Efek Al Jazeera
Efek Al Jazeera adalah istilah ilmu politik dan kajian media untuk menyebut dampak media baru dan sumber media terhadap politik global, terutama dalam mengurangi monopoli informasi oleh pemerintah dan media arus utama dan menyuarakan aspirasi masyarakat marjinal ke seluruh dunia. Contoh utamanya adalah dampak Al Jazeera Media Network terhadap perpolitikan di dunia Arab.[1] Asal dan penggunaanAl Jazeera didirikan pada 1996 menggunakan dana dari Amir Qatar dan diisi mantan pegawai BBC Arabic. Al Jazeera berdiri sebagai tanggapan atas kontrol ketat surat kabar dan televisi oleh pemerintah negara-negara anggota Liga Arab dan tidak adanya pers bebas.[2] Penonton tidak menghargai pekerjaan wartawan karena sebagian besar wartawan dianggap sebagai corong diktator atau kelompok politik.[2] Amir Qatar berupaya memangkas campur tangan pemerintah dalam pengelolaan media karena ia ingin memperluas partisipasi politik dan mengizinkan pers independen.[2] Para pendiri Al Jazeera bermaksud melawan dominasi pandangan Barat tentang bangsa dan budaya Arab pada abad ke-20. Masyarakat Arab bergantung pada BBC dan CNN International, tetapi tidak puas karena mereka harus mendengar tentang diri mereka dari sudut pandang Barat.[2] William Lafi Youmans mengatakan bahwa istilah ini pertama kali digunakan oleh Philip Seib, penulis The Al Jazeera Effect: How the New Global Media Are Reshaping World Politics (2008).[3] Namun, Simon Henderson mengatakan bahwa istilah ini sudah populer di kalangan "diplomat di Timur Tengah" dan ia sendiri sudah memakai istilah ini sejak 2000.[4] "Efek Al Jazeera" awalnya mengacu pada pemerintah Arab di Timur Tengah yang kehilangan monopoli informasi karena jaringan media televisi satelit Al Jazeera sangat populer dan mudah diakses.[4] Sejumlah akademisi masih memakai istilah ini dalam konteks terbatas.[5] Thomas L. McPhail memakai istilah ini untuk menyebut perubahan di semua media Arab.[6] Seib memperluas lingkupnya ke media baru digital lainnya di seluruh dunia.[3] DampakAl Jazeera mengakhiri arus informasi berformat "from the West to the rest" (dari Barat ke luar Barat).[2] Stasiun televisi ini mengikuti pola efek CNN memiliki efek pemercepat (accelerant), efek penghambat (impediment), dan efek penentu agenda (agenda-setting).[2] Seib menulis bahwa efek Al Jazeera bisa dianggap sejalan dengan efek CNN (liputan peristiwa internasional bisa memaksa pemerintah yang tidak peduli untuk mengambil tindakan).[3] Apabila efek CNN digunakan dalam konteks jaringan media tradisional arus utama seperti CNN, efek Al Jazeera memperluas cakupannya hingga bentuk-bentuk media baru seperti blog jurnalisme warga, radio internet, dan penyiaran satelit.[3] Ia juga berpendapat bahwa media baru memperkuat identitas masyarakat marjinal yang tidak memiliki media sendiri dan memberi suara bagi mereka; ia mengambil contoh suku Kurdi.[3] Banyak organisasi media baru yang berafiliasi dengan masyarakat marjinal, gerakan sosial, atau organisasi serupa. Media baru melemahkan monopoli informasi oleh pemerintah di berbagai negara. Bahkan penyensoran Internet besar-besaran di negara-negara seperti Cina tidak sepenuhnya efektif.[3] Ia menyimpulkan bahwa media baru, meski belum disalahgunakan, memberi sumbangsih besar bagi demokratisasi dan reformasi politik di seluruh dunia.[3] William Lafi Youmans mengatakan prediksi Seib bahwa efek Al Jazeera akan memancing perubahan politik di Timur Tengah terwujud pada awal 2010-an saat Musim Semi Arab; media baru memicu perdebatan masyarakat dan unjuk rasa di kawasan itu.[3] Efek CNN dan efek Al Jazeera memiliki dampak besar terhadap kebijakan dan pemerintahan. Keduanya memengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kehadiran kantor berita seperti ini dinilai penting untuk mendorong komunikasi global dan penyebaran nilai demokrasi.[2] SubalternEfek Al Jazeera juga dianggap sebagai subaltern, mengacu pada konsep subaltern dalam pascakolonialisme. Subaltern, tergantung konteks dan tempatnya, serupa dengan perlawanan terhadap status quo karena orang-orang di dalamnya tidak punya kekuatan untuk bersuara lantang; bentuk media alternatif ini memberikan "suara bagi mereka yang tidak bersuara." [7] Makna subaltern ini dibahas oleh para akademisi seperti Gayatri Chakravorty Spivak. Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|