Ekabahasa
Ekabahasa dihubung-hubungkan dengan kemampuan menulis, memahami kamus, atau percakapan yang dilakukan hanya dengan satu bahasa, dan juga tempat di mana satu bahasa itu resmi (apalagi jika disandingkan dengan individu penutur dwibahasa atau multibahasa). Ekabahasa juga dipahami sebagai kurangnya kemampuan berbicara dengan lebih bahasa. Penutur multibahasa lebih banyak di dunia dibanding penutur ekabahasa. Suzanne Romaine menuturkan dalam bukunya Dwibahasa, bahwa tidak ada buku dengan judul Ekabahasa. Ini mencerminkan asumsi yang dianut teori kebahasaan: ekabahasa adalah norma penggunaan bahasa. Ekabahasa jarang dibahas sebagai kajian ilmiah, karena tergolong tidak dipikirkan, dan hal yang lumrah menemukan penutur ekabahasa. Asumsi tersebut juga disandingkan dengan penutur basantara, seperti bahasa Inggris. David Crystal (1987) menyebut asumsi ini banyak dipakai oleh orang Barat. Satu penjelasan oleh Edwards, mencatut bahwa "pola pikir ekabahasa" dapat ditelaah ke Eropa abad ke-19, saat suatu bangsa bangkit dan dominan dibanding bangsa lain, pola pikir akan penggunaan ekabahasa dapat dilanggengkan, seperti bahasa yang diresmikan di wilayah jajahannya. Penjelasan lain adalah negara yang menuturkan bahasa Inggris merupakan “penyusun dan pemanfaat bahasa Inggris sebagai basantara”, penduduk di negara ini pun cenderung ekabahasa. Lihat pula
RujukanDaftar pustaka
Pranala luarLihat entri ekabahasa di kamus bebas Wiktionary.
|