. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  34. ^ a b Colls, Tom (2011). "When the name fits the job". BBC News. Archived from the original on 2016-08-28. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  35. ^ Telegraph staff (2011). "A person's surname can influence their career, experts claim - Telegraph". The Telegraph. Archived from the original on 2016-09-04. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  36. ^ Keaney, John J; Groarke, John D; Galvin, Zita; McGorrian, Catherine; McCann, Hugh A; Sugrue, Declan; Keelan, Edward; Galvin, Joseph; Blake, Gavin (2013). "The Brady Bunch? New evidence for nominative determinism in patients' health: retrospective, population based cohort study". The BMJ. 347: f6627. doi:10.1136/bmj.f6627. ISSN 0959-8138. PMC 3898418alt=Dapat diakses gratis. PMID 24336304. 
  37. ^ Gooden, Philip (2006). Name dropping? : a no-nonsense guide to the use of names in everyday language. London: A. & C Black. ISBN 978-0-7136-7588-7. OCLC 70230028.  [pranala nonaktif permanen]
  38. ^ Stoppard, Tom (1972). Jumpers. -. London: Faber. hlm. 23. ISBN 978-0-571-09977-1. 
  39. ^ Fibbi, Rosita (2003). Nomen est omen : Quand s'appeler Pierre, Afrim ou Mehmet fait la différence (PDF). Bern: Direction du programme PNR43. hlm. 1. ISBN 3-908117-69-0. OCLC 716828290. 
  40. ^ Henn, Carsten (2012). In Vino Veritas. Köln: Deu Press. hlm. 2. ISBN 978-3-86358-196-1. OCLC 857345207.  [pranala nonaktif permanen]
  41. ^ Feedback (2014). "Feedback: A whole world of TweetTM". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal Feedback. 
  42. ^ Feedback (1996). "Feedback". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  43. ^ Feedback (1999). "Feedback". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  44. ^ Nunn, Gary (2014). "Reckless by name, reckless by nature? (But at least he's not called Rich White) | Mind your language | Media | The Guardian". The Guardian. Archived from the original on 2016-08-25. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  45. ^ Erikson, Erik Homburger (1956). "The Problem of Ego Identity". Journal of the American Psychoanalytic Association (dalam bahasa Inggris). 4 (1): 56–121. doi:10.1177/000306515600400104. ISSN 0003-0651. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-05. Diakses tanggal 2022-04-05. 
  46. ^ a b Jung, C. G. (1972). Synchronicity: an acausal connecting principle;. London,: Routledge and Kegan Paul. hlm. 27. ISBN 0-7100-7416-6. OCLC 629196. 
  47. ^ Casler, Lawrence (1975). "Put the Blame on Name". Psychological Reports (dalam bahasa Inggris). 36 (2): 467–472. doi:10.2466/pr0.1975.36.2.467. ISSN 0033-2941. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  48. ^ Joubert, Charles E. (1985). "Factors Related to Individuals' Attitudes toward Their Names". Psychological Reports (dalam bahasa Inggris). 57 (3): 983–986. doi:10.2466/pr0.1985.57.3.983. ISSN 0033-2941. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  49. ^ Nuttin, Jozef M. (1985). "Narcissism beyond Gestalt and awareness: The name letter effect". European Journal of Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 15 (3): 353–361. doi:10.1002/ejsp.2420150309. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  50. ^ a b Pelham, Brett W.; Mirenberg, Matthew C.; Jones, John T. (2002). "Why Susie sells seashells by the seashore: Implicit egotism and major life decisions". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 82 (4): 469–487. doi:10.1037/0022-3514.82.4.469. ISSN 1939-1315. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  51. ^ a b Simonsohn, Uri (2011). "Spurious? Name similarity effects (implicit egotism) in marriage, job, and moving decisions". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 101 (1): 1–24. doi:10.1037/a0021990. ISSN 1939-1315. 
  52. ^ a b Smeets, R.C.K.H. (2009). On the preference for self-related entities : the role of positive self-associations in implicit egotism effects. Netherlands: UB Nijmegen. hlm. 11. ISBN 978-90-90-24290-3. OCLC 778389543. 
  53. ^ a b Silverman, Rachel Emma (2011). "What's In a Name May Shape Your Destiny—Or Not - WSJ". he Wall Street Journal. Archived from the original on 2016-09-27. Diakses tanggal 22 Maret 2022. 
  54. ^ Cole, Kristen (2001). "Is work calling your name?". George Street Journal. 25 (17): 1. Archived from the original on 2003-12-06. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  55. ^ Nevid, Jeffrey S. (2010). Psychology and the challenges of life : adjustment and growth. Hoboken: John Wiley & Sons. hlm. 202. ISBN 978-0-470-38362-9. OCLC 326626877. 
  56. ^ Ahearn, Laura M. (2012). Living language : an introduction to linguistic anthropology. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 2. ISBN 978-1-4443-4056-3. OCLC 729731177.  [pranala nonaktif permanen]
  57. ^ Bateson, P. P. G. (2001). Design for a life : how biology and psychology shape human behavior. Paul, May 11- Martin (edisi ke-1st Touchstone ed). New York: Simon & Schuster. hlm. 124. ISBN 0-684-86933-0. OCLC 46358451. 
  58. ^ Christenfeld, Nicholas; Phillips, David P; Glynn, Laura M (1999). "What's in a name". Journal of Psychosomatic Research (dalam bahasa Inggris). 47 (3): 241–254. doi:10.1016/S0022-3999(99)00035-5. 
  59. ^ Morrison, Stilian; Smith, Gary (2005). "Monogrammic Determinism?". Psychosomatic Medicine (dalam bahasa Inggris). 67 (5): 820–824. doi:10.1097/01.psy.0000181283.51771.8a. ISSN 0033-3174. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  60. ^ Pelham, Brett; Carvallo, Mauricio (2011). "The surprising potency of implicit egotism: A reply to Simonsohn". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 101 (1): 25–30. doi:10.1037/a0023526. ISSN 1939-1315. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  61. ^ Simonsohn, Uri (2011). "In defense of diligence: A rejoinder to Pelham and Carvallo (2011)". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 101 (1): 31–33. doi:10.1037/a0023232. ISSN 1939-1315. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  62. ^ Pelham, Brett; Mauricio, Carvallo (2015). "When Tex and Tess Carpenter Build Houses in Texas: Moderators of Implicit Egotism". Self and Identity (dalam bahasa Inggris). 14 (6): 692–723. doi:10.1080/15298868.2015.1070745. ISSN 1529-8868. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2022-04-01. 
  63. ^ Limb, C; Limb, R; Limb, C; Limb, D (2015). "Nominative determinism in hospital medicine". The Bulletin of the Royal College of Surgeons of England (dalam bahasa Inggris). 97 (1): 24–26. doi:10.1308/147363515X14134529299420. ISSN 1473-6357. 
  64. ^ Abel, Ernest L (2010). "Influence of Names on Career Choices in Medicine". Names: A Journal of Onomastics. 58 (2): 65–74. doi:10.1179/002777310X12682237914945. ISSN 1756-2279. 
  65. ^ Voracek, Martin; Rieder, Stephan; Stieger, Stefan; Swami, Viren (2015). Mesoudi, Alex, ed. "What's in a Surname? Physique, Aptitude, and Sports Type Comparisons between Tailors and Smiths". PLOS ONE (dalam bahasa Inggris). 10 (7): e0131795. doi:10.1371/journal.pone.0131795. ISSN 1932-6203. PMC 4498760alt=Dapat diakses gratis. PMID 26161803. 
Kembali kehalaman sebelumnya