Gedung Antara
Gedung Antara, yang terletak di Jalan Pos Utara No. 53 kawasan Pasar Baru, DKI Jakarta, Indonesia (sekarang bernama Jalan Antara), adalah gedung tempat berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang ke berbagai penjuru dunia.[1] Gedung ini pada masa era pemerintahan kolonial Belanda adalah gedung kantor berita Hindia Belanda bernama Algemeen Niews en Telegraaf Agentschaap (ANETA). Gedung Kantor Berita Antara kemudian menjadi gedung bersejarah, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959), Priyono, pada tanggal 4 April 1959.[1] Arsitektur GedungBangunan Gedung Antara adalah gedung dengan arsitektur bernuansa kolonial, memiliki tiga lantai yang dilengkapi jam dan alat penangkal petir. Pintu bagian depan memiliki lebar dua meter, yang terbuat dari jeruji besi lengkap dengan gemboknya. Di lantai bawah gedung terdapat tangga dari beton dengan pegangan terbuat dari kayu dan besi, sedangkan anak tangga dilapisi ubin keramik berwarna coklat muda.[1] Di lantai dua, terdapat sebuah pintu kaca berukuran lebar dan di depannya terdapat jendela kaca lebar ukuran 50 x 100 sentimeter. Di sebelah kiri tangga terdapat ruangan yang bentuknya seperti di ruangan pertama, terdiri dari ruang pimpinan, ruang kantor, ruang belajar, mushola, dan kamar mandi. Jendelanya unik dengan jeruji di bagian luarnya. Adapun lantai tiga bentuknya sama dengan ruangan pertama dan kedua, tetapi isi ruangannya dibiarkan kosong.[1] SejarahEra Hindia BelandaAwalnya, Gedung Antara adalah milik kantor berita swasta ANETA (Algemeen Niews en Telegraaf Agentschaap) milik Dominique Willem Berrety berkebangsaan Belanda, perusahaan yang bergerak di bidang pemberitaan, periklanan, dan penerbitan majalah.[1] Dominique Willem Beretty adalah seorang wartawan dan raja koran Hindia Belanda. Dia lahir di Yogyakarta pada 20 November 1890, dari ibu perempuan Jawa bernama Marie Salem dan ayah berkebangsaan Italia bernama Dominique Auguste Leonardus Berretty. Dominique Willem Beretty mendirikan kantor berita ANETA pada 1 April 1917 bermodalkan uang pinjaman, dengan hanya dua orang pegawai, yakni Dominique Willem sendiri dan seorang juru ketik. Kantor ANETA menempati lokasi gedung di Pasar Baru yang kini menjadi Gedung Antara. Pada tahun 1919, Dominique Willem mengakuisisi dua perusahaan penerbit koran pesaingnya, yakni Nederlandsch Indisch Pers Agentschap (NIPA) dan Reuters Batavia[2] sehingga melakukan monopoli terhadap bisnis media pada saat itu dan mampu membuka biro perwakilan di beberapa kota utama Hindia Belanda. Dominique Willem Beretty menjadi direktur ANETA dan menjadi orang terkaya di Hindia Belanda pada saat itu.[3] Karier cemerlang Dominique Willem Beretty kemudian berakhir pada tahun 1931, ketika penyidik yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge menemukan adanya indikasi korupsi di ANETA, menyalahgunakan wewenang terhadap koran-koran Hindia Belanda, serta memonopoli pengadaan berita. Setelah itu, Dominique Willem Beretty mengasingkan diri ke Bandung, sebelum akhirnya tewas pada tahun 1934 akibat pesawatnya jatuh di gurun pasir Suriah dalam penerbangan pulang Amsterdam ke Jakarta dalam rangka ingin menjual ANETA.[2] Era JepangKetika Jepang berkuasa pada tahun 1942, kantor berita Antara (berdiri pada 13 Desember 1937) yang menempati Buiten Tijfgerstraat (sekarang Jalan Pinangsia No. 70, Jakarta, Kota) berganti nama menjadi Yashima (yang berarti Semesta) pada 29 Mei 1944 dan menempati bekas kantor ANETA di Noord Postweg 53 Paser Baroe. Sedangkan kantor berita Jepang bernama Domei menempati lantai atas Gedung Antara.[4] Proklamasi KemerdekaanKetika Gedung Antara bernama Domei dan Proklamasi Kemerdekaan selesai dibacakan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1945, Adam Malik yang menjadi Redaktur Tetap sekaligus merangkap Wakil Direktur Kantor Berita Antara, menelepon ke Kantor Domei dan diterima oleh Asa Bafagih yang diminta agar menyampaikan pesan 'jangan sampai gagal' kepada Pangulu Lubis. Oleh Pangulu Lubis, berita Proklamasi dikirim ke bagian radio dengan menyelipkannya dalam morse-cast Domei di antara berita-berita lain yang telah distempel izin Hodokan (lembaga sensor Jepang).[5] Dua orang petugas yakni Markonis Soegiri dan Markonis Wua, mengawasi tersiarnya berita Proklamasi yang terselip di antara berita-berita lainnya dapat terlaksana, sehingga berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia kemudian dapat menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, dan dengan cepat menyebar ke Amerika Serikat, India, dan Australia.[6] Jenderal Yamamoto, pemimpin tentara Jepang di Indonesia, ketika itu melarang Kantor Berita Jepang, Domei, yang berlokasi di Gedung Antara, untuk tidak menyiarkan berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perintah yang sama juga ditujukan kepada Harian Asia Raya. Namun, wartawan Kantor Berita Domei bernama Syahruddin menyerahkan teks Proklamasi untuk disiarkan stasiun Radio Domei. Kemudian kepala bagian radio bernama Waidan B Palenewan memerintahkan seorang Markonis bernama F Wuz untuk menyiarkan berita Proklamasi disiarkan sebanyak tiga kali, namun baru dua kali ketahuan oleh tentara Jepang. Akibat jasa mereka, berita Proklamasi bisa diteruskan ke luar negeri, bahkan wartawan S.K. Trimurti menjelaskan bahwa pada 18 Agustus 1945, sebuah kantor berita di San Francisco telah menyiarkan kemerdekaan sebuah negara baru di Asia Tenggara bernama Indonesia. Jepang kemudian menyegel kantor berita Domei pada 20 Agustus 1945.[7] Era Agresi Militer Belanda ISelanjutnya, pada masa Agresi Militer Belanda I (21 Juli -5 Agustus 1947), Belanda memberikan Gedung Antara kepada Apotheek Van Gorkom (sebelum dinasionalisasi bernama PT Persatuan Dagang Pharmasi "Nurani" atau J.V. Gorkom (N.V. Pharmaciutiche Handelsvereeniging J. van Gorkom & Co).[8] Era KemerdekaanBaru pada tahun 1961, Gedung Antara kembali dipergunakan oleh Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara.[1] Bangunan Gedung Antara pada era Kemerdekaan dipergunakan sebagai tempat Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara di mana bagian belakangnya digunakan sebagai percetakan Antara untuk keperluan internal. Gedung Antara Pasar Baru saat ini menjadi Kantor Biro Foto Antara dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, lokasi terpopuler yang sering menjadi tempat pameran foto di Jakarta.[9] Galeri Foto Jurnalistik Antara menjadi galeri foto satu-satunya di kawasan Asia Tenggara. Galeri Foto Jurnalistik Antara diresmikan oleh Pemimpin Umum Kantor Berita Antara Handjojo Nitimihardjo bernama "Graha Bhakti Antara" dan selalu rutin memamerkan karya-karya pewarta foto Kantor Berita Antara, fotografer nasional dan internasional. Museum Antara, yang memamerkan berbagai alat pendukung kegiatan jurnalistik pada masa Kemerdekaan Indonesia, menempati lantai dua bangunan Gedung Antara.[10] Lihat pulaReferensi
|