Gempa bumi Batavia 1699
Gempa bumi Batavia 1699 terjadi pada pagi hari, tanggal 5 Januari dekat kota Batavia (kini Jakarta). Gempa itu mengguncang kota Batavia di Hindia Belanda dengan kekuatan 7,4 hingga 8,2 pada Skala magnitudo. Catatan Belanda mengatakan peristiwa tersebut menggambarkan sebagai "guncangan yang sangat hebat dan kuat" dan tidak dapat dibandingkan dengan gempa bumi yang lainnya. Peristiwa gempa ini begitu besar sehingga dirasakan di seluruh wilayah Jawa barat, dan Sumatra bagian selatan.[1] Banyak bangunan di Batavia mengalami kerusakan akibat guncangan gempa. Menurut Arthur Wichmann, tragedi tersebut mengakibatkan 28 korban jiwa, total kerusakan 21 rumah, 20 lumbung, dan satu gudang. Selain menimbulkan kerusakan harta benda, gempa di Batavia juga membuat warga enggan kembali masuk ke rumahnya. Mereka memutuskan untuk tinggal sebentar di luar dan di atas kapal (De Locomotief, 22 Oktober 1878). Kerusakan yang diakibatkan langsung oleh gempa bumi tahun 1699 tidak terlalu parah. Namun gempa tersebut tidak menimbulkan dampak langsung. Hal ini pada akhirnya memperburuk keadaan Batavia dan warganya.[2] DampakSekiranya lima belas menit guncangan hebat dirasakan tetapi kerusakannya hanya terbatas. Keterangan lain menyatakan bahwa gempa berlangsung hingga 45 menit dan gempa susulan terus berdatangan. Sedikitnya 28 orang di Batavia terluka parah dan 49 bangunan terbuat dari batu runtuh akibat gempa. Sekitar 21 rumah dan 29 lumbung juga dimusnahkan. Hampir setiap rumah yang terletak di kota itu mengalami tingkat kerusakan. Gempa bumi menumbangkan banyak pohon dan merusak fasilitas air hingga sungai.[3] Di Gunung Salak, getaran hebat memicu tanah longsor yang besar memblokir sungai dan menyebabkan banjir. Perpaduan tanah dan tumbuh-tumbuhan menghasilkan aliran debris yang melewati Sungai Ciliwung yang masuk ke Batavia, kemudian masuk ke Laut Jawa.[4] Di pelabuhan Banten, gempa bumi menghancurkan sebuah gudang penyimpanan dan menambah jumlah kerusakan. Di Lampung, Sumatera Selatan gempa bumi membuat setiap rumah terlepas dari fondasinya. Lebih dari 100 orang dilaporkan tewas di Lampung.[5] Karaktersitik gempaKarakteristik pada peristiwa tersebut tidak ditentukan dengan baik tetapi kemungkinan besar peristiwa ini adalah gempa dengan kedalaman menengah. Peneliti lain mengatakan jika gempa itu adalah peristiwa megathrust dengan kekuatan 9.0 Mw di sepanjang patahan Megathrust Selat Sunda. Jika itu adalah gempa bumi intraslab yang terjadi di dalam Lempeng Australia sepanjang megathrust Selat Sunda, perkiraan kekuatan gempa akan menjadi 7,4 hingga 8,0 Mw dengan pusat gempa di dekat Batavia, dan kedalaman fokus 100 km. Pemodelan skenario gempa 1699 menunjukkan bahwa gempa bumi intraslab sebesar Mw 8.0 memberikan hasil yang konsisten dengan dokumentasi sejarah gempa tersebut. Nilai intensitas Mercalli yang tinggi pada IX sesuai dengan pola kerusakan yang dijelaskan oleh pejabat Belanda di Jawa dan Sumatera. Karena Provinsi Banten terletak di atas endapan piroklastik dan sedimen Kuarter, gelombang seismik kemungkinan besar akan meningkat, menghasilkan tingkat guncangan yang lebih tinggi.[6] Simulasi gempa bermagnitudo 9.0 hanya menghasilkan getaran yang ditetapkan pada VI hingga VII di wilayah Batavia pada skala MMI yang tidak sesuai dengan deskripsi kerusakan gempa 1699. Gempa 1699 ini tidak disertai gelombang tsunami, yang semakin dipercaya bahwa teori gempa ini bukanlah kejadian gempa bumi megathrust. Resiko gempa di masa depanDalam model simulasi, jika gempa dengan ukuran yang sama terjadi pada saat ini, gempa itu akan menyebabkan sekitar 100.000 kematian. Wilayah Jakarta dan sekitarnya akan mengalami kerusakan yang sangat parah.[7] PenyebabMengenai penyebab gempa tahun 1699, terdapat berbagai sudut pandang:[2]
Teori pertama menyatakan bahwa gempa tersebut disebabkan oleh letusan Gunung Salak yang terletak di Buitenzorg. Charles Lyell, J. Hageman, dan Franz Wilhelm Junghuhn adalah beberapa orang yang memiliki pandangan yang sama. Menurut penelusuran J. Hageman, letusan Gunung Salak mengakibatkan terjadinya gempa bumi (Hageman, 1868: 343). Ia mendukung sudut pandang Franz Wilhelm Junghuhn, yang membuat klaim serupa pada tahun 1838 dan 1845.
Menurut Charles Lyell, letusan Gunung Salak menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gempa bumi. Ia mengklaim 503 rumah di Batavia hancur dan terdengar suara ledakan. selain api yang berasal dari Gunung Salak (Lyell, 1856: 503). Bahkan Lyell juga mencatat bahwa banyak hewan juga menjadi korban, tidak hanya manusia. Ikan, kerbau, dan hewan liar lainnya mati tersapu air sungai yang meluap karena terbawa arus banjir.
Lihat pulaGempa bumi Intraslab lainnya: Referensi
|