Disfungsi narkotisasi
Disfungsi narkotisasi berasal dari istilah narkotisasi yang menggambarkan fenomena paradoksal (kondisi yang tampaknya bertentangan atau bertolak belakang dengan apa yang diharapkan, namun tetap nyata atau terjadi —maka kemudian disebut dengan disfungsi—) dari media massa dimana semakin banyak informasi yang diterima masyarakat mereka justru menjadi pasif, apatis dan tidak tergerak untuk mengambil tindakan atau membuat keputusan berdasarkan informasi tersebut.[1][2] Narkotisasi menggambarkan bagaimana banjir informasi yang datang dari berbagai sumber media menyebabkan individu atau kelompok merasa seolah sudah cukup tahu dan peduli terhadap suatu masalah, meskipun umumnya mereka tidak melakukan tindakan apapun untuk menyelesaikannya.[3] Fenomena ini dapat dipahami sebagai efek "mabuk informasi", di mana konsumsi informasi yang berlebihan membuat individu merasa terpengaruh atau tertidur. Penyebab utama dari narkotisasi ini adalah konsumsi informasi yang berlebihan, yang mengarah pada penurunan kemampuan kritis masyarakat. Ketika media massa terus-menerus menyajikan berbagai isu sosial, politik, dan ekonomi, masyarakat merasa terinformasi, namun mereka kehilangan dorongan atau energi untuk berpikir kritis atau bertindak terhadap masalah tersebut. Dalam konteks ini, media massa berfungsi sebagai narkotika sosial yang memberikan kepuasan hanya dengan pengetahuan semata, meskipun masyarakat terus-menerus terpapar dengan informasi, mereka menjadi pasif dan terhambat dalam bertindak, karena merasa terpenuhi hanya dengan mengetahui sesuatu, tanpa merasakan urgensi atau pentingnya untuk melakukan perubahan.[4][5][6] SejarahDisfungsi narkotisasi pertama kali digunakan dalam artikel tahun 1948 yang berjudul "Mass Communication, Popular Taste, and Organized Social Action" oleh sosiolog Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton. Dalam artikel tersebut, Lazarsfeld dan Merton menjelaskan bahwa media massa memiliki beberapa fungsi sosial yang penting, seperti memberikan status atau otoritas kepada individu atau kelompok (fungsi status conferral) dan menegakkan norma-norma sosial (fungsi peneguhan norma sosial). Namun, mereka juga menemukan fungsi ketiga yang lebih jarang dibahas yaitu efek narkotisasi. Konsep ini menjelaskan bahwa ketika informasi yang berlebihan—seperti berita atau hiburan yang tidak substansial—membanjiri masyarakat, orang cenderung merasa bahwa mereka sudah cukup terinformasi, padahal sebenarnya mereka hanya mendapatkan informasi yang dangkal. Akibatnya, meskipun mereka tahu tentang masalah sosial yang terjadi, mereka tidak lagi merasa terdorong untuk bertindak atau melakukan perubahan.[7] KonsepFenomena disfungsi narkotisasi menunjukkan bahwa kelebihan informasi bisa menyebabkan masyarakat merasa tidak peka atau mati rasa seiring dengan semakin banyaknya sumber informasi yang tersedia melalui media massa, masyarakat bisa menjadi terlalu terbiasa dengan aliran informasi tersebut, sehingga mereka tidak lagi merasakan urgensi atau pentingnya isu-isu yang disampaikan. Alih-alih mendorong orang untuk lebih peduli atau bertindak, informasi yang berlebihan justru membuat mereka merasa bahwa semua isu terasa sama dan tidak ada yang cukup penting untuk direspon. Akibatnya, ketidaksensitifan muncul, dan meskipun orang tahu banyak informasi, mereka tidak lagi merasa terdorong untuk melakukan tindakan nyata.[3][5] Selain itu, ada anggapan bahwa mengetahui sesuatu berarti kita peduli dan akan bertindak. Namun, dalam kenyataannya, hanya karena seseorang terinformasi tentang suatu masalah, bukan berarti mereka akan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Misalnya, meskipun masyarakat tahu tentang praktik nepotisme atau masalah-masalah sosial lainnya melalui berita, mereka cenderung hanya terbiasa tahu tanpa melakukan tindakan konkret. Ini disebut sebagai disfungsi narkotisasi, di mana media yang semakin sering memberi informasi justru bisa membuat masyarakat semakin pasif, menganggap bahwa sekadar mengetahui masalah sudah cukup, tanpa berupaya untuk mengubah situasi atau mengambil tindakan politik yang nyata.[8] Masalah lainnya adalah bahwa mengetahui tidak sama dengan bertindak. Media massa bisa saja memberikan informasi yang sangat banyak, tetapi hal ini tidak menggantikan tindakan nyata. Dengan memberikan informasi yang berlebihan, media justru bisa membuat masyarakat merasa sudah cukup hanya dengan mengetahui masalah tanpa perlu terlibat langsung. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan penurunan partisipasi politik. Masyarakat merasa sudah tahu tentang masalah politik atau sosial tertentu, tetapi tidak merasa perlu untuk terlibat atau mengambil bagian dalam solusi, yang pada akhirnya mengarah pada apatisme dan ketidakaktifan sosial.[8] Penelitian lainKaarle Nordenstreng memperluas konsep disfungsi narkotisasi dengan menunjukkan bahwa meskipun orang membaca, mendengarkan, dan menonton media massa, mereka sering kali hanya mendapatkan sedikit informasi yang benar-benar memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak aliran informasi yang tersedia, banyak individu yang tidak sepenuhnya menyerap atau memanfaatkannya untuk perubahan pribadi atau sosial yang lebih besar. Dengan kata lain, meskipun informasi itu ada, penerimaan dan pemahaman masyarakat terhadap informasi tersebut tidak selalu efektif atau memadai dalam mendorong perubahan perilaku atau tindakan nyata. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media massa bisa menyebarkan informasi secara luas, hal itu tidak selalu menghasilkan dampak yang signifikan pada penerimaan atau tindakan masyarakat.[9] Sementara itu, model difusi inovasi diperkenalkan oleh Everett Rogers pada tahun 1962 memberikan pandangan tentang bagaimana ide-ide baru diterima dalam masyarakat. Dalam model lima langkah yang dikemukakan Rogers, individu melewati proses mulai dari mendapatkan pengetahuan tentang suatu inovasi hingga mengonfirmasi keputusan mereka untuk mengadopsi atau menolak ide tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti seberapa menguntungkan ide baru bagi individu, seberapa cocok ide tersebut dengan kondisi psikologis atau kebutuhan mereka, dan sejauh mana ide tersebut mudah dipahami dan diterima. Selain itu, kesempatan untuk mencoba atau menguji ide baru serta mengamati hasilnya pada orang lain juga sangat berpengaruh pada tingkat adopsi ide tersebut. Dalam konteks ini, media massa memiliki peran penting dalam memperkenalkan dan mempercepat adopsi perubahan sosial, terutama jika informasi yang disampaikan mudah dipahami, relevan dengan kebutuhan individu, dan menunjukkan manfaat yang jelas.[10][11] Referensi
|