Gadis Desa
Gadis Desa adalah sebuah film komedi Indonesia tahun 1949[a] yang ditulis dan disutradarai Andjar Asmara. Dibintangi Basuki Djaelani, Ratna Ruthinah, Ali Yugo, dan Djauhari Effendi, film ini menceritakan kisah romantis seorang gadis desa yang diculik untuk menjadi istri kedua seorang hartawan. Film yang diproduksi oleh perusahaan milik Belanda ini diakui sebagai film pertama yang melibatkan calon "bapak perfilman Indonesia" Usmar Ismail.[1] AlurAbu Bakar (Ali Yugo) mengunjungi Amat setelah Amat terlambat membayar sewa, namun telanjur jatuh cinta dengan putri Amat yang cantik, Aisah (Ratna Ruthinah). Ia berkata bahwa Aisah harus bekerja sebagai pembantunya, padahal rencananya hendak dinikahkan untuk dijadikan istri keduanya. Rusli (Basuki Zaelani), sepupu Aisah dan pembantu Abu Bakar, mengetahui rencana ini dan memberitahu istri Abu Bakar. Aisah dipulangkan ke desanya dan Rusli yang sudah jatuh cinta kepadanya akhirnya melamar Aisah.[2] ProduksiGadis Desa diproduksi oleh South Pacific Film Corp (SPFC), sebuah rumah produksi film yang dimiliki dan dioperasikan oleh Netherlands Indies Civil Administration, kelanjutan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Film ini disutradarai oleh mantan jurnalis Andjar Asmara, yang sudah bekerja untuk SPFC sejak 1948.[3][4] Film ini diadaptasi dari drama panggung yang ia tulis untuk grup teater Dardanella pada awal 1930-an.[5][6] Ia memboyong Usmar Ismail, seorang jurnalis muda yang pernah membicarakan pembuatan film bersamanya, ke dalam produksi film ini sebagai asisten sutradara.[5][7] Dua orang pribumi sedikit memberi masukan kreatif dan lebih terfokus pada akting dan bantuan dialog. Kameramen Belanda, AA Denninghoff-Stelling, lebih mempengaruhi hasil akhirnya.[3][8] Gadis Desa dibintangi oleh Ali Yugo, Ratna Ruthinah, Basuki Zaelani, dan Djauhari Effendi.[2] Semuanya memiliki pengalaman teater sebelumnya: Yugo pernah menjadi anggota Dardanella bersama Andjar, Ruthinah dan suaminya Zaelani pernah menjadi anggota grup teater Matahari, sementara Djauhari aktif di teater pada masa pendudukan Jepang yang dimulai 7 tahun sebelumnya.[9][10][11] Rilis dan tanggapanGadis Desa dirilis tahun 1949,[2] diikuti penulisan novelnya pada tahun 1950.[12] Meski ia tidak mencetak rekor box-office, sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran mengungkapkan bahwa alur film ini bereflekksi terhadap keyakinan Belanda bahwa penonton pribumi akan menyukai komedi biasa.[13] Sebuah salinan 35 mm film ini disimpan di Sinematek Indonesia.[2] Film ini menjadi karya terakhir Andjar sebagai sutradara; ia mengundurkan diri dari SPFC sebelum produksi selanjutnya, Tjitra (1949), dan menghabiskan sisa karier perfilmannya sebagai penulis naskah.[4][13] Ismail kelak menjadi sutradara dua film SPFC selanjutna, Tjitra dan Harta Karun (1949), dan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, ia menetapkan dirinya sebagai "bapak perfilman Indonesia" melalui karyanya, Darah dan Doa (1950).[13][1] SPFC kemudian memproduksi empat film lagi sebelum dibubarkan tahun 1949.[14][15] Catatan
Catatan kaki
Rujukan
|