Efek Pigmalion
Efek Pigmalion adalah fenomena psikologis di mana berekspektasi tinggi terhadap sesuatu mengakibatkan peningkatan kinerja untuk beberapa hal yang berkaitan dengan ekspektasi tersebut.[1] Istilah Pigmalion berasal dari mitos Yunani Kuno, yaitu seorang pematung bernama Pigmalion yang jatuh cinta dengan patung wanita buatan dirinya sendiri. Karena perasaanya itu, Pigmalion berdoa kepada Dewi Venus sehingga membuat patung tersebut menjadi hidup. Psikologis bernama Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson dalam bukunya yang berjudul Pygmalion in the Classroom menuliskan bahwa ekspektasi seorang guru terhadap muridnya dapat mempengaruhi prestasi siswa tersebut.[2] Rosenthal dan Jacobson berpendapat bahwa ekspektasi yang tinggi mengakibatkan prestasi atau hasil yang tinggi pula, sedangkan ekspektasi yang rendah akan menyebabkan hasil yang rendah pula.[1] Dengan kata lain, efek pigmalion mendasarkan ekspektasi seseorang sebagai bantuan semangat atau motivasi seseorang dalam berproses, baik dalam meraih prestasi yang baik atau malah mendapatkan kegagalan. Seperti meningkatkan ekspektasi seorang atasan kepada bawahannya akan membuat kinerja bawahan-bawahannya juga meningkat. Penelitian Rosenthal-JacobsonPada tahun 1968, Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson melakukan penelitian terkait pigmalion efek. Dari penelitian ini, Rosenthal dan Jacobson menyimpulkan bahwa jika seorang tenaga pendidik memberikan ekspektasi yang tinggi akan prestasi siswanya, ekspektasi yang tinggi itu dapat meningkatkan prestasi siswanya.[3] Begitu pula sebaliknya, jika seorang guru mempunyai ekspektasi yang rendah pada prestasi siswanya, hal itu dapat menghasilkan kinerja yang berkurang atau lebih rendah pula. Rosenthal dan Jacobson menyatakan bahwa hasil penelitian mereka mendukung hipotesis dimana kinerja atau prestasi seseorang dapat dipengaruhi secara positif atau negatif, tergantung pada ekspektasi yang diberikan oleh orang lain. Efek ini juga dinamakan sebagai observer-expectancy effect. Rosenthal menyatakan bahwa harapan yang diberikan dapat mempengaruhi kenyataan dan menciptakan ramalan yang terwujud dengan sendirinya.[4] Semua siswa Sekolah Dasar di California diberikan tes IQ secara diam diam atau terselubung guna mengambil sample untuk penelitian. hasil dari tes IQ itu tidak diberitahukan kepada guru mereka. Para guru hanya diberitahu bahwa beberapa siswa mereka (sekitar 20% dari sekolah yang dipilih secara acak tersebut) dapat diharapkan menjadi "pembangkit intelektual" pada tahun itu, karena siswa-siswa tersebut mendapatkan hasil yang lebih baik dari yang diharapkan dan dibandingkan dengan hasil dari teman sekelas mereka. Nama-nama siswa yang dicanangkan dapat menjadi pembangkit intelektual itu diberitahukan kepada para guru. Di akhir pembelajaran, semua siswa kembali diuji dengan tes IQ yang sama dengan yang digunakan pada awal pembelajaran. Semua enam nilai dalam kelompok eksperimen dan kontrol menunjukkan peningkatan rata-rata dalam IQ dari sebelum tes hingga setelah tes. Namun, siswa kelas satu dan dua menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik yang mendukung kelompok eksperimen "pembangkit intelektual." Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa harapan guru, terutama untuk anak bungsu, dapat mempengaruhi prestasi siswa. Rosenthal percaya bahwa bahkan sikap atau suasana hati dapat mempengaruhi siswa secara positif ketika guru disadarkan akan "kebangkitan". Guru mungkin lebih memperhatikan dan bahkan memperlakukan anak secara berbeda di saat-saat sulit. Rosenthal meramalkan bahwa guru sekolah dasar mungkin secara tidak sadar berperilaku dengan cara yang memfasilitasi dan mendorong keberhasilan siswa. Setelah selesai, Rosenthal berteori bahwa studi masa depan dapat diterapkan untuk menemukan guru yang akan mendorong siswa mereka secara alami tanpa mengubah metode pengajaran mereka. Studi Rosenthal dan Jacobson tentang efek Pigmalion dikritik karena metodologi yang lemah dan kurangnya replikasi. Penelitian sebelumnya yang mendorong penelitian ini dilakukan pada tahun 1911 oleh para psikolog mengenai kasus Clever Hans, seekor kuda yang menjadi terkenal karena dianggap dapat membaca, mengeja, dan memecahkan masalah matematika dengan menggunakan kukunya untuk menjawab. beberapa orang yang skeptis atau meragukan hal tersebut menyarankan bahwa penanya dan pengamat secara tidak sengaja memberi isyarat kepada Hans yang Pintar. Misalnya, setiap kali Clever Hans ditanyai pertanyaan, sikap pengamat biasanya menimbulkan perilaku tertentu dari subjek yang pada gilirannya mengkonfirmasi harapan mereka. Misalnya, Hans yang pandai akan diberikan soal matematika untuk dipecahkan, dan penonton akan menjadi sangat tegang saat ia mengetukkan kakinya lebih dekat ke angka yang tepat, sehingga memberi Hans petunjuk yang ia butuhkan untuk mengetuk jumlah yang benar.[5] KritikPsikolog pendidikan Robert L. Thorndike memberikan kritik atas studi Pigmalion yang dilakukan Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson. Menurutnya, masalah dengan penelitian ini terletak pada instrumen yang digunakan untuk menilai skor IQ anak-anak, instrumen ini dinlai kurang tepat untuk menilai skor IQ anak-anak sekolah dasar.[6] Rata-rata skor IQ penalaran untuk anak-anak di satu kelas reguler berada di kisaran untuk kelas anak-anak dengan kekurangan mental, hasil yang sangat tidak mungkin di kelas reguler di sekolah varietas taman. Pada akhirnya, Thorndike menyimpulkan bahwa temuan Pigmalion tidak berharga. Lebih mungkin bahwa kenaikan skor IQ dari kisaran cacat mental adalah hasil dari regresi menuju rata-rata, bukan harapan guru. Selain itu, meta-analisis yang dilakukan oleh Raudenbush[7] menunjukkan bahwa ketika guru sudah mengenal siswa mereka selama dua minggu, efek dari induksi harapan sebelumnya berkurang menjadi hampir nol. Referensi
|