Disabilitas dan kesehatan perempuanPerempuan penyandang disabilitas memiliki permasalahan kesehatan yang sama dengan perempuan lainnya, seperti perlunya pemeriksaan kanker payudara dan serviks secara rutin. Namun, perempuan dengan disabilitas seringkali tidak diberikan tes dasar, seperti pemantauan berat badan, karena kurangnya peralatan yang dapat diakses.[1] Pasal 12 Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menguraikan perlindungan perempuan dari diskriminasi gender ketika menerima layanan kesehatan dan hak perempuan atas ketentuan layanan kesehatan spesifik yang terkait gender.[2] Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menetapkan bahwa "penyandang disabilitas mempunyai hak atas standar kesehatan yang sama, termasuk perempuan dengan disabilitas." Namun, tercatat bahwa perempuan penyandang disabilitas menghadapi kendala dan kesulitan serta tidak dapat mengakses sumber daya medis yang sama dengan mereka yang tidak memiliki disabilitas.[3] Perempuan dengan disabilitas sering menghadapi tantangan ganda dalam mengakses layanan kesehatan yang berkualitas. Aspek-aspek teknis seperti pemeriksaan kesehatan umumnya didasarkan pada model yang lebih cocok untuk laki-laki, seperti terapi fisik, sehingga tidak memenuhi kebutuhan khusus perempuan penyandang disabilitas.[4] Meskipun masalah kesehatan perempuan mulai mendapat perhatian lebih mendalam di Amerika Serikat sejak tahun 1990-an, penelitian tentang isu kesehatan perempuan penyandang disabilitas masih terbilang kurang. Baru sejak awal tahun 2000-an, masalah kesehatan bagi penyandang disabilitas mulai mendapat perhatian lebih serius di Amerika Serikat. Studi jangka panjang pertama yang memperhatikan pengalaman perempuan penyandang disabilitas serta layanan ginekologi baru dipublikasikan pada tahun 2001.[5] Perempuan penyandang disabilitas fisik dan/atau intelektual sering menghadapi bias medis dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat meliputi bias tak disadari, gejala yang tidak dipahami, persepsi negatif, dan bahkan penilaian yang kasar, semuanya berpotensi menyumbang pada diskriminasi yang dialami perempuan.[6] Dokter pun dapat memiliki bias gender yang memengaruhi penilaian diagnostik terhadap gejala yang sulit dijelaskan. Sebelum mempelajari anatomi perempuan, banyak orang mungkin berasumsi bahwa fungsi tubuh pria dan perempuan sama. Ini dapat tercermin dalam proses penilaian kecacatan fisik atau intelektual, di mana ciri-ciri yang berkaitan dengan pria dianggap sebagai patokan, padahal gejalanya bisa sangat berbeda pada perempuan.[7] Perempuan penyandang disabilitas, terutama yang berasal dari kelompok minoritas atau tinggal di pedesaan, sering kali mengalami kurangnya akses terhadap layanan kesehatan yang mereka butuhkan.[8] Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa perempuan penyandang disabilitas lebih rentan terhadap kemiskinan sehingga risiko kesehatan yang mereka hadapi semakin meningkat. Keterbatasan dalam jaringan sosial juga membuat banyak perempuan penyandang disabilitas terputus dari dukungan yang diperlukan, termasuk layanan kesehatan. Di Brasil, banyak perempuan penyandang disabilitas enggan mencari layanan ginekologi karena faktor budaya dan biaya yang terkait. Ketika mereka memerlukan perawatan rutin untuk masalah kesehatan lain selain disabilitas utama mereka, mereka seringkali dianggap sebagai "pasien bermasalah" oleh penyedia layanan kesehatan. Mereka sering merasa bahwa identitas disabilitas mereka mendominasi persepsi penyedia layanan kesehatan, sementara kebutuhan mereka yang lain terabaikan. Namun, ada penemuan yang mengindikasikan bahwa sikap terhadap penyandang disabilitas, terutama fisik, dapat lebih positif di beberapa negara. Sebuah laporan tahun 2003 menunjukkan bahwa profesional kesehatan di Arab Saudi memiliki sikap positif terhadap penyandang disabilitas, tanpa memandang gender. Namun, di negara-negara dengan segregasi gender yang ketat seperti Arab Saudi, perempuan terkadang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan karena banyak klinik khusus perempuan tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas fisik.[9] Kesehatan seksual dan kontrasepsiAlat kontrasepsi digunakan oleh perempuan penyandang disabilitas intelektual karena berbagai alasan, termasuk pencegahan kehamilan, penekanan menstruasi, dan pengelolaan obat teratogenik. Perempuan dengan disabilitas intelektual lebih cenderung menggunakan alat kontrasepsi atau meminta histerektomi untuk mengatur menstruasi.[10] Berbagai jenis kontrasepsi tersedia bagi perempuan penyandang disabilitas, tetapi jenis alat kontrasepsi tertentu didasarkan pada jenis disabilitas dan efek samping yang terkait.[11] Tenaga kesehatan sering kali enggan merujuk perempuan penyandang disabilitas untuk pemeriksaan ginekologi yang diperlukan. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari kurangnya pengetahuan tentang disabilitas hingga asumsi bahwa perempuan penyandang disabilitas tidak memiliki kebutuhan seksual.[5] Contohnya, perempuan yang mengalami cedera sumsum tulang belakang di atas vertebra T6 bisa mengalami disrefleksia otonom saat menjalani pemeriksaan panggul, yang berpotensi mengancam nyawa. Di sisi lain, perempuan dengan disabilitas intelektual seringkali tidak mendapatkan Pap smear karena prosesnya dianggap dapat mengganggu pasien. Di Zimbabwe, penyandang disabilitas sering kali diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Perempuan di Zimbabwe menghadapi semakin banyak hambatan dalam mengakses layanan kesehatan seksual. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Nasional yang diterapkan pada tahun 2006 tidak memenuhi kebutuhan perempuan penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas di Zimbabwe sering menghadapi sikap negatif terhadap kesehatan reproduksi mereka, termasuk pernyataan dari perawat yang mengungkapkan gagasan bahwa "seks tidak diperuntukkan bagi penyandang disabilitas." Perempuan penyandang disabilitas intelektual sering disarankan untuk disterilkan guna mencegah kekerasan seksual atau karena dokter mungkin menganggap mereka tidak layak menjadi ibu. Di Amerika Serikat, kasus Mahkamah Agung tahun 1927, Buck v. Bell, mengizinkan sterilisasi paksa terhadap perempuan penyandang disabilitas intelektual. Di Singapura, Undang-Undang Sterilisasi Sukarela (VSA) yang disahkan pada tahun 1970 mengizinkan pasangan, orang tua, atau wali dari orang-orang yang "menderita penyakit keturunan berulang, penyakit mental, defisiensi mental, atau epilepsi" untuk menyetujui sterilisasi atas nama mereka. Di Brasil, banyak penyedia layanan kesehatan dan penyandang disabilitas memandang sterilisasi sebagai satu-satunya pilihan kontrasepsi. Daftar pustaka
|