Firman Muntaco (sastrawan)Firman Muntaco (5 Mei 1935 – 10 Januari 1993) adalah maestro sastrawan Betawi. Dalam perjalanan kiprahnya sebagai sastrawan, Firman anak Betawi telah melahirkan cerpen Betawi yang jumlahnya mencapai 5000 buah. Meski karyanya mencapai hingga ribuan, namun tidak semua hasil kerjanya masih bisa dinikmati secara luas hingga saat ini karena yang sempat diselamatkan oleh Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin hanya 499 cerpen.[1] Firman memilih dialek Betawi sebagai media ekspresinya. Adapun dia memiliki alasan sendiri di balik keputusannya itu. Dia meyakini dialek Betawi punya keunggulan dan kekuatan untuk menyampaikan ide-ide sastra. Dalam konteks ini, Firman menyediakan dirinya sebagai wadah di mana dialek Betawi yang dibentuk oleh komunitasnya mampu menemukan kekuatannya. Terbukti, dalam cerpen-cerpen karyanya ia dengan piawi mampu menampilkan dialek Betawi dengan cara yang cemerlang. Terwarnainya karya-karya Firman dengan dialek Betawi bisa dilihat dari adanya kata-kata yang tidak lazim ditemukan dalam dunia kesusastraan Indonesia pada era 1660-an seperti bisa, sembari, nongol, dong, deh, sih, dan yang lainnya.[2] Segi paling menarik dari Firman adalah sifat kerakyatannya. Cerpen-cerpen Firman dalam Gambang Djakarte (dua jilid, 1960), adalah ruang yang menampilkan potret kehidupan rakyat kecil di Jakarta sehari-hari. Hal lain yang paling mengesankan adalah kemampuan Firman menyampaikannya dalam genre yang paling sulit, yakni humor. Buku Gambang Jakarta sendiri kemudian diterbitkan ulang pada tahun 2006.[3] Salah satu isu yang pernah diangkat dalam karya Firman adalah sifat orang Betawi yang enggan untuk pergi merantau berpindah dari kampung halamannya. Dalam salah satu cerpen yang diterbitkan Berita Minggu dalam kolom Gambang Djakarte pada era 1960-an, Firman mengisahkan tentang tokoh bernama Bang Amsir yang menasihati anaknya ketika akan pergi merantau. Dalam cerita itu, Bang Amsir mengingatkan anaknya bahwa Jakarta bukanlah kota yang buruk untuk mencari nafkah, terbukti dari banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang mengadu nasib di sana. Firman dan dua tokoh Betawi lain, Djabir dan Alwi Mas'oed, mengakui bahwa memang ada aspek negatif dari sifat demikian, yaitu orang menjadi lebih santai dan kurang menghadapi tantangan dalam hidupnya. Jika perantau di Jakarta akan malu untuk pulang kampung jika tidak sukses, maka orang Betawi masih dapat mengandalkan bantuan dari sanak famili.[4] Apa yang disoroti oleh Firman memang sesuai dengan kenyataan yang ada. Saat itu memang pemerintah sedang menggalakan program transmigrasi. Namun, masyarakat Betawi tetap bertahan di daerahnya. Alih-alih berpindah ke luar daerah, sejak dulu masyarakat Betawi menyaksikan bagaimana para pendatangan berdatangan, bahkan sejak zaman Hindia Belanda karena tersedianya berbagai fasilitas.[4] Sebagai pegiat budaya, Firman menaruh perhatian terhadap keberlangsungan kesenian Betawi. Tidak hanya bidang sastra yang digelutinya, ia juga turut memperhatikan bidang kesenian lain seperti musik. Pada tahun 1986, dalam tulisan di harian Merdeka Firman pernah mengutarakan rasa prihatin terhadap minimnya regenerasi seniman Betawi. Ia menyayangkan minat generasi muda yang rendah terhadap kesenian yang bersifat komersial seperti rebana, Gambang Rancak, Blenggo Ajeng, dan Keroncong Tugu.[5] Ketekunan dan kontribusi Firman bagi kebudayaan Betawi diakui oleh tokoh-tkoh Betawi. Rusdi Saleh menyebut bahwa Firman adalah pahlawan budaya Betawi. Sedangkan S.M. Ardan mengatakan Firman adalah orang yang memiliki dedikasi sebesar seribu persen.[6] Kehidupan PribadiFirman Muntaco bukan nama asli pria asli Betawi ini. Nama sebenarnya adalah Firmansyah Muntaco. Lahir di Petojo Sabangan, Jakarta, Firman hidup sebagai anak sulung dari lima bersaudara. Sang ayah, Haji Muntaco, adalah seorang pengusaha sekaligus tuan tanah. Usaha ayah Firman bergerak di bidang tembakau dan susu. Di bidang tembakau, Haji Muntaco menjalani bisnis eksportir, sementara itu sang ayah juga memiliki pabrik susu.[2] Dengan latar belakang keluarga dengan sumber penghasilan yang mapan seperti demikian, Firman bisa digolongkan sebagai anak dari golongan berada secara ekonomi. Firman sendiri pernah berbicara mengenai latar belakanganya ini dengan nada berkelakar bahwa ia merupakan "anak gedongan" yang mampu keluyuran dengan mengendarai mobil sendiri dan "makan pake ayam". Meski demikian, Firman tidak membatasi pergaulannya secara eksklusif dan tetap tidak menjauhkan diri dari lingkungan rakyat kecil. Pergaulan dengan masyarakat yang berbeda strata ekonomi dengannya ini bahkan berperan menghasilkan gambaran mengenai lika-liku kehidupan masyarakat Betawi kelas bawah dalam karya-karyanya.[2] Dalam hal pendidikan, Firman tergolong cukup. Masa hidup Firman sebagai pelajar dijalani dengan mengenyam pendidikan level Sekolah Lanjutan atas (SLA) hingga lulus pada 1954. Selepas lulus dari SLA, Firman kemudian memulai langkah kariernya sebagai sastrawan, tepatnya sekitar setahun setelahnya atau 1955. Pada masa-masa awal kariernya, Firman menghasilkan karya berupa sketsa atau cerpen yang banyak dimuat sejumlah majalah dan surat kabar. Karya-karya yang dihasilkannya tersebut membuat Firman kemudian dikenal sebagai penulis yang memiliki ciri khas berupa adanya persoalan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi yang kerap diangkat.[7] Berselang sekitar empat tahun setelah lulus dari SLA, Firman melanjutkan pendidikannya dengan mulai mengikuti kuliah di Akademi Publisistik pada tahun 1958. Namun, kuliahnya tidak bertahan lama dan terhenti pada tahun 1959.[7] Melalui sastra, Firman mengabdikan seluruh hidupnya untuk Betawi. Salah satu anak Firman, Fifi Firman Muntaco, mengutarakan cerita tentang bagaimana ketekunan Firman dalam bergelur dalam dunianya. Pada suatu waktu, kegiatan Firman yang aktif menulis di berbagai media hanya menghasilkan pendapatan finansial yang begitu terbatas. Honor untuk menulis kala itu hanya Rp 25 ribu, sementara pada waktu yang sama ia harus menghidupi keluarganya yang memiliki sepuluh orang anak. Demi menghidupi kesenian Betawi pula keluarga Firman harus merasakan berpindah-pindah tempat tinggal setelah rumah di Petamburan dijual dan pindah ke Condet. Firman dikenal sebagai sosok yang tidak suka keluar rumah dan lebih memilih menggunakan sebagian besar waktunya untuk menulis.[1] Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai sastrawan, aktivitas menulis Firman sempat terganggu setelah menderita penyakit stroke pada tahun 1990. Meski demikan, ia tetap berupaya terus melahirkan karya dengan menggunakan cara lain, yaitu ia mendiktekan naskah tulisan kepada anaknya. Oleh anaknya, naskah yang didiktekan Firman secara lisan kemudian diketik dan dikirim ke media massa untuk dipublikasikan.[2] Penyakit stroke yang diderita Firman akhirnya membuatnya harus mengembuskan napas terakhirnya. Firman meninggal dunia pada tanggal 10 Januari 1993 pukul 11.00 WIB di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta. Sebelumnya, stroke yang dideritanya membuat dirinya lemah sejak empat hari sebelumnya ketika sedang duduk di ruang tamu rumahnya yang terletak di Jalan Kayu Manis, Balekambang, Condet.[6] Kepergian Firman menyusul istrinya yang telah lebih dahulu meningal dunia pada tahun 1991. Saat meninggal, Firman meninggalkan sepuluh orang anak, tujuh putra, dan tiga putri, dan satu cucu.[2] Ironisnya, penyakit yang diderita Firman ternyata berasal dari aktivitas menulisnya yang kerap dilakukan hingga lupa waktu. Hal ini diakui sendiri oleh salah satu anaknya, Ferry. "Ini karena bapak bekerja tidak kenal waktu, sementara makannya juga tidak diperhatikan,"[6] Meski wafat, nama Firman tetap terkenang di kancah sastra Betawi. Pada tanggal 10 Februari 1993 atau tepat setahun setelah kematiannya. Acara itu digelar di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dimulai pada pukul 20.00 WIB, acara diisi dengan pembacaan sebagian karya Firman oleh Chaerul Umam, Deddy Mizwar, dan Jose Rizal Manua. Salah satu karyanya yang berjudul Cik Siti juga dipentaskan dalam wujud tonil Sambarah Betawi.[8] Selain itu, Sketsa berjudul Lenong dibacakan secara lengkap oleh aktris terbaik Festival Film Jakarta 1991-1992 Miftahul Jannah. Pembawaan Miftahul yang hidup dalam sketsa tersebut mampi mengundang antusiasme serta gelak tawa dari penonton.[9] Sekitar 100 penonton hadir langsung di Taman Ismail Marzuki untuk menyaksikan acara mengenang Firman Muntaco. Di antara penonton tersebut terdapat sejumlah tokoh terkemuka seperti Ketua Dewan Kesenian Jakarta Salim Said, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi Zainal Abidin, Ny RA Tahir, Yulianti Parani, Ridwan Saidi dan Putu Wijaya.[9] Nama Firman kini diabadikan dalam lomba penulisan cerpen Betawi yang diadakan oleh Badan Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Dalam lomba ini, para peserta memperebutkan Piala Firman Muntaco yang akan diberikan kepada pemenang.[10] Jalan hidup untuk melestarikan kebudayaan Betawi diteruskan oleh anak Firman. Salah satu anaknya yang bernama Fifi Firman Muntaco kini mengelola Sanggar Betawi Firman Muntaco yang bertempat di rumah peninggalan Firman. Disebutkan oleh Fifi, Rumah peninggalan Firman terbuka untuk segala kegiatan yang berkaitan dengan Betawi dan tidak ada niat untuk dijual oleh pemiliknya. Salah satu kegiatan rutin yang ada di Sanggar Betawi Firman Muntaco adalah Gelar Tiker Ala Betawi atau Gelatik Betawi. Acara ini merupakan pertemuan bulanan yang menjadi ajang berbagi gagasan,ilmu, dan pementasan kesenian Betawi.[1] Pendirian Sanggar Betawi itu sendiri diprakarsai oleh Firman pada tahun 1975 dan diurus olehnya hingga akhir hayatnya.[6] Sama seperti Firman, Fifi juga adalah seorang penulis cerpen. Anak keempat Firman ini pun aktif dalam kegiatan kebudayaan Betawi.[11] Ia memimpin grup Samrah dan menggerakan Sanggar Betawi Firman Muntaco. Grup Samrah pimpinan Fifi pernah tampil dalam berbagai kesempatan, salah satunya Pagelaran Seni Budaya Betawi di Setu Babakan yang dihadiri oleh eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.[1] Ciri dalam KaryaMuhadjir dalam bukunya yang berjudul Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya menulis bahwa Firman adalah tokoh terpenting dalam jenis karya sastra dengan Bahasa Betawi yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta. Disebutkan bahwa Firman dianggap tokoh terpenting baik itu karena jumlah karya maupun kehaliannya dalam membaca rakyat kecil dan menyampaiakannya dengan ungkapan Betawi gaya lenong meski ia sendiri bisa termasuk ke dalam golongan gedongan alias kaum elite.[12] Kehidupan Jakarta yang beragam juga dapat ditemui pada karya-karya Firman. Hal ini contohnya tampak dalam hal penokohan yang tidak hanya diisi oleh figur dari etnik Betawi. Dalam cerpen berjudul "Kue Keranjang" dan "Pasar Malem" misalnya, dimunculkan tokoh dari etnis Tionghoa bernama Tjeng Kok dan Swee Ann yang digambarkan sebagai orang yang berasal dari golongan miskin.[13] Soal urusan mencari inspirasi untuk dituangkan ke dalam karya, ternyata hal itu bukan hal yang rumit bagi Firman. Ia mampu mendapatkan ide dari mana saja tanpa perlu mencarinya melalui kegiatan khusus di tempat tertentu. "Dia mendapatkan ilham dari manapun, baik dari tetangga, tukang dagang di pasar, tukang warung, kondektur bis atau siapa saja. Dia juga kerap nongkrong di pasar Tanah Abang atau pasar Kramat Jati, untuk mendapat ide ceritanya" ujar salah satu anaknya, Ferry.[6] Dalam pengamatan Muhadjir, Firman dan sastrawan lain dengan gaya demikian memiliki karya dengan warna Betawi yang cukup menonjol karena banyaknya bahasa Betawi lisan yang dipakai. Dengan gaya itu, bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa Indonesia ketimbang bahasa Betawi. Lebih lanjut lagi, Muhadjir berpendapat bahwa tampaknya belum ada tokoh yang memiliki kapasitas seperti Firman dan satu sastrawan Betawi lain, Ramlan.[12] Ragam dialek Betawi yang digunakan Firman dalam karya-karyanya adalah ragam Betawi Pinggir.[14] Adapun ciri dari ragam Betawi Pinggir adalah pelafalannya yang banyak berakhiran 'a', bandingkan dengan Betawi Tengah yang banyak berakhiran 'e'. Ragam Betawi Pinggir juga banyak dipengaruhi bahasa Cina, sementara Betawi Tengah lebih kental dengan pengaruh bahasa Arab dan Melayu Tinggi.[15] Dalam khazanah sastra Betawi memang salah satu dari ragam tersebut biasa menjadi ciri dari seorang sastrawan. Selain Firman yang menggunakan ragam Betawi Pinggir, misalnya ada S.M. Ardan yang dalam kumpulannya cerpennya dengan judul ”Terang Bulan Terang di Kali Cerita keliling Jakarta” yang menggunakan ragam Betawi Tengah.[14] Kepiawaian Firman dalam menghasilkan karya yang berkualitas turut diapresiasi sastrawan Indonesia lainnya. Sastrawan Betawi yang juga aktif berkarya pada era 1950-an, S.M. Ardan, berpendapat bahwa Firman adalah orang yang berhasil dalam penggambaran masyarakat Betawi, baik itu penggambaran dari segi baik maupun buruknya. Kemudian Hans Bague Jassin mengapresiasi Firman dengan menyebutnya berjasa "menampilkan humor, yang menjadi kekayaan budaya Betawi ke dalam sastra tulis". Sementara itu, Sapardi Djoko Damono menilai Firman memiliki kemampuan untuk menyampaikan cerita-ceritanya ke dalam bentuk humor yang merupakan genre paling sulit. Kehidupan orang kecil yang lebih sering dikaitkan dengan berbagai kesulitan hidup seperti penundasan dan ketidakadilan nyatanya di tangan Firman bisa berbalut suasana humor.[2] Unsur humor dalam karyanya bersumber dari karakter dan pembawannya secara pribadi. Sifat humoris ini diakui oleh anak sulung Firman bernama Ferry memang benar adanya, bahkan ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya sendiri. "Bapak memang humoris dan senang bercanda, seperti karakter tulisannya," kenang Ferry anak sulungnya. "Dia tidak pernah memukul anak-anaknya, kalau marah cukup dengan kata-kata sindiran, sehingga anak-anaknya malu sendiri".[6] Di kalangan masyarakat Betawi, Firman ditempatkan sejajar dengan sastrawan-sastrawan Betawi lainnya seperti S.M. Ardan, Ramlan, dan Zaidan Wahab. Meski demikian, terdapat perbedaan gaya di antara ketiganya dalam berkarya. Firman bersama Ardan seolah-seolah ingin memotret gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, sementara Ramlan dan Zaidan lebih banyak mengangkat tema mengenai beladiri silat Betawi.[16] KarierKetertarikan Firman terhadap dunia sastra dan seluk-beluknya terbentuk melalui buku-buku sastra yang diterbitkan oleh perusahaan penerbitan milik pemerintah, Balai Pustaka. Ada novel anak-anak seperti Si Doel Anak Betawi karua Aman Dato Madjoindo yang menumbuhkan rasa cinta terhadap sastra dan Betawi dalam dirinya.[3] Dalam berkarya, Firman memulainya dengan menulis puisi. Saat duduk di kelas 3 SMA, sajak-ajaknya kerap dimuat di surat kabar hingga memicu semangatnya menjadi lebih besar lagi untuk berkutat di dunia sastra. Di surat kabar pula Firman melihat banyaknya cerpen yang dimuat di sana hingga akhirnya ia tertarik untuk ikut menulis dan mengirimkan cerpen karangannya. Pada September 1955, Firman menyaksikan cerpen karyanya terpampang di halaman surat kabar. Adalah Star Weekly yang mempublikasikan cerpennya yang berjudul Seikat Bunga Anyelir. Pada tahun selanjutnya tepatnya Juni 1956, giliran Aneka yang memuat cerpennya dengan judul Lagu Malam.[3] Tidak hanya menjadi penulis lepas, Firman lalu menceburkan diri dalam bidang kepenulisan secara lebih profesional dengan menjadi wartawan bagi surat kabar Berita Minggu. Bermula dari menulis berita reportase, Firman juga kemudian mengasuh rubik muda-mudi hingga menduduki kursi pemimpin redaksi BM Muda.[3] Tercatat, Firman menulis Gambang Djakarte sejak 1956 hingga surat kabar Berita Minggu diberangus hingga berhenti terbit pada tahun 1966.[2] Pada tahun 1965, Berita Minggu terpaksa tutup karena oleh pemerintah Orde Baru dianggap dekat dengan kalangan nasionalis dan politik Sukarno. Bersamaan dengan ini pula karier Firman di Berita Minggu tamat. Namun, ia terus melanjutkan aktivitas menulis sebagai mata pencaharian dengan mencari wadah di tempat lain. Sejumlah media menjadi pelabuhan baru bagi Firman di mana ia terus melakukan kerja jurnalistik sekaligus menelurkan karya-karya cerpen. Berkat popularitas tinggi yang diraihnya dari Gambang Djakarte di Berita Minggu, ia mendapat rubrik khusus di sejumlah media massa.[3] Terbukti setelah tidak menulis kolom Gambang Djakarte, tulisan-tulisannya kemudian menghiasi halaman berbagai media cetak seperti Buana Minggu, tabloid Mutiara, dan majalah Humor.[2] Prestasi dan PenghargaanKepiawaian Firman dalam menulis bahkan sempat turut berdampak positif pada surat Kabar Berita Minggu yang memuat sebagian karyanya. Di ssurat kabar Berita Minggu, Firman menulis kolom Tjermin Djakarte yang kemudian berganti nama menjadi Gambang Djakarte. Dalam kolom Gambang Djakarte, Firman menulis cerpen humor bergaya bebas dalam bahasa Betawi dan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi adalah tema utamanya.[7] Lewat kolom Gambang Djakarte ini, Firman ikut mengangkat tiras surat kabar tersebut hingga 40-ribuan yang mana termasuk angka yang sangat besar bagi media cetak pada masa itu. Bahkan dilaporkan terdapat banyak orang yang membeli surat kabar Berita Minggu hanya untuk menyimak kolom Gambang Djakarte buatan Fiman.[2] Surat Kabar Berita Minggu bahkan kemudian tidak hanya menjangkau wilayah ibu kota Jakarta saja, namun mampu melebarkan sayapnya hingga ke luar daerah.[7] Buku Gambang Djakarte cetakan pertama tahun 1960 diterbitkan oleh PT Suluh Indonesia dengan berisi 22 sketsa. Tiga tahun berselang, buku kedua cetakan pertamanya juga diterbitkan oleh Pantjaka dengan berisi 21 cerita. Dirilisnya buku kumpulan karya Firman terlaksana setelah pimpinan surat kabar Berita Minggu menyaksikan sendiri ketenaran cerpen Firman di tengah masyarakat hingga muncul ketertarikan untuk diterbitkan dalam bentuk buku.[6] S.M. Ardan punya pengalaman menarik yang menunjukkan betapa digemarinya karya Firman oleh masyarakat. "Saya sendiri pernah menyaksikan, sepasang muda-mudi yang lagi pacaran membeli dua koran, karena masing-masing mau lebih dulu membaca rekaan Muntaco," kata Ardan Senin kemarin. "Koran Berita Minggu dan sketsa Firman Muntaco saling menguntungkan. Korannya lebih laris, Firman lebih terkenal". kata Ardan.[6] Berkat karya-karyanya, sudah berbagai penghargaan mampu diraih oleh Firman. Dari kolom Gambang Djakarte misalnya, ia piagam penghargaan dari Universitas Jakarta karena dianggap sosok yang berjasa sebagai pengembang sastra Betawi. Ia juga pernah menyabet gelar juara sayembara cerpen Betawi pada tahun 1966.[7] Selain itu, ia pernah mendapatkan penghargaan kebudayaan dari Menteri Penerangan era Orde Baru Ali Murtopo serta Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.[6] Kiprah di Luar SastraMeski dikenal karena karya-karyanya di bidang sastra, nyatanya Firman juga tidak menutup diri terhadap bentuk kesenian dan aktivitas kebudayaan lainnya. Firman pernah berkecimpung dalam dunia penyiaran televisi dengan aktif sebagai koordinator paket siaran-siaran Budaya Betawi di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Dari tangan Firman, lahir materi-materi siaran TVRI untuk acara bertema kebudayaan Cakrawala Budaya Nusantara, Taman Bhinneka Tunggal Ika, Sandiwara, Nusantara Menyanyi. dan Nusantara Menari. Sementara itu di dunia teater dan musik, ia terjun di dalamnya dengan memimpin Sanggar Seni dan Sandiwara Betawi "Surilang Group" dan Orkes Tradisional Betawi "Sambrah". Ia ikut dalam pementasan dengan memegang berbagai peran, misalnya sebagai penulis naskah, pengatur laku, atau pimpinan musik pengiring.[7] Secara tidak langsung, karya Firman juga turut mewarnai kancah perfilman dan sandiwara Tanah Air karena sejumlah cerpen karya Firman pernah digubah dan diadaptasi. Contohnya cerpen berjudul Satu Kali Satu yang pernah difilmkan dengan judul Musuh Bebuyutan.Lalu ada pula naskah sandiwaranya yang diangkat ke layar lebar menjadi film berjudul Ratu Amplop. Kedua film tersebut sama-sama dirilis pada tahun 1974. Selain difilmkan pada tahun yang sama, keduanya pun sama-sama dibintangi oleh aktor yang sama, yaitu Benyamin Sueb.[3] Referensi
|