Fadhil Shalih as-Samarrai
Ayahnya adalah Fadhil Mahdi as-Samarrai. Salah satu putranya, yang juga mengajar di Universitas Sharjah, adalah Muhammad Fadhil as-Samarrai.[3] Pendidikan dan karier mengajarFadhil as-Samarrai tetap di kota kelahirannya sampai tamat SMA. Setelah itu, dia pergi ke Baghdad dan mengikuti kursus persiapan pengajar. Pasca lulus pada tahun 1953, dia sempat mengajar di ibukota tersebut sebelum mengambil pendidikan sarjana bidang bahasa Arab di Darul Mu'allimin al-'Aliyah (pada 1958 berubah nama menjadi Fakultas Pendidikan Ibnu Rusyd, Universitas Baghdad) sampai lulus dari 1957 sampai 1961. Sempat mengajar SMA setelah lulus sarjana, lalu dia mengambil pendidikan pascasarjana di Fakultas Sastra Arab, Universitas Baghdad. Pada tahun kelulusannya, Universitas Baghdad merekrutnya menjadi dosen bahasa Arab di Fakultas Pendidikan. Pada tahun 1968, dia meraih gelar doktor pada program bahasa Arab dari Fakultas Sastra Arab, Ain Shams University.[3] Setelah itu, sambil tetap mengajar di Universitas Baghdad, kariernya berpindah-pindah. Tahun 1979 pergi mengajar di Universitas Kuwait, 1983 menjadi anggota ahli Komite Ushul di Iraqi Academy of Sciences, 1996 menjadi anggota tetap komite tersebut, dan 1998 pensiun setelah hampir empat puluh tahun menjadi profesor nahwu di Universitas Baghdad. Fadhil as-Samarrai akhirnya pindah ke wilayah teluk, sempat mengajar satu tahun di Universitas Ajman, dan akhirnya pindah mengajar di Universitas Sharjah.[3] Fadhil as-Samarrai, terlepas dari lingkungan keluarga yang islami, sempat mengalami krisis keyakinan. Di masa mudanya, dia meyakini bahwa sebenarnya, “Tidak ada satu orang pun yang percaya adanya tuhan di dunia. Semua orang adalah ateis. Namun, sebagian orang merahasiakannya dan sebagian orang menampakkannya.” Dia juga meragukan tentang kenabian Muhammad. Dia tidak bisa diyakinkan oleh berbagai sumber bacaan yang dia temui, termasuk Taurat dan Injil. Dia menghindari Alquran, karena menurutnya Alquran tidak lebih dari alat yang dipakai oleh Muhammad untuk membenarkan klaim kenabiannya. Sampai akhirnya, sebuah tulisan Muhammad Rasyid Ridha, “Al-Wahy al-Muhammadī”, membuatnya terkesan dan penasaran untuk membaca sendiri di dalam Alquran sebelum akhirnya kembali beriman.[4] Pengaruh dalam bidang tafsirKarya-karya Fadhil as-Samarrai memberikan wawasan mendalam akan mukjizat kebahasaan dalam Alquran.[1] Dia memopulerkan pendekatan baru terhadap teks Alquran, yakni dengan pendekatan tunggal melalui alat-alat bahasa. Berbagai segi bahasa, seperti sintaksis dan fungsi-fungsi dari keberagamannya, bagi yang memiliki spesialisasi di dalamnya cukup menjadi dalil yang menunjukkan segala maksud yang diinginkan Alquran.[2] Bibliografi
Lihat PulaPranala luarSaluran Youtube Lamasāt Bayānīyah. Diarsipkan 2023-04-04 di Wayback Machine. Referensi
|