Share to:

 

Ekonomi Indonesia

Ekonomi Indonesia
Mata uangRupiah (IDR, Rp)
Tahun fiskalTahun kalender
Organisasi perdaganganADB, AFTA, APEC, ASEAN, D-8, EAS, G-20, IORA, MIKTA, OPEC, RCEP, WTO, dan lainnya
Statistik
PDB
Pertumbuhan PDB
  • 3.69% (2021)
  • 5.4% (2022)[2]
PDB per kapita
PDB per sektor
Inflasi (IHK) 5.51% (Desember 2022)[4]
Penduduk
di bawah garis kemiskinan
2,5% dalam kemiskinan ekstrem (est. 2021)[5]

3,6% dalam kemiskinan multidimensi (2017)[6]

Koefisien gini 37,3 sedang (2021)[10]
Angkatan kerja
berdasarkan sektor
Pengangguran 6,0% (est. 2022)[2]
Industri utamaminyak sawit, batu bara, minyak bumi, petrokimia, gas alam cair (LNG), kendaraan, barang elektronik, peralatan material-handling, permesinan, baja, telekomunikasi, energi listrik, pengolahan makanan, pengolahan kayu, tekstil, alas kaki, barang konsumen, sirkuit terpadu, peralatan medis, alat-alat optik, kertas, kerajinan tangan, bahan kimia, karet, farmasi, jasa keuangan, seafood, peleburan, dan pariwisata
Peringkat kemudahan melakukan bisnisSteady ke-73 (mudah, 2020)[12]
Eksternal
EksporKenaikan $291.98 miliar (2022)[13]
Komoditas eksporminyak sawit, baja, logam, mesin dan peralatan industri, bahan kimia, gas alam cair (LNG), produk tekstil, produk alas kaki, mobil, produk transportasi, produk kayu, produk plastik
Tujuan ekspor utama
ImporKenaikan $237.52 miliar (2022)[13]
Komoditas impormesin dan peralatan industri, baja, bahan makanan, produk minyak bumi, barang elektronik, bahan mentah, bahan kimia, produk transportasi
Negara asal impor utama
Modal investasi langsung asing
  • Kenaikan US$251,5 miliar (est. 31 Desember 2017)[3]
  • Kenaikan Luar negeri: US$20,5 miliar (est. 31 Desember 2017)[3]
Utang kotor luar negeriUS$423,1 miliar (Q2 2021)[14]
Pembiayaan publik
Utang publik 37,0% dari PDB (Q3 2021)[14]
PendapatanUS$142 miliar (est. 2021)[15]
BebanUS$191 miliar (est. 2021)[3]
Peringkat utang
Cadangan mata uang asing$137.2 miliar (Desember 2022)[21]
Sumber data utama: CIA World Fact Book

Ekonomi Indonesia merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan merupakan salah satu ekonomi pasar berkembang. Sebagai negara berpenghasilan menengah & anggota G-20, Indonesia tergolong ke dalam negara industri baru.[22] Indonesia adalah ekonomi terbesar ke-17 di dunia berdasarkan PDB nominal dan terbesar ke-7 dalam hal PDB Keseimbangan Kemampuan Berbelanja (KKB). Pada tahun 2019, ekonomi Internet Indonesia mencapai US$40 miliar, dan diperkirakan akan mencapai US$130 miliar pada tahun 2025.[23] Indonesia bergantung pada pasar domestik dan pembelanjaan anggaran pemerintah dan kepemilikannya atas badan usaha milik negara (BUMN) (pemerintah pusat memiliki 141 BUMN). Administrasi harga berbagai barang kebutuhan pokok (termasuk beras dan listrik) juga memainkan peran penting dalam ekonomi pasar Namun, sejak tahun 1990-an, mayoritas perekonomian Indonesia dikuasai secara perorangan dan oleh perusahaan asing.[24][25][26]

Setelah krisis moneter 1997, pemerintah mengambil alih sebagian besar aset sektor swasta melalui akuisisi pinjaman bank bermasalah dan aset perusahaan melalui proses restrukturisasi utang dan perusahaan yang ditahan dijual untuk privatisasi beberapa tahun kemudian. Sejak 1999, ekonomi Indonesia telah pulih. Pertumbuhan telah meningkat menjadi lebih dari 4–6% dalam beberapa tahun terakhir.[27]

Pada tahun 2012, Indonesia menggantikan India sebagai ekonomi G-20 dengan pertumbuhan tercepat kedua, di belakang Tiongkok. Sejak itu, tingkat pertumbuhan tahunan berfluktuasi sekitar 5%.[28][29] Namun, Indonesia menghadapi resesi pada tahun 2020, ketika pertumbuhan ekonomi anjlok hingga −2,07% akibat pandemi COVID-19. Ini adalah pertumbuhan terburuk sejak krisis moneter 1997.[30]

Pada tahun 2021, produk domestik bruto Indonesia tumbuh 3,69%, karena penghapusan pembatasan COVID-19 serta rekor ekspor tertinggi yang didorong oleh harga komoditas yang lebih kuat.[31]

Indonesia diprediksi menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2045. Joko Widodo telah menyatakan bahwa perhitungan kabinetnya menunjukkan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki penduduk sebanyak 309 juta jiwa. Menurut perkiraan Jokowi, akan ada pertumbuhan ekonomi 5−6% & PDB sebesar US$9,1 triliun. Pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan mencapai US$29.000.[32]

Sejarah Ekonomi Indonesia

Orde lama

Pada periode 1960-1965, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi dengan penurunan pendapatan per kapita menjadi rata-rata 0,1% serta pertumbuhan ekonomi hanya 2%.[33] Kondisi ini juga diikuti dengan hiperinflasi dari 250% menjadi 650%.[34]

Orde Baru (1966-1998)

Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret sebagai landasan hukum untuk mengizinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik.

Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.[35]

Setelah pemerintahan diampu oleh Soeharto, beberapa keadaan ekonomi mulai membaik. Angka inflasi berhasil diturunkan dalam waktu satu tahun menjadi 112% pada tahun 1967 dan terus berlanjut menjadi 85% pada tahun 1968. Akhirnya turun drastis menjadi 10% pada 1969 sebelum di mulainya program Repelita.[36] Pemerintahan orde baru juga berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya hanya 2% menjadi rata-rata 5%. Perkembangan ekonomi ini makin membaik setelah pengenalan program Repelita 1 yang dimulai pada tanggal 1 April 1969. Berkat program ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu mencapai rata-rata 6% pada periode 1969-1973, yaitu saat Repelita I berlangsung.[37]

Pada akhir Repelita 1, laju inflasi kembali mengalami kenaikan setelah turun ke angka terendahnya, yaitu 4,6% pada tahun 1971. Kenaikan ini diakibatkan membaiknya harga pasar komoditi internasional serta peningkatan kredit perbankan mencapai 60% pada perioude 1973/1974. Akibat kondisi ini, inflasi mencapai 41% pada tahun 1974. Sebagai langkah penanggulangan inflasi yang mungkin akan terus meningkat, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan Paket Anti Inflasi pada tanggal 9 April 1974.[38]

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.100 pada 1997.[39] Peningkatan ini menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara pendapatan menengah ke bawah yang sebelumnya berada dalam kategori negara pendapatan rendah.[40]. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing. Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.

Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997, menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Longgarnya kebijakan pemerintah dan institusi jasa keuangan saat itu dan meningkatnya nilai ekspor barang non-migas, membuat banyak jasa keuangan berupa bank, asuransi dan berbagai lembaga keuangan lainnya muncul dengan tujuan mendapat keuntungan dari fasilitasi ekspor, namun dengan modal inti yang sering kali kurang.

Tanpa disadari oleh pemerintah dan institusi keuangan sendiri, besarnya kesempatan untuk membiayai fasilitasi ekspor tersebut, perlahan-lahan mulai menunjukkan bahwa pertumbuhan jasa keuangan tidak berkualitas, mulai memakan korban berupa tutupnya beberapa bank secara berantai akibat gagal menarik kredit yang macet, hingga modal inti yang kurang mulai menandai gelapnya perkembangan jasa keuangan yang saat itu tengah tumbuh pesat. Belum lagi dengan sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor menjadi bom waktu yang akan mewarnai kejatuhan ekonomi nasional.

Hal ini mencapai puncaknya ketika Krisis finansial terjadi di Asia dan merembet hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Dengan defisit anggaran yang sudah mencapai lebih dari 60% dari PDB nasional, ditambah dengan rasio NPL (kredit macet) yang sudah mencapai 20% lebih membuat pemerintah dan institusi pengawasan kegiatan keuangan hanya bisa memperlambat dan mengurangi parahnya krisis tersebut dengan menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai membebani anggaran negara dan berpotensi melebarkan defisit anggaran, berupa penutupan program pesawat nasional, permobilan nasional hingga subsidi ekspor komoditas. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Pasca-Soeharto

Perbandingan PDRB provinsi-provinsi di Indonesia dengan negara lain pada 2016

Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Pada 2010, ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihi Rp 6,300 triliun [41] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.

Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[42] oleh IMF dalam juta rupiah.

Tahun PDB % Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
1980 60,143.191
1985 112,969.792 13.5
1990 233,013.290 15.5
1995 502,249.558 16.6
2000 1,389,769.700 22.6
2005 2,678,664.096 14.0
2010 6,422,918.230 19.1

Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.

Kajian Pengeluaran Publik

Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar[43] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar[43] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar[43] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar[43] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15% dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen[43] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17,2%[43] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3,9%[43] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2% dari PDB pada tahun 2001[43] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih di bawah 1% dari PDB[43]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3,4% dari PDB[43]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15% pada tahun 2006[43], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Peta yang menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto per kapita provinsi-provinsi Indonesia pada tahun 2008 atas harga berlaku. PDRB per kapita provinsi Kalimantan Timur mencapai Rp100 juta manakala PDRB per kapita Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur kurang dari Rp5 juta.
  Lebih dari Rp.100 juta
  Rp50 juta ++ - Rp100 juta
  Rp40 juta ++ - Rp50 juta
  Rp.30 juta ++ - Rp40 juta
  Rp20 juta ++ - Rp.l30 juta
  Rp.10 juta ++ - Rp20 juta
  Rp5 juta ++ - Rp.l10 juta
  Kurang dari Rp5 juta

Pada 2012, Indonesia menggantikan India sebagai negara anggota G20 dengan ekonomi tercepat kedua setelah China. Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di kisaran angka 5%.[44][45] Pada 1 Juli 2020, Bank Dunia memutuskan Indonesia dikelompokkan sebagai negara berpenghasilan menengah keatas dengan pendapatan nasional bruto Indonesia pada tahun 2019 sebesar US$4.050, sedikit di atas klasifikasi Bank Dunia bahwa negara berpendapatan menengah keatas per-kapitanya berkisar US$4.046-US$12.535. Hal lain menurut Bank Dunia, adalah bahwa populasi kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan pengeluaran Rp 1,2-6 juta perorang perbulan.[46]

Kebijakan Saat Orba

Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960-an di bawah Presiden Soekarno, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai-berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca APBN yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta IMF untuk mengasistensi pengelolaan fiskal Indonesia yang masih rapuh.[butuh rujukan]

Ekonomi dan birokrasi

Memasuki tahun 1980-an perekonomian Indonesia memasuki fase baru dengan dikeluarkankanya kebijakkan deregulasi dan birokratisasi. Deregulasi dan birokratisasi pada dasarnya merupakan salah satu upaya dan tindakan konkret (nyata) yang dipergunakan untuk memperkuat dan meningkatkan daya saing perekonomian suatu Negara.[butuh rujukan]

Kata birokrasi berasal dan kata bureaucracy yang bermakna ‘administrasi yang dicirikan oleh kepatuhan pada aturan, pro­sedur, dan jenjang kewenangan sehingga sering mengakibatkan kelam­banan kerja, kerumitan perolehan hasil, dan penundaan gerak; sedang­kan kata birokratisasi yang berasal dan bureaucratization bermakna ‘hasil tindakan yang berhubungan dengan, atau yang bercorak birokrasi’. Kata regulasi yang berasal dari regulation bermakna ‘tindakan pengurus­an dengan berbagai aturan (yang berkekuatan hukum).Unsur de- yang melekat pada kata serapan dari bahasa asing, misalnya bahasa lnggris, bermakna (1) ‘melakukan hal yang sebaliknya’, (2) ‘mengalihkan sesuatu dari’, (3) ‘mengurangi’, (4) ‘suatu ubahan dari’, dan (5) ‘keluar dari’. Jadi, debirokratisasi bermakna ‘tindakan atau proses mengurangi tata kerja yang serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan lebih cepat’, sedangkan deregulasi bermakna ‘tindakan atau proses menghilangkan atau mengurangi segala aturan’.Perlu diingat bahwa pada kedua bentuk itu sudah terkandung makna tindakan. OIeh sebab itu, jika kita akan membentuk kata kerja, tidak perlu kita menambahkan imbuhan -kan. Jadi, cukup mendebiro­kratisasi atau mende­regulasi, dan bukan mendebirokratisasikan atau menderegulasikan.[butuh rujukan]

Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan industri dan perdagangan berbasis ekspor menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu The East Asia Miracle pada tahun 1990-an, di mana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam. Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan Thailand. Meski Indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri manufaktur dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api dan bandara yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.[butuh rujukan]

Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika Krisis moneter 1998 merebak ke berbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.[butuh rujukan]

Data

Tabel berikut menunjukkan indikator ekonomi utama tahun 1980–2020. Inflasi di bawah 5% berwarna hijau.[47]

Tahun PDB (KKB)
(miliar USD)[48]
PDB (KKB) per kapita
(USD)[49]
Persentase dari total PDB (KKB) dunia Pertumbuhan PDB (KKB)
(riil)[50]
Pertumbuhan PDB (KKB) per kapita
(riil)[51]
Tingkat inflasi
[52]
Hutang pemerintah
(dari PDB (KKB))[53]
1980 Kenaikan 189,9 Kenaikan 1.287 Kenaikan 1,42% Kenaikan 9,88% N/A 18,0% N/A
1981 Kenaikan 223,6 Kenaikan 1.487 Kenaikan 1,50% Kenaikan 7,60% N/A 12,2% N/A
1982 Kenaikan 242,8 Kenaikan 1.583 Kenaikan 1,53% Kenaikan 2,24% N/A 9,48% N/A
1983 Kenaikan 262,9 Kenaikan 1.681 Kenaikan 1,56% Kenaikan 4,19% N/A 11,7% N/A
1984 Kenaikan 293,0 Kenaikan 1.837 Kenaikan 1,61% Kenaikan 7,57% N/A 10,4% N/A
1985 Kenaikan 314,1 Kenaikan 1.931 Kenaikan 1,62% Kenaikan 3,91% N/A 4,7% N/A
1986 Kenaikan 343,5 Kenaikan 2.070 Kenaikan 1,67% Kenaikan 7,18% N/A 5,8% N/A
1987 Kenaikan 375,1 Kenaikan 2.217 Kenaikan 1,71% Kenaikan 6,57% N/A 9,2% N/A
1988 Kenaikan 415,4 Kenaikan 2.408 Kenaikan 1,75% Kenaikan 6,97% N/A 8,0% N/A
1989 Kenaikan 470,9 Kenaikan 2.677 Kenaikan 1,85% Kenaikan 9,08% N/A 6,4% N/A
1990 Kenaikan 559,1 Kenaikan 3.082 Kenaikan 1,90% Kenaikan 7,24% Kenaikan 5,34% 9,0% 45,7%
1991 Kenaikan 617,9 Kenaikan 3.347 Kenaikan 2,00% Kenaikan 6,91% Kenaikan 5,07% 8,7% 40,3%
1992 Kenaikan 673,1 Kenaikan 3.585 Kenaikan 2,08% Kenaikan 6,49% Kenaikan 4,71% 7,2% 42,7%
1993 Kenaikan 733,8 Kenaikan 3.845 Kenaikan 2,17% Kenaikan 6,49% Kenaikan 4,76% 19,1% 37,4%
1994 Kenaikan 806,0 Kenaikan 4.156 Kenaikan 2,26% Kenaikan 7,54% Kenaikan 5,84% 7,8% 36,5%
1995 Kenaikan 890,5 Kenaikan 4.522 Kenaikan 2,37% Kenaikan 8,22% Kenaikan 6,56% 9,8% 30,8%
1996 Kenaikan 977,8 Kenaikan 4.891 Kenaikan 2,46% Kenaikan 7,81% Kenaikan 6,21% 8,6% 23,9%
1997 Kenaikan 1.041,0 Kenaikan 5.134 Kenaikan 2,47% Kenaikan 4,70% Kenaikan 3,19% 12,6% 72,5%
1998 Penurunan 914,8 Penurunan 4.447 Penurunan 2,17% Penurunan -13,12% Penurunan -14,35% 75,3% 55,2%
1999 Kenaikan 935,4 Kenaikan 4.484 Penurunan 2,05% Kenaikan 0,79% Penurunan -0,61% 14,2% 45,2%
2000 Kenaikan 1.003,0 Kenaikan 4.743 Penurunan 2,04% Kenaikan 4,92% Kenaikan 3,48% 20,4% 87,4%
2001 Kenaikan 1.063,0 Kenaikan 4.956 Kenaikan 2,07% Kenaikan 3,64% Kenaikan 2,23% 14,3% 73,7%
2002 Kenaikan 1.128,0 Kenaikan 5.190 Kenaikan 2,09% Kenaikan 4,49% Kenaikan 3,09% 5,9% 62,3%
2003 Kenaikan 1.204,0 Kenaikan 5.465 Kenaikan 2,12% Kenaikan 4,78% Kenaikan 3,37% 5,4% 55,6%
2004 Kenaikan 1.299,0 Kenaikan 5.816 Penurunan 2,11% Kenaikan 5,03% Kenaikan 3,63% 8,5% 51,3%
2005 Kenaikan 1.415,0 Kenaikan 6.254 Kenaikan 2,13% Kenaikan 5,69% Kenaikan 4,29% 14,3% 42,6%
2006 Kenaikan 1.538,0 Kenaikan 6.708 Penurunan 2,12% Kenaikan 5,50% Kenaikan 4,10% 14,0% 35,8%
2007 Kenaikan 1.680,0 Kenaikan 7.229 Kenaikan 2,14% Kenaikan 6,34% Kenaikan 4,94% 11,2% 32,3%
2008 Kenaikan 1.816,0 Kenaikan 7.710 Kenaikan 2,18% Kenaikan 6,01% Kenaikan 4,62% 18,1% 30,3%
2009 Kenaikan 1.914,0 Kenaikan 8.021 Kenaikan 2,28% Kenaikan 4,62% Kenaikan 3,24% 8,2% 26,4%
2010 Kenaikan 2.056,9 Kenaikan 8.655 Kenaikan 2,29% Kenaikan 6,22% Kenaikan 4,81% 5,1% 24,5%
2011 Kenaikan 2.229,5 Kenaikan 9.213 Kenaikan 2,34% Kenaikan 6,17% Kenaikan 4,74% 5,3% 23,1%
2012 Kenaikan 2.413,4 Kenaikan 9.833 Kenaikan 2,41% Kenaikan 6,03% Kenaikan 4,60% 3,9% 22,9%
2013 Kenaikan 2.535,0 Kenaikan 10.188 Steady 2,41% Kenaikan 5,55% Kenaikan 4,15% 6,4% 24,8%
2014 Kenaikan 2.622,2 Kenaikan 10.398 Penurunan 2,40% Kenaikan 5,00% Kenaikan 3,63% 6,3% 24,7%
2015 Kenaikan 2.647,7 Penurunan 10.359 Penurunan 2,38% Kenaikan 4,87% Kenaikan 3,55% 6,3% 26,9%
2016 Kenaikan 2.744,9 Kenaikan 10.618 Steady 2,38% Kenaikan 5,03% Kenaikan 3,76% 3,5% 27,9%
2017 Kenaikan 2.894,1 Kenaikan 11.073 Kenaikan 2,38% Kenaikan 5,07% Kenaikan 3,84% 3,8% 28,7%
2018 Kenaikan 3.116,8 Kenaikan 11.798 Kenaikan 2,42% Kenaikan 5,17% Kenaikan 3,98% 3,2% 29,8%
2019 Kenaikan 3.331,8 Kenaikan 12.483 Kenaikan 2,47% Kenaikan 5,02% Kenaikan 3,87% 2,8% 30,1%
2020 Penurunan 3.328,2 Penurunan 12.345 Kenaikan 2,55% Penurunan -2,07% N/A 2,0% 38,5%
2021 Kenaikan 4.349,5 Kenaikan 12.967 Penurunan 2,44% Kenaikan 3,20% N/A Kenaikan 1,5% 38,1%
2022 Kenaikan 4.505,5 Kenaikan 13.981 Kenaikan 2,47% Kenaikan 5,94% N/A Kenaikan 2,8% 40,1%

Referensi

  1. ^ a b c d "Report for Selected Countries and Subjects". IMF.org. Dana Moneter Internasional. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-10-19. Diakses tanggal 10 October 2023. 
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama 2022/04
  3. ^ a b c d "CIA World Factbook". CIA.gov. Badan Intelijen Pusat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-13. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  4. ^ "Inflasi terjadi pada Desember 2022 sebesar 5,51 persen. inflasi tertinggi terjadi di Kotabaru sebesar 8,65 persen". www.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-02. Diakses tanggal 2023-01-20. 
  5. ^ "worldpoverty 2021". worldpoverty. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-20. Diakses tanggal 2022-05-09. 
  6. ^ "Global Multidimensional Poverty Index 2020" (PDF). UNDP. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-05-09. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  7. ^ "Badan Pusat Statistik". Badan Pusat Statistik. 17 Juli 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-18. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  8. ^ "Poverty headcount ratio at $1.90 a day (2011 PPP) (% of population) - Indonesia | Data". data.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-09. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  9. ^ "Poverty headcount ratio at $3.20 a day (2011 PPP) (% of population) - Indonesia | Data". data.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  10. ^ "Gini index (World Bank estimate) - Indonesia | Data". data.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-19. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  11. ^ "Indonesia : Distribution of employment by economic sector from 2010 to 2020". statista.com. Statista. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-20. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  12. ^ "Ease of Doing Business in Indonesia". Bank Dunia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-18. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  13. ^ a b c d "BPS Indonesia". www.bps.go.id/. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-18. Diakses tanggal 20 Jan 2023. 
  14. ^ a b "Indonesia sex's External Debt Growth in Q3/2021 Remained Manageable". www.bi.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-11. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  15. ^ "Realisasi Pendapatan Negara 2021". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-14. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  16. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-05-16. Diakses tanggal 2022-04-10. 
  17. ^ "Indonesia | Japan Credit Rating Agency, LTD. - JCR". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-10. Diakses tanggal 2022-04-10. 
  18. ^ "Indonesia | Japan Credit Rating Agency, LTD. - JCR". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-10. Diakses tanggal 2022-04-10. 
  19. ^ a b "Indonesia Credit Rating". World Government Bonds (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-21. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  20. ^ "Fitch Affirms Indonesia at 'BBB'; Outlook Stable". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-13. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  21. ^ "CADANGAN DEVISA DESEMBER 2022 MENINGKAT". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal Januari 20, 2023. 
  22. ^ [1] Diarsipkan 2017-12-04 di Wayback Machine., g20.org. Diakses pada 9 Mei 2022.
  23. ^ Kurmala, Azis. Suharto, ed. "Indonesia poised to become Southeast Asian giant in digital economy". ANTARA News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-05. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  24. ^ "Kemenperin – Ketika Swasta Mendominasi". Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2022. 
  25. ^ Adhi, Adrianus (3 Maret 2015). "80 Persen Industri Indonesia Disebut Dikuasai Swasta". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2022-05-09. 
  26. ^ "Kemenperin – Pengelola Kawasan Industri Didominasi Swasta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2022. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  27. ^ "Acicis – Dspp". Acicis.murdoch.edu.au. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-04. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  28. ^ "GDP growth (annual %)". data.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-18. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  29. ^ "Why Indonesia's Apparent Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation". worldpoliticsreview.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-05. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  30. ^ S, Lidya Julita. "Pertumbuhan Ekonomi 2020 -2,07%, Terburuk Sejak Krismon 98!". CNBC Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-09. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  31. ^ "Beating expectations, Indonesia's economy grows 5 percent in Q4". www.aljazeera.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-05. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  32. ^ "Indonesia Will be World's 4th Largest Economy by 2045, President Jokowi Says". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 27 Maret 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2022. Diakses tanggal 9 Mei 2022. 
  33. ^ Soeharto (1995). "Address of state H.E the President of the Republic of Indonesia Soeharto". Dalam Alatas, Ali; Moerdiono; Ave, Joop; Sutresna, Nana S; Dharmaputra, Garnawan; Sukartiko, Rachmat; Achjadi, A.S. Indonesia, the first 50 years, 1945-1995. Buku Antar Bangsa. Jakarta: Buku Antar Bangsa. hlm. 69. ISBN 979-8926-00-5. OCLC 37405350. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-11-04. 
  34. ^ "Soeharto, Pernah Naikkan Martabat Indonesia". Kompas.com. 27 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-04. Diakses tanggal 4 November 2021. 
  35. ^ Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.
  36. ^ Sari, Elisa Valenta (14 September 2015). "Kisah Inflasi 650 Persen dan Cerutu Ali Wardhana". CNN Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  37. ^ Badan Pusat Statistik (2015). Statistik 70 th. Indonesia merdeka (PDF). Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. hlm. 110. ISBN 978-979-064-858-6. OCLC 971018639. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-11-15. Diakses tanggal 2021-11-15. 
  38. ^ Sukendar, Anang (2000). "Pengujian dan pemilihan model inflasi dengan non nested test studi kasus perekonomian indonesia periode 1969-1997" (PDF). Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. 15 (2): , 164 – 178. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 2021-11-16. 
  39. ^ Ardanareswari, Indira (1 April 2020). "Repelita ala Orba: Pembangunanisme yang Mengandalkan Modal Asing". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  40. ^ "Produk Domestik Bruto Indonesia". www.indonesia-investments.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-16. Diakses tanggal 16 November 2021. 
  41. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-20. Diakses tanggal 2011-07-30. 
  42. ^ "Edit/Review Countries". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-28. Diakses tanggal 2011-07-30. 
  43. ^ a b c d e f g h i j k "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2007-08-09. Diakses tanggal 2007-07-19. 
  44. ^ "GDP growth (annual %)". data.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-18. Diakses tanggal 2017-08-05. 
  45. ^ "Why Indonesia's Apparent Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation". worldpoliticsreview.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-05. Diakses tanggal 2020-05-06. 
  46. ^ "Pekerjaan Rumah Pacu Kelas Menengah". Kompas. 4 Juli 2020. Hlm. 1 & 15.
  47. ^ "Report for Selected Countries and Subjects: October 2020 Indonesia". imf.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 16 October 2020. 
  48. ^ "Indonesia GDP world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 
  49. ^ "Indonesia GDP Percapita world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 
  50. ^ "Indonesia GDP Growth world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 
  51. ^ "Indonesia GDP Per capita Growth world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 
  52. ^ "Indonesia Inflation world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 
  53. ^ "Indonesia Central Government Debt world bank". data.worldbank.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-10. Diakses tanggal 30 September 2020. 

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya