Etika JawaEtika Jawa adalah ajaran hidup yang umum dipakai atau berlaku di masyarakat Jawa, Indonesia.[1][2] Etika Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang adat istiadat, pandangan hidup, nilai-nilai, filsafat yang berlangsung di masarakat Jawa.[2] Etika Jawa, menurut Frans Magnis Suseno, seorang peneliti dan penulis budaya dan etika jawa, ialah panduan hidup yang berlandaskan moral, hati nurani, dan olah rasa.[1] Ciri Etika Jawa dibanding ilmu etika lainnya terdapat pada penekanan dimensi keselarasan antara makrokosmos (manusia) dan mikrokosmos (keteraturan semesta).[2] Ciri-ciri Etika JawaDalam buku Etika Jawa, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mengenal baik dan jahat, melainkan orang yang bertindak karena ketidaktahuan.[1] Jadi, apabila orang bertindak merugikan orang lain, itu dianggap sebagai orang yang belum mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik.[1] Keselarasan dalam Etika JawaEtika Jawa menekankan keharmonisan, keselarasan pada setiap dimensi kehidupan, salah satunya dengan alam.[1] Orang Jawa yang ideal adalah mereka yang melakukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut hak.[3] Kerukunan pada orang Jawa mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi, artinya semakin besar lingkup komunitasnya, semakin mengecil kepentingan kelompok kecil yang ada di dalamnya.[3] Kekuasaan dalam Etika JawaEtika Jawa menekankan sikap hormat terhadap apa saja karena segala yang ada di dunia adalah percikan zat ilahi.[3] Sikap hormat semacam ini melampaui sikap hormat yang didasarkan pada hierarki jabatan dalam institusi-insitusi.[3] Oleh karena itu, penghormatan kepada seorang raja pun sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa seorang raja merupakan wakil Tuhan untuk melangsungkan tatanan dunia sesuai kehendak ilahi, dan apabila seorang raja gagal melaksanakan mandat menyejahterakan rakyat karena lebih senang memenuhi nafsu-nafsu pribadi, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaan dari rakyat.[3] Sumber-sumber Etika JawaEtika Jawa tertuang dalam berbagai bentuk karya peninggalan orang Jawa seperti epos Mahabarata, Ramayana, atau karya-karya mitologis lainnya.[4] Selain itu bebeapa bentuk karya lain yang merupakan sumber ajaran etika Jawa berupa tembang, cerita rakyat, peribahasa, slogan-slogan tertentu hingga petuah-petuah sederhana yang sering diucapkan masyarakat dalam hidup sehari-hari.[1][3] Selain itu, sumber etika yang lazim didapati dalam hidup keseharian dapat digali dari ritus-ritus slametan yang sarat dengan simbol-simbol penuh makna sebagai panduan hidup.[5] Beberapa Slogan Etika Jawa
Etika WayangTerdapat dua tradisi mitologi wayang terbesar yang hidup dalam masyarakat Jawa, yaitu epos Mahabarata dan Ramayana.[4] I Gede Samba, seorang penafsir cerita Mahabarata dan Ramayana mengatakan bahwa kedua epos tersebut harus dilihat sebagai mitologis, bukan kisah sejarah.[4] Narasi-narasi kisah, karakter setiap tokoh dalam epos Mahabarata dan Ramayana, termasuk perang-perang yang ada dalamnya harus dilihat sebagai kisah yang terjadi dalam setiap manusia, dalam diri manusia, bukan kisah antar-individu.[4] Setiap peristiwa, perang misalnya, adalah perang yang pertama-tama terjadi dalam diri seseorang, bukan perang antar-manusia.[4] Perang antara Kurawa dan Pandawa misalnya, adalah perang antara sifat buruk dan sifat baik yang ada dalam diri seseorang, sehingga perang yang paling pantas dilakukan adalah perang terhadap watak buruk dalam diri sendiri, bukan memerangi pihak (orang) lain yang perlu dimusnahkan.[4] Etika Jawa menghindari peperangan antar-pribadi, antar-kelompok, karena manusia harus hidup dalam harmoni.[4] Jika keharmonisan mulai hilang dari masyarakat, maka pertama-tama manusia harus menilik ke dalam diri tentang apa yang salah dalam dirinya.[4] Wayang sebagai Media Pendidikan WatakWayang merupakan salah satu media pendidikan watak bagi orang Jawa.[6] Wayang tidak mengajarkan etika secara indoktrinasi (harus begini atau begitu), melainkan memberi keleluasaan penonton untuk menafsirkan setiap kisah dengan terbuka.[6] Wayang tidak mengajarkan nilai-nilai secara teoretis, melainkan konkret dalam cerita atau lakon-lakon tertentu.[6] Melalui adegan-adegan yang sifatnya lucu, mengharukan, membuat hati panas dan geram, serta membuat orang tersentuh hatinya menjadikan wayang sebagai media pendidikan watak yang total namun dipandang non-formal.[6] Nilai-nilai etis dalam wayang tidak dapat dipisahkan dari filsafat, agama, bahkan estetika, karena nilai-nilai etis di dalamnya memang erat dengan nilai-nilai tersebut.[6] Contoh Lakon Wayang yang Populer di JawaReferensi
|