Share to:

 

Dinas Luar Negeri Eropa

Dinas Luar Negeri Eropa
Logo EEAS

Kantor pusat EEAS di Brussel. Tidak seperti bangunan UE lainnya yang diberi nama sesuai nama tokoh terkenal Eropa, bangunan ini disebut EEAS saja.[1]
Informasi lembaga
Dibentuk1 Desember 2010; 14 tahun lalu (2010-12-01)
diresmikan:
1 Januari 2011; 13 tahun lalu (2011-01-01)[a]
Nomenklatur sebelumnya
JenisBadan diplomatik UE
Kantor pusatEEAS Building
Rond Point Robert Schuman 9A/Robert Schumanplein 9A.
1046 Brussel, Belgia
50°50′33″N 4°23′08″E / 50.8425°N 4.385556°E / 50.8425; 4.385556
Pegawai4,067 (2017)[2]
Anggaran tahunan678.5 juta Euro (2018)[3]
Pejabat eksekutif
Lembaga bawahan
  • Staf Militer Uni Eropa (EUMS)
  • Pusat Intelijen dan Situasi Uni Eropa (EU SitCen)
Dasar hukum
Situs webeeas.europa.eu
EEAS (Triangle building) di Brussels
EEAS (Triangle building)
EEAS (Triangle building)
Lokasi Dinas Luar Negeri Eropa di Brussel

Dinas Luar Negeri Eropa (bahasa Inggris: European External Action Service, disingkat EEAS) adalah lembaga independen Uni Eropa (UE) yang menangani hubungan diplomatik UE dengan negara-negara di luar UE.[5][b] EEAS diresmikan pada tahun 2011 dan bertugas membantu Perwakilan Tinggi dalam mengkoordinasikan dan melaksanakan urusan luar negeri dan kebijakan keamanan UE. EEAS berkedudukan di Brussel dan memiliki 140 Delegasi dan Kantor UE di seluruh dunia.[5] EEAS bekerja sama dengan kementerian luar negeri dan pertahanan negara-negara anggota maupun lembaga UE lainnya seperti Komisi Eropa, Dewan dan Parlemen. Selain itu EEAS juga memiliki hubungan kerja dengan PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya.[c]

Sejarah

Ketika Eropa semakin menjadi pemain ekonomi besar di dunia, keinginan mereka untuk dapat "berbicara dengan satu suara" dan menyelaraskan posisi kebijakan luar negeri nasional negara anggotanya mulai tumbuh. Selama tahun 1970-an, proses bertahap menuju kerja sama yang lebih politis akhirnya mulai terbentuk. Dengan KTT Den Haag tahun 1969 serta pertemuan Luksemburg yang mengadopsi laporan Davignon tahun 1970, fondasi yang membentuk Kerja Sama Politik Eropa (European Political Cooperation/EPC) mulai diletakkan.[6][d] Harmonisasi kebijakan luar negeri negara anggota UE dalam bentuk EPC dikembangkan di luar kerangka Perjanjian dan diarahkan sepenuhnya dari ibu kota nasional. Pertukaran informasi dan formulasi deklarasi bersama dalam kerangka EPC dikoordinasikan oleh Kepresidenan bergilir dengan peran kunci ada pada kementerian luar negeri nasional.[e] Menyusul Laporan Davignon, pada tahun 1973 para Menteri Luar Negeri dari negara-negara anggota Komunitas Eropa mengadopsi laporan kedua Davignon perihal kerja sama politik yang menyoroti perlunya Eropa untuk membangun dirinya sebagai entitas yang berbeda di arena dunia, terutama dalam perundingan internasional, untuk mengenali posisi bersama dalam isu-isu internasional dan mempertimbangkan dampaknya terhadap politik internasional.[7]

Pengukuhan kerjasama Eropa dalam kebijakan luar negeri secara resmi terjadi pada bulan Februari 1986 dengan adopsi Undang-Undang Eropa Tunggal (SEA). Menurut Pasal 30 SEA, negara-negara penandatangan melaksanakan pemberian informasi dan berkonsultasi mengenai setiap isu kebijakan luar negeri yang menjadi kepentingan bersama untuk memastikan bahwa pengaruh gabungan mereka digunakan seefektif mungkin dengan mengoordinasikan pemusatan posisi mereka dan pelaksanaan tindakan bersama.[7]

Setelah krisis sandera Iran dan invasi Soviet ke Afghanistan, negara-negara Anggota menyadari bahwa kerangka EPC yang ada tidak diperlengkapi untuk menangani krisis internasional secara memadai.[6] Kurangnya tanggapan Eropa terhadap Krisis Teluk 1990-1991 juga mengungkap kekurangan dalam kerangka EPC ini.[8]

Perjanjiaan Maastricht

Pilar kedua dalam Perjanjian Maastricht (ditandatangani 7 Februari 1992) menggantikan kerangka EPC dengan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (CFSP) dan untuk pertama kalinya memasukkan kebijakan keamanan dan pertahanan.[f] Sehubungan dengan CFSP, kepresidenan bergilir Dewan ditugaskan mewakili UE dan posisinya sedangkan Komisi tetap bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri Komisi Eropa.[9] Menurut Pasal J.1 TEU, UE dan negara-negara anggota harus menetapkan dan menerapkan CFSP yang mencakup semua bidang kebijakan luar negeri, tujuan keamanannya adalah: untuk menjaga nilai-nilai bersama, kepentingan mendasar dan kemandirian UE, untuk memperkuat keamanan UE dan negara-negara anggotanya dalam segala bentuk, menjaga perdamaian dan memperkuat keamanan internasional sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam PBB, Perjanjian Helsinki dan tujuan Paris Charter, mempromosikan kerjasama internasional, pengembangan dan penguatan demokrasi dan supremasi hukum, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar.[7]

Uni Eropa tumbuh sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama di dunia namun harapan-harapan politik yang telah dikembangkan tidak pernah terpenuhi. Beberapa negara anggota, seperti Jerman dan Belgia adalah pendukung kuat "kebijakan luar negeri yang benar-benar padu" dan mendorong UE yang lebih terintegrasi. Beberapa negara anggota lainnya, terutama Inggris dan Prancis, kurang tertarik dengan pendekatan yang diusulkan untuk kebijakan luar negeri tersebut.[10] Perbedaan pandangan ini menjadi isu sentral dalam perkembangan desain kebijakan luar negeri UE,[11] dan hal ini mengarah pada pembentukan struktur pilar. Melalui pilar CFSP antar-pemerintah, UE berharap akan memperkuat suaranya di panggung mancanegara tanpa harus ke tingkat integrasi seperti dalam pilar Komunitas. Namun, karena sifat antar pemerintahnya, instrumen CFSP tidak mampu menggantikan kebijakan nasional dan melakukan tindakan bersama seperti instrumen pilar pertama. Sehingga CFSP belum cukup untuk menghadapi tantangan dan krisis di panggung dunia.[10][g]

Perjanjian Amsterdam

Perjanjian Amsterdam membawa beberapa perubahan bertujuan untuk mencapai kebijakan luar negeri Eropa yang lebih koheren dan CFSP yang lebih efektif. Perjanjian Amsterdam membentuk unit kebijakan luar negeri di Sekretariat Dewan, yaitu Policy Planning Unit and Early Warning.[12][h] Perjanjian ini memberikan peran Perwakilan Tinggi untuk CFSP kepada Sekretaris Jenderal Dewan. Tanggung jawab baru Sekretaris Jenderal ada dua aspek, yaitu membantu Dewan dalam urusan CFSP, dan bertindak atas nama Dewan dalam melakukan dialog politik dengan pihak ketiga (atas permintaan Presidensi). Untuk pertama kalinya, CFSP dipangku oleh figur yang sama secara permanen, memberikan “wajah” bagi kebijakan luar negeri UE. Peran ini diberikan kepada Sekretaris Jenderal dengan harapan mengatasi kurangnya kontinuitas dalam representasi internasional UE karena kepresidenan bergilir di Dewan.[13]

Berkembangnya peran manajemen krisis UE lebih lanjut mengarah pada perluasan Sekretariat dengan badan-badan baru seperti Staf Militer UE (EUMS), Civilian Planning and Conduct Capability, dan bahkan unit intelijen kecil yang dikenal sebagai SitCen (Situation Centre). Bersamaan dengan itu Komisi Eropa mencoba untuk melengkapi fungsi informasi dan analisisnya dengan menugaskan Delegasi Komisi di luar negeri untuk aktif dalam melaporkan tentang situasi di lapangan. Dengan Perjanjian Amsterdam, prinsip pengumpulan dan pemrosesan informasi independen di tingkat UE menjadi lumrah dan semakin dilihat sebagai kebutuhan untuk pengembangan kebijakan luar negeri Eropa yang efektif.[14]

Perjanjian Lisboa telah menciptakan jabatan Perwakilan Tinggi untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan, yang menurut Pasal 27 (3) TEU, didukung dalam mandatnya oleh EEAS.[15]

Perjanjian Lisboa

Berbagai aspek dari EEAS sebenarnya sudah dirundingkan secara informal sebelum diberlakukannya Perjanjian Lisboa. Di bawah Kepresidenan Swedia, telah disusun sebuah laporan yang disetujui oleh Dewan Eropa, memuat gambaran konsensus Negara Anggota mengenai fitur-fitur utama EEAS, seperti adanya kesepakatan bahwa EEAS akan dijadikan lembaga yang bersifat tersendiri (sui generis), terpisah dari Komisi dan Sekretariat Dewan.[16] Perjanjian Lisboa yang mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2009 berusaha untuk mengintegrasikan bagian-bagian yang berbeda dan menyederhanakan rancangan dalam kebijakan luar negeri UE. Perubahan yang diperkenalkan menyentuh pada arsitektur Perjanjian, prinsip dan tujuan, serta mekanisme kelembagaan dari tindakan luar negeri UE.[11] Perjanjian Lisboa membawa dua reformasi besar berkenaan dengan kebijakan luar negeri UE:

  • Pertama, perjanjian ini menelaah persesuaian pilar-pilar yang ditetapkan oleh Perjanjian Maastricht, yaitu pilar 'Komunitas', di mana Komisi Eropa lebih dominan, dan pilar 'antar pemerintah', yaitu CFSP dan Police and Judicial Cooperation in Criminal Matters. Pada saat yang sama, jabatan Komisioner Hubungan Luar Negeri digabungkan dengan Perwakilan Tinggi (HR) untuk CFSP (yang dibentuk Perjanjian Amsterdam). Penggabungan ini melahirkan tokoh dengan dua peran (double-hatted) yang baru, yaitu sebagai Wakil Presiden Komisi juga sebagai Perwakilan Tinggi Uni Eropa urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan (HR/VP) yang ditunjuk untuk memimpin pertemuan Dewan Luar Negeri (FAC) dari Dewan UE.[17] Selama pertemuan informal Kepala Negara atau Pemerintah negara-negara anggota yang diadakan di Brussel pada 19 November 2009, telah dicapai kesepakatan politik tentang penunjukan Catherine Ashton sebagai HR/VP.[15]
  • Kedua, pembentukan EEAS dengan menggabung Direktorat Jenderal Hubungan Luar Negeri Komisi (Directorate General for External Relations of the Commission/DG RELEX) dengan badan-badan dari Sekretariat Jenderal Dewan (Unit Kebijakan). EEAS dibentuk untuk membantu Perwakilan Tinggi (HR/VP) dalam melaksanakan tugas-tugasnya.[i]

Perjanjian Lisboa bercita-cita untuk memperkuat CFSP dan mengatasi masalah fragmentasi serta kurangnya koherensi di bidang hubungan luar negeri UE, sehingga pembentukan EEAS dinyatakan sebagai salah satu titik fokus upaya reformasi kelembagaan yang diamanatkan oleh Perjanjian tersebut.[18] Selain penggabungan administratif dua lembaga yang berbasis di Rue de la Loi, Perjanjian Lisboa juga memasukkan diplomat dari negara-negara anggota ke dalam EEAS.[19] Selain itu diputuskan juga untuk mengubah Delegasi Komisi menjadi Delegasi Uni Eropa dan menempatkannya di bawah otoritas HR.[14]

Peluncuran EEAS

Pada 25 Maret 2010 Perwakilan Tinggi mengajukan usulan kepada Dewan mengenai pembentukan EEAS.[20] Usulan ini berdasarkan Laporan EEAS oleh Kepresidenan Swedia sebelumnya.[j] Kemudian Proses perundingan informal yang panjang antara negara anggota, Komisi dan Parlemen Eropa pun terjadi. Selama perundingan ini, masing-masing pihak berusaha memperoleh tingkat kontrol tertentu atas fungsi EEAS.[21] Usulan ini mendeskripsikan bagaimana EEAS akan dikelola, bagaimana perekrutan dan pengelolaan pegawainya, dan bagaimana negara-negara anggota dan lembaga-lembaga Eropa lainnya akan dilibatkan. Pada 8 Juli 2010 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang menyetujui usulan ini dan menambahkan komentar mereka perihal penunjukan pegawai, pembiayaan delegasi dan penyelesaian potensi sengketa.[k] Pada 26 Juli 2010, Dewan mengadopsi keputusan yang mengukuhkan usulan Perwakilan Tinggi tersebut, dengan amendemen dari Parlemen Eropa (Decision 2010/427/EU).[22] Setelah adopsi keputusan tersebut EEAS resmi berdiri pada bulan Desember 2010,[14] dan diluncurkan serta beroperasi penuh pada 1 Januari 2011.[23]

Sesuai dengan Keputusan Dewan, EEAS berada di bawah otoritas Perwakilan Tinggi dan berkantor pusat di Brussels dan merupakan badan otonom UE, terpisah dari Sekretariat Jenderal Dewan dan dari Komisi dengan kapasitas hukum yang diperlukan untuk melakukan tugas dan mencapai tujuannya.[24]

Catatan kaki

  1. ^ EEAS mulai beroperasi efektif per 1 Januari 2011 (EEAS 2017, hlm. 4).
  2. ^ EEAS disebut sebagai badan fungsional independen (otonom) UE yang dibentuk dengan menempatkan pegawai dari dua lembaga yang sudah ada, yaitu Komisi dan Sekretariat Jenderal Dewan. Selain itu, pegawai EEAS juga berasal dari instansi diplomatik negara-negara anggota (EEAS 2017, hlm. 4).
  3. ^ EEAS merupakan lembaga diplomatik UE yang peranannya untuk memastikan bahwa aspirasi UE dan warganya didengar di seluruh dunia (EEAS 2016a).
  4. ^ Akar kebijakan luar negeri dan keamanan UE saat ini dapat ditemukan dalam final Communiqué KTT Kepala Negara atau Pemerintahan Negara-Negara Anggota Komunitas Eropa di Den Haag (1 hingga 2 Desember 1969) yang menegaskan kembali keharusan untuk memperkuat politik antara negara-negara anggota. Atas dasar ini, tahun berikutnya, pertemuan menteri luar negeri enam negara anggota di Luksemburg (27 Oktober 1970) mengadopsi laporan Davignon, yang menandai awal Kerja Sama Politik Eropa (EPC) (Vataman 2012, hlm. 720).
  5. ^ Pengolahan dan analisis informasi dipercayakan kepada Kepresidenan bergilir, bukan ke badan-badan otonom yang berbasis di Brussel.
    Uni Eropa menonjol untuk urusan pertukaran informasi antar negara yang padu dan terlembaga. Pertukaran informasi pada kenyataannya adalah salah satu pilar utama yang mendukung EPC.
    Salah satu alasan keberhasilan pertukaran informasi antara negara-negara anggota adalah karena proses ini telah dilembagakan sejak dini. Pada tahun 1973, sembilan negara yang berpartisipasi dalam EPC mendirikan jaringan komunikasi yang disebut Correspondance Européenne (COREU), yang memungkinkan mereka dan Komisi Eropa bertukar pesan secara terenkripsi (Blom & Vanhoonacker 2014).
  6. ^ Eropa tidak mampu bereaksi dengan baik terhadap krisis internasional dan sebaliknya sangat bergantung pada inisiatif AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kinerja Eropa yang buruk tersebut menunjukkan perlunya persatuan politik di Eropa dan mengarah pada diskusi mengenai integrasi Eropa berkenaan dengan keamanan dan pertahanan yang berujung pada Perjanjian Maastricht (Decker 2016, hlm. 8).
  7. ^ Krisis Yugoslavia mengungkap kesulitan-kesulitan UE untuk memulai aksi bersama dan terpadu, menunjukkan bahwa kerangka CFSP membatasi peluang UE untuk bertindak dalam mencegah bencana (Decker 2016, hlm. 10).
  8. ^ Deklarasi no. 6 yang dianeksasi dengan Perjanjian Amsterdam membentuk "Policy Planning Unit and Early Warning" dalam Sekretariat Dewan, yang terdiri dari para diplomat dan pejabat yang melekat pada Dewan Negara Anggota, Komisi dan Uni Eropa Barat (WEU) serta pejabat yang berasal dari Sekretariat Jenderal (Vataman 2012, hlm. 721).
  9. ^ Dalam hal ini, Pasal 27 (3) TEU menetapkan bahwa: "Dalam memenuhi mandatnya, Perwakilan Tinggi akan dibantu oleh Dinas Luar Negeri Eropa. Dinas ini akan bekerja sama dengan lembaga diplomatik Negara-negara Anggota dan terdiri dari pejabat departemen terkait dari Sekretariat Jenderal Dewan dan Komisi serta pegawai yang diperbantukan dari lembaga diplomatik nasional Negara-negara Anggota. Organisasi dan fungsi Dinas Luar Negeri Eropa harus ditetapkan dengan keputusan Dewan. Dewan akan menindaklanjuti usulan dari Perwakilan Tinggi setelah berkonsultasi dengan Parlemen Eropa dan setelah memperoleh persetujuan dari Komisi" (Lefebvre & Hillion 2010, hlm. 2).
  10. ^ Tepat sebelum pengadopsian Laporan Kepresidenan Swedia, Parlemen telah mengadopsi Laporan Elmar Brok tentang Aspek Kelembagaan dalam Mengelola Dinas Luar Negeri Eropa. Laporan Brok menjelaskan untuk “mengembangkan model komunitas lebih lanjut dalam hubungan luar negeri UE” Parlemen menginginkan EEAS terkait erat dengan Komisi. Dari sudut pandang Parlemen, hal ini agar lebih transparan dan akuntabel (Blom & Vanhoonacker 2014).
  11. ^ Resolusi untuk keputusan Dewan tentang organisasi dan fungsi dari EEAS diadopsi dengan 549 suara mendukung, 78 melawan dan 17 abstain (Vataman 2012, hlm. 723).

Kutipan

Daftar pustaka

  • Rettman, Andrew (2012). "EU foreign service moves into new home" (dalam bahasa Inggris). Belgia: EUobserver. Diakses tanggal 10 Juni 2018. 
  • Uni Eropa (2017). Sekilas Uni Eropa (PDF). Brosur. Brussel: European External Action Service. 
  • Vataman, Dan D. (2012). "The European External Action Service: towards a common diplomacy?". Challenges of the Knowledge Society (dalam bahasa Inggris). Romania: Nicolae Titulescu University Publishing House. 2: 719–729. ISSN 2068-7796. SSRN 2206979alt=Dapat diakses gratis. 
  • Wouters, Jan & Ramopoulos, Thomas (2013). Revisiting the Lisbon Treaty's Constitutional Design of EU External Relations. Working Paper No. 119 (dalam bahasa Inggris). Leuven: Leuven Centre for Global Governance Studies. SSRN 2324079alt=Dapat diakses gratis. 
Kembali kehalaman sebelumnya