Share to:

 

Do not touch my clothes

Anak-anak perempuan Afgan memakai baju tradisional Afganistan

Do not touch my clothes merupakan kampanye media sosial oleh para perempuan Afganistan untuk memprotes aturan berpakaian yang diberlakukan pemerintahan Taliban. Gerakan ini merupakan respon terhadap liputan yang memperlihatkan 300 perempuan Afgan yang duduk di sebuah ruang kuliah Universitas Kabul dengan mengenakan burkak dan cadar serta mengibarkan bendera kecil Taliban. Dalam acara tersebut, para perempuan yang hadir menyatakan mendukung pemerintahan Taliban.[1]

Untuk menunjukkan perlawanan, para perempuan Afgan di seluruh dunia mengunggah swafoto mereka dengan mengenakan baju tradisional perempuan Afganistan yang cerah dan berwarna-warni. Unggahan tersebut disertai dengan tagar #DoNotTouchMyClothes dan #AfghanistanCulture. Kampanye ini mulai bergema di media sosial pada pertengahan September 2021 setelah pemerintah Taliban mewajibkan perempuan memakai burkak dan cadar berwarna gelap.[2] Ada ratusan perempuan Afgan yang telah menggunakan tagar dan mendukung gerakan #DoNotTouchMyClothes dalam twit mereka.[3]

Dr. Roxana Bahar Jalali, mantan guru besar sejarah di Universitas Amerika di Afganistan, merupakan orang yang pertama memulai kampanye ini.[3] Menurut Jalali, tujuan gerakan Do not touch my clothes adalah untuk "memberikan informasi dan mengedukasi masyarakat dunia, serta meluruskan misinformasi tentang pakaian perempuan Afganistan yang selama ini dinarasikan Taliban".[3] Pakaian tradisional wanita Afgan adalah gaun panjang yang menutupi mata kaki. Para perempuan juga terkadang memakai kerudung untuk menutupi kepala mereka. Jalali menyatakan bahwa cadar dan burkak adalah tradisi asing yang dipaksakan kepada perempuan Afgan.[3] Setiap wilayah di Afganistan memiliki pakaian tradisionalnya masing-masing, tetapi terlepas dari keragamannya, ada beberapa kesamaan dalam pakaian perempuan, yaitu berwarna-warni, bepernak-pernik, dan berbordir. Sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021, para perempuan di Kabul dan beberapa kota lainnya mulai kembali memakai chadari, pakaian biru dengan jala persegi panjang di bagian depan mata.[4]

Pada saat yang bersamaan, pemerintahan Taliban juga mengumumkan bahwa mereka tidak melibatkan perempuan dalam kabinet mereka, membubarkan Kementerian Urusan Wanita, dan memisahkan mahasiswa perempuan dengan laki-laki di ruang kuliah. Para mahasiswi juga sebisa mungkin akan diajar oleh dosen wanita. Pada 17 September 2021, Taliban hanya menginstruksikan murid laki-laki sekolah menengah untuk kembali bersekolah dan mengabaikan nasib murid perempuan.[5] Salah satu pemimpin senior Taliban, Waheedullah Hashimi, menyatakan bahwa perempuan tidak seharusnya bekerja bersama laki-laki.[2]

Budaya patriarki di Afganistan

Kejatuhan Afganistan ke tangan Taliban pada 2021 menempatkan para perempuan pada posisi yang semakin rentan. Mereka terancam tidak dapat melakukan aktivitas di luar dengan bebas, seperti bekerja dan belajar di sekolah dan perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi dan kantor yang belum memiliki ruang khusus perempuan maupun partisi yang dapat memisahkan staf laki-laki dan perempuan.[5] Menurut pakar, sejarah penindasan perempuan telah lama mengakar di negara tersebut jauh sebelum Taliban berkuasa. Afganistan adalah masyarakat patriarkis dengan laki-laki yang mengatur institusi-institusi besar. Kondisi ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah, norma kesukuan yang kaku, dan ekstremisme dalam beragama.[6] Berdasarkan hasil studi program demografi dan kesehatan USAID pada 2015, sekitar 90% perempuan di beberapa wilayah Afganistan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Saat melarikan diri dari rumah, para korban sering kali mengalami kekerasan lanjutan dari pihak-pihak yang seharusnya dapat dipercaya, seperti polisi, dokter, dan pejabat pemerintah.[7]

Penindasan terhadap perempuan Afgan berkaitan dengan budaya etnis Pashtun. Bentuk-bentuk penindasan dan kekerasan yang sering ditemui antara lain kerabat laki-laki yang mengatur perkawinan perempuan muda, praktik mahar berbiaya tinggi yang dibayarkan kepada ayah pengantin perempuan, dan pembunuhan demi kehormatan.[6]

Referensi

  1. ^ Glinski, Stefanie (2021-09-15). "#DoNotTouchMyClothes: Afghan women's social media protest against Taliban". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
  2. ^ a b Khalid, Tuqa (2021-09-14). "Afghan women rebel against Taliban strict dress code: 'Do not touch my clothes'". Al Arabiya English (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
  3. ^ a b c d Bhalla, Gursharan (2021-09-14). "Don't Touch My Clothes: Afghan Women Are Protesting Taliban's Burqa Order, One Photo At A Time". India Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
  4. ^ "Afghan women hit back at Taliban with #DoNotTouchMyClothes campaign". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-17. 
  5. ^ a b Graham-Harrison, Emma (2021-09-17). "Taliban ban girls from secondary education in Afghanistan". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
  6. ^ a b Nasimi, Shabnam (2014-07-11). "The devastating truth of women's rights in Afghanistan". Open Democracy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
  7. ^ Mannell, Jenevieve. "Afghan women's lives are now in danger from the Taliban – but they have always faced male violence". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-17. 
Kembali kehalaman sebelumnya