Enno ErkelensEnno Erkelens (10 Desember 1908 – 14 Mei 2002) adalah kolonel zeni Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger dan penerima Bintang Perjuangan Asia Timur. KarierErkelens memulai karier militernya sebagai sukarelawan dan pada tanggal 1 Juli 1929, ia naik pangkat dari pangkat letnan muda menjadi letnan dua cadangan di Resimen Infanteri XVI.[1] Saat berpangkat letnan satu, ia ditugaskan dalam dinas perhubungan tentara KNIL dan menjadi terkenal antara lain karena tindak perjuangannya selama pendudukan Jepang di Indonesia. Atas tindakan tersebut, ia dianugerahi Bintang Perjuangan Asia Timur berdasarkan Surat Keputusan tgl. 16 Januari 1950. Setelah Perang Dunia II, ia bekerja sebagai kepala dinas perhubungan di markas besar tentara Belanda di Jakarta selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Erkelens adalah sahabat dekat Jenderal Simon Hendrik Spoor, yang bersamanya ia memainkan peranan politik yang penting dan banyak di antaranya yang terkait dengan wilayah politik internasional. Pada bulan April 1948, ia bekerja sebagai komandan 2 peleton Aan en Afvoertroepen (AAT) dan MTO di Jawa Tengah saat berpangkat sebagai kapiten.[2] Sebagai mitra terdekat dan anggota dinas perhubungan militer di Jakarta, yang berdinas di markas besar dalam kendali langsung Jend. Simon Spoor, Erkelens teryakinkan bahwa keberadaan Ny. Spoor-Dijkema bukan di Jakarta, melainkan di Belanda demi seseorang yang kemungkinan pembunuh dan yang memerintahkan pembunuhan Jend. Spoor melalui isterinya.[3] Ia memiliki 2 medali kehormatan dan sejumlah penghargaan lain. Perang Dunia II di Hindia BelandaKamp JepangAntara tahun 1942-1943, Erkelens ditempatkan di barak prajurit yang berada di kamp konsentrasi Glugur, Medan. Kempeitai saat itu sedang berusaha mengatasi sesuatu yang disebut sebagai rencana Overakker, dinamai menurut seorang mayor jenderal yang pada tahun 1941 diangkat sebagai komandan seluruh kesatuan KNIL di Sumatra. Rencana tersebut termasuk pelatihan mental militer dan tindakan ekonomi, yang tujuannya harus membebaskan Hindia Belanda (kini Indonesia). Banyak perjuangan yang ditempuh untuk rencana itu. Karena sudah bertahun-tahun menjadi perwira penghubung antara Office of Strategic Services dan staf pribadi GubJend. di Weltevreden (kini Lapangan Banteng), Erkelens berpikir bahwa dirinya lebih baik mengamati dari kejauhan saja karena terlalu banyak tau. Di kamp tersebut, Erkelens adalah anggota kumpulan pejuang ilegal, yang di dalamnya hanya terdapat perwira cadangan dan taruna. Kumpulan tersebut bertujuan bertukar informasi dan mengarahkan skema sabotase. Tak lama setelah inspeksi berkala yang dilaksanakan oleh Kempeitai, ia dicekal dan disekap di bekas sekolah dasar di Medan. Di tengah malam, ia dibawa keluar dari sana, ke tempat peleton eksekusi sudah siap menanti. Sebelum dieksekusi, ia dipersilakan menulis surat kepada isterinya dengan syarat ia mengatakan bahwa ia telah melawan Dai-Nippon Teikoku Rikugun. Setelah menolak, Erkelens dihajar dan dikembalikan ke selnya. Kemudian, ia dibawa pindah ke Pangkalan Brandan dengan mobil dan ditahan di sana. Di sana, ia dipaksa melihat bagaimana penduduk pribumi diperlakukan dengan kejam oleh Kempeitai. Pada akhir bulan Desember 1943, terjadi gelombang penangkapan baru dan Erkelens kini akhirnya digiring ke markas Kempeitai yang sudah terkenal akan kekejamannya di Bukittinggi; ia tidak diperiksa untuk dakwaan apapun, namun semua interogasi mencari-cari kesalahannya, dan ia dipaksa membuat pengakuan. Pada saat tersebut, ia mengetahui bahwa Ir. Boekenogen dan tangan kanan teknisnya Ir. Van Ravenswaay telah dibunuh oleh Kempeitai. Letnan Dua Karel Schuessler mengalami nasib yang sama karena tidak mau melayani nafsu homoseksual sipir. Erkelens kemudian berkata:
Penyidikan lanjutanPada tanggal 26 Juni, ia dipindahkan dengan kapal tempur yang telah diubah menjadi kapal penumpang biasa, Van Waterwijck; pada hari yang sama, kapal tersebut ditorpedo oleh kapal selam Sekutu; selama serangan tersebut, Erkelens hampir mati seperti teman dan mitranya, namun, karena berhasil mencapai timbunan sisal, ia dapat bertahan hidup dan dijejalkan ke dalam kapal tanker Jepang, yang membawanya ke Singapura. Setelah 6 minggu, interogasi oleh Kempeitai dimulai; yang untuk itu ia dijebloskan ke dalam truk dalam kondisi terikat pada tangan dan kaki, dijejalkan ke perahu torpedo cepat yang membawanya ke Pekanbaru melalui Selat Malaka dan Sungai Siak. Dari sini, ia diangkut lagi ke Bukittinggi, tempat "gerombolan lainnya menyambut dan menahan kami dengan sadis. Saya dijebloskan ke dalam sel."[4] Setelah ada tiap berita bahwa ada bahaya untuk Jepang, ia mendapatkan 'perlakuan ekstra'. Di minggu-minggu tersebut, gigi seri dan taringnya dipukul dengan warangka pedang samurai. Dalam selnya, ia diasapi hingga tidak sadar, setelah itu disirami air dingin dan diinterogasi lagi. Erkelens sudah mengetahui dari OSS bahwa sebelum dirinya kehilangan kesadaran harus berpikir: "menjaga wajah", karena saat bangun seolah-olah ada orang lain yang memberi perintah, sehingga tak memberi tau apapun pada Kempeitai.[5] Ia kemudian disiksa dengan "jungkat-jungkit" (papan kecil di terdakwa harus duduk mengangkang dan menyebabkan nyeri hebat pada alat vital) dan harus menyaksikan hukuman mati terhadap 8 orang Tionghoa muda. Orang Tionghoa dipaksa menggali kuburnya sendiri, harus berlutut di pinggirnya, menerima dan meminum segelas sake dan kemudian dipenggal, di mana algojo akan menghantam beberapa kali, pertama-tama bagian kepala dan kemudian badannya dalam lubang.
Pada bulan Maret 1945, Erkelens dipindahkan ke kamp konsentrasi Pekanbaru II, "kamp kematian" bagi buruh jalur KA Muaro-Pekanbaru, dan tetap di sana hingga saatnya dibebaskan pada tanggal 22 Agustus. Pada akhir tahun 1945, ia menjadi anggota Allied War Crimes Investigation Team (AWCRIT) dan mendapatkan kesempatan dua kali untuk menangkap dan menembak mati algojonya dahulu.
Rujukan
|